Kemaritiman Ternate-Tidore

Pada masa Kerajaan-kerajaan Islam muncul, perdagangan rempah-rempah sangat ramai, baik jalur perdagangan antar pulau di Nusantara terutama pada jalur perdagangan Jawa-Maluku dan Makassar-Maluku, menjadi bagian yang penting dalam konteks perdagangan nasional. 

Oleh: Rani Bataviani

Bangsa Barat yang pertama datang di Nusantara adalah bangsa Portugis, dengan semangat ekspansi dan jiwa berdagang berhasil merintis hubungan dagang antara Eropa dan Nusantara. Sebelum 1514, Portugis menyebut Maluku sebagai as ilhas do cravo atau bisa disebut dengan kepulauan cengkeh. Pedagang-pedagang Arab menyebutnya Jazirat al-Muluk (daerah dari banyak tuan). Cengkeh hanya terdapat di kepulauan Maluku. Ternate dan Tidore mempunyai kekayaan alam yang unik dan unggul, yaitu pohon cengkeh yang daunnya menyelimuti lereng-lereng gunung-gunung berapi  di antara pulau itu. 

www.cengkeh.co/2020/05jejak-keraton-ternate

Cengkeh adalah komoditi unggulan di kepulauan Maluku, Cengkeh dimanfaatkan untuk ramuan pewangi / parfum, pengharum, obat-obatan, kosmetika, dan zat perangsang gairah seks yang sudah sekian lama, menarik perhatian pedagang dari segala penjuru sampai Cina dan Arab. Hal tersebut membuat orang Maluku menjadi korban para pemburu duit. Puncak dari penindasan itu adalah pada pertengahan abad ke-17 dengan penghancuran total pohon-pohon cengkeh secara sistematis oleh Belanda. Cengkeh yang mempunyai kualitas terbaik adalah yang berasal dari Ternate, Tidore, Motir, Bacan, dan Macan.

Armada Laut dan Teknoogi Kapal Kerajaan Ternate dan Tidore

www.cengkeh.co/2020/03/kora-kora-armada-perang-penakluk-laut.

Keberadaan armada laut menjadi kebutuhan mendasar dalam membangun Ternate dan Tidore. Halmahera merupakan daratan besar yang menyediakan bahan-bahan kebutuhan dasar pembuatan perahu. Keberadaan masyarakat begitu penting, selain sebagai penyedia kebutuhan perahu untuk kerajaan, sekaligus penggerak armada lautnya.

Pada abad ke-16, Kesultanan Ternate tampil lebih unggul. Masyarakat Halmahera dimanfaatkan sebagai angkatan laut kesultanan. Sehingga, kebesaran sultan Ternate Babullah yang sebagai “Raja 72 Pulau” tidak lepas dari peran masyarakat Halmahera.

Jenis-jenis perahu yang ada di Maluku adalah jenis juanga, lakafiunu, korakora, kalulus, dan perahu kecil. Kapal juanga adalah kapal kebesaran untuk raja, yang semuanya digerakkan oleh pendayung. Palka dan lunas panjang antara 18-20 depa. Lambung kiri dan kanan terdapat 200 pendayung dan hampir 100 orang prajurit bersenjata. Ada yang lebih kecil lagi ukuran juanga, berukuran antara 10-11 depa.

Bentuk kapal lakafiunu menyerupai juanga. Awaknya dipilih dari orang-orang yang kuat, baik untuk pengayuh maupun baileu. Geladak kapal ditutup dengan rotan dan papan yang menyeupai tandu. Kapal jenis ini merupakan yang tak mudah terkalahkan karena bahan pembuatan kapal ini sangat kuat dan tidak mudah rusak apabila ditabrak.

Kapal kamamoni dan korakora adalah kapal serupa dengan gallei. Kapal jenis ini tidak terlalu panjang, juga lebar dan tingginya tidak seberapa dibandingkan dengan juanga dan lakafiunu. Jumlah pendayungnya antara 40-70 orang, dengan 25 orang baileu. Kapal jenis lain adalah rorehe dan perahu yang pendayungnya berkisar 15-30 orang, dengan 10 orang baileu. Semuanya memiliki cadik. Berbeda dengan kapal-kapal sebelumnya, kapal kalulus tidak bercadik. Jumlah pendayungnya antara 20-50 orang, serta 10, 15, atau 20 baileu.

Perahu nyonyau, merupakan perahu kecil yang digunakan untuk menangkap ikan. Perahu ini digerakkan oleh 3-12 pendayung, dengan 2 orang bersenjata. Perahu ini juga sering dibawa oleh kapal juanga, lakanufu, dan korakora sebagai pelengkap. Perahu sampan, merupakan perahu kecil yang digunakan untuk mengangkat angkutan. Jailolo terdapat pelabuhan yang cukup terkenal. Pelabuhan tersebut cukup terkenal karena satu-satunya pelabuhan di Jailolo serta di daerah itu terdapat bahan makanan yang banyak.

Baca Juga :   Sri Maharaja Rakai Panunggalan (784-804 M): Pembangun Peradaban Maritim Nusantara

Pada abad ke-17, korakora dan arumbai, merupakan perahu yang pertama digunakan untuk perang, sedangkan yang kedua adalah untuk pengangkutan barang dan penumpang. Korakora dimanfaatkan oleh raja-raja di Maluku untuk melaksanakan misi perluasan kekuasaan, orang Eropa menggunakan nya ketika memaksakan monopoli perdagangan rempah-rempah di Maluku abad ke-17, melalui kebijakan hongi.

  1. Komoditi Ternate dan Tidore

Pohon cengkeh, cemara dari hutan hujan tropis, tumbuh hanya pada lima pulau vulkanik kecil segera di lepas pantai barat Halmahera: Ternate, Tidore, Motir, Makian, dan Batjan. Rempah-rempah yang kita sebut cengkeh adalah kering belum dibuka bunga-tunas pohon ini. Pohon pala, juga hijau tropis, sama-sama langka. Hanya tumbuh pada beberapa di Kepulauan Banda (yang ada sepuluh), yang menempati total empat puluh empat persegi kilometer di tengah-tengah Laut Banda. Pala adalah kernel ditemukan dalam biji, dan rempah-rempah yang dikenal sebagai bunga pala adalah selaput tipis dari kulit kenyal yang mencakup kernel. Besi-besi dalam jumlah yang besar didatangkan dari kepulauan Banggai yang sudah menjadi kampak-kampak besi, parang, pedang, dan pisau. Emas didatangkan di kepulauan lain. Pulau ini juga mempunyai sedikit gading dan kain kasar lokal. Banyak Burung Beo berasal dari Kepulauan Morotai (Mor), dan Beo putih berasal dari Seram.

Kepulauan Tidore menghasilkan kurang lebih 1400 bahar cengkih setiap tahunnya. Kepulauan ini juga menghasilkan bahan pokok makanan seperti beras, daging, dan ikan. Di Pulau Moti, yang wilayah tersebut dibawah kekuasaan Ternate dan sebagian Tidore menghasilkan 1.200 bahar cengkeh tiap tahunnya. Raja Tidore maupun Pulau Moti membawa hasil cengkeh tersebut ke Pulau Makian untuk dijual dengan menggunakan kapal jung.

DAFTAR PUSTAKA

Hanna, Willard A dan Des Alwi. Ternate dan Tidore: Masa Lalu Penuh Gejolak, Jakarta: Sinar Harapan, 1996.

Hamid, Abd Rahman. Sejarah Maritim Indonesia, Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2013.

Pires, Tome. Suma Oriental dan Buku Francisco Rodrigues, Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2015.

Sulistiyono, Singgih Tri. Sejarah Maritim Indonesia. Jakarta: Direktorat Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional, 2004.

Tarling, Nicholas. The Cambridge History of Southeast Asia Volume 1: From Early Times to c.1800. New York: Cambridge University Press, 1994.

Internet

https://kbbi.web.id/depa

Share:

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on pinterest
Pinterest
Share on linkedin
LinkedIn

Related Posts