Sejarah dan Peran Sosial Politik Pondok Pesantren Gebang Tinatar Ponorogo

Sudah menjadi pemahaman umum bahwa pesantren erat kaitannya dengan figur kiai (Buya di Sumatera Barat, Ajengan di Jawa Barat, Bendoro di Madura, dan Tuan Guru d di Lombok). Di kalangan pesantren kiai figur sentral, berwibawa, demokratis, laizzes-fair, paternalistik, tradisionalis, serta menjadi pusat dari segala kebijakan dan perubahan. Hal ini erat kaitannya dengan dua faktor yaitu kepemimpinan serius pada individu yang mengandalkan karisma serta korelasi paternalistik dan kepemilikan pesantren yang individual (atau famili) bukan kelompok. Otoritas kiai sebagai pendiri serta pengasuh pesantren sangat besar serta tidak terbantahkan. Faktor nasab atau keturunan juga berpengaruh sehingga kiai bisa menyerahkan kepemimpinan pesantren kepada anaknya atau kalau boleh dibilang putra mahkota tanpa ada elemen pesantren yang berani protes.


Oleh Wulan Nur Saftri

 Berdirinya pesantren ini belum diketahui secara sempurna. Hanya disebutkan pada tahun 1742, di Desa Tegalsari Ponorogo, terdapat seseorang ulama populer di kalangan Muslim setempat bernama Kiai Muhammad Besari atau Kiai Ageng Tegalsari I. Martin van Bruinessen, seseorang Indonesianis berkebangsaan Belanda yang sudah lama meneliti sejarah Islam Nusantara menerangkan bahwa Pesantren Tegalsari adalah pesantren pertama yang berdiri di Pulau Jawa. Pendapat Bruinessen ini bisa saja benar apabila pesantren yang dimaksud merujuk kepada teori Zamakhsyari Dhofier yang merinci lima elemen pokok yang wajib dipenuhi oleh institusi pesantren, yaitu adanya pondok, masjid, santri, pengajaran buku kuning, dan kiai. Namun jika pesantren yang dimaksud adalah sebuah tempat berkumpul untuk belajar kepercayaan tanpa adanya sistematisasi proses pembelajaran, maka pendapat yang menyatakan Tegalsari sebagai pesantren tertua tidak bisa dijadikan landasan. Sebab ada lembaga pendidikan serupa yg jauh lebih tua yaitu Pesantren Jan Tampes II di Pamekasan, Madura (Bruinessen, 1995)

Kyai Ageng Muhammad Besari mendirikan pondok pesantren di Tegalsari. Pondok pesantren ini diberi nama pondok pesantren Gebang Tinatar. Tanah untuk mendirikan pondok ini adalah tanah milik Kyai Donopuro. Kyai Muhammad Besari adalah anak didik Kyai Donopuro yang berguru selama tiga atau empat tahun. setelah semua ilmu Islam dipelajarinya, Muhammad Besari meminta izin kepada Kyai Donopuro untuk mengembara menjelajah wilayah Ponorogo bersama adiknya yg bernama Nur Sodiq yang menjadi pengikutnya. dalam pengembaraannya, sampailah Muhammad Besari di desa Mantup Ngasinan serta bertemu dengan Kyai Noer Salim, seorang keturunan Kyai Dugel Kesambi yang akhirnya mengambil Muhammad Besari sebagai  menantu. Setelah menikah, beliau memboyong istrinya ke Desa Setono dan keduanya bersama-sama ikut bersama Kyai Donopuro. Setelah setahun tinggal di Setono, Kyai Donopuro memberikan tanah perdikan di timur sungai Setono.Tanah tadi sebagai cikal bakal didirikannya pesantren Gebang Tinatar (Rahmawati, 2021).

 Kyai Muhammad Besari mendirikan pondok sebagai kawasan konsolidasi dan mobilisasi warga sekaligus menyampaikan pembelajaran kepada mereka. Didirikannya pondok pesantren Gebang Tinatar ini menarik perhatian warga sekitar untuk datang ke pesantren. Momentum inilah yang kemudian dimanfaatkan sang Kyai Ageng Muhammad Besari untuk menyebarkan agama Islam serta melakukan Islamisasi terhadap rakyat yang datang. Gebang memiliki arti “gerbang” serta tinatar berarti “pijakan”. Secara harfiah, Gebang Tinatar bisa diartikan sebagai gerbang yang diarahkan melalui pijakan. Secara filosofis, dapat ditafsirkan bahwa Pesantren Gebang Tinatar Adalah daerah untuk menumbuhkan kekuatan spiritual demi mencapai gerbang keabadian yaitu surga yang dijanjikan sang Allah Swt bagi mereka yang beriman dan melakukan perbuatan baik. Selama proses penyebaran Agama Islam, Kyai Ageng Muhammad Besari dikenal oleh para santri menggunakan keahliannya dalam bidang tasawuf yang menyikapi global dengan sangat zuhud. Selain itu, dia juga dikenal menggunakan ilmu tirakat dan tarekat yg diajarkannya dan ditambah dengan pembelajaran pada ilmu-ilmu-ilmu pesan tersirat serta kebatinan. Sebab inilah, pesantren Gebang Tinatar mulai dikenal di wilayah Ponorogo serta sekitarnya. 

Pengajaran ilmu Al-qur’an, Kyai Muhammad Besari memakai metode bandongan dan sorogan. Bandongan berasal asal bahasa Jawa “bandong” yang berarti pulang berbondong- bondong. Sedangkan sorogan dari dari istilah “sorog” yang berarti menyodorkan. Metode ini beliau dapatkan dari gurunya yaitu Kyai Donopuro. Masyarakat memahami ajaran agama Islam pada bentuknya yang sangat sederhana yaitu belajar membaca Al-qur’an asal sosialisasi huruf dan tanda-tandanya. Mempelajari juz amma yang ayatnya pendek-pendek sehingga praktis dihafal. Selanjutnya, mereka mengaji Al- qur’an disertai cara beribadah, cara berwudhu, sholat, puasa dan akhlak. Dengan metode bandongan dan sorogan beliau bisa merasa dekat dengan rakyat tanpa terdapat batas status.

Para santri pesantren ini tidak hanya menonjol dalam ilmu agama. Sebagian mereka pula menjadi andalan masyarakat Ponorogo sebagai Warok Ponorogo yang kesohor menggunakan kesaktiannya. Karisma dan kedalaman ilmu Kyai Muhammad Besari mampu membius masyarakat dari aneka macam daerah untuk datang berbondong-bondong menuntut ilmu di sana. Daerah sekitar padepokan semakin ramai dengan pemukiman masyarakat dan pemondokan orang-orang yang berasal dari luar wilayah. Karena mulai ramai, maka para masyarakat menyebutnya menjadi dengan nama “Tegalsari.” Masa pengembangan terjadi sebelum kemajuan pesantren Tegalsari, sumber lain memakai redaksi “Generasi Pendiri”. Masa ini dimulai ketika sang Kiai  Muhammad Besari menjadi pendiri sampai kiai ketiga yaitu Kiai Yahya yang menjadi kiai pada tahun 1742 hingga  tahun 1820 Masehi. Perlu diketahui, apabila merujuk pada tulisan asal F. Fokkens, kiai pendiri bernama Kjai Agoeng Kasan Besarie (Kiai Muhammad Besari), sementara cucunya atau kiai keempat bernama Kjai Kasan Besarie II. Hal ini perlu ditegaskan karena seringkali terjadi kesalahpahaman bahwa keduanya adalah orang yang sama. 

Baca Juga :   Budaya Madoereezen Pekerja Perkebunan Kopi Java Oosthoek

Muhammad Besari yang menyandang Kiai Ageng (juga diejakan Agung). Ada yang menduga bahwa memiliki gelar “Ageng”  adalah Muhammad Besari. Namun ada pula yang beropini bahwa gelar ini dipakai oleh semua kiai yang menjadi pimpinan Tegalsari. Dalam beberapa sumber, ada kiai yang tidak dicantumkan gelar tadi. Barangkali gelar tadi merupakan anugerah dari warga yang menjadi pendiri pesantren sekaligus menjabat kepala perdikan desa Tegalsari. Masa hidup dan masa jabatan Kiai Muhammad Besari masih diperdebatkan. Tulisan Kiai R.H. Purnomo (1968) menyatakan bahwa Kiai Muhammad Besari wafat pada 1747. Hal ini lalu diikuti penelitian Dawam Multazam (2016), sesuai tradisi lisan pada Tegalsari yang juga menyampaikan hipotesis bahwa oleh Kiai Ageng pertama wafat pada saat tersebut. Namun pada tahun 1768, Kesultanan Yogyakarta mengirimkan Bupati Wedana Raden Ronggo Prawirodirjo I untuk mengajak Kiai Muhammad Besari pada sebuah ekspedisi untuk menundukkan pangeran Singosari. Sang Kiai Muhammad Besari menolak dengan jawaban bahwa dia sudah terlalu tua. Lalu kemudian beliau mengirimkan menantunya, Kiai Muhammad bin Umar untuk ikut serta dalam ekspedisi tersebut. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Kiai Muhammad Besari masih hidup di saat itu. Namun, fakta ini bertolak belakang dengan pendapat Fokkens bahwa pesantren Tegalsari dipimpin sang putra sulung bernama Kiai Ilyas sejak tahun 1760 hingga 1773 M. Dengan demikian, terdapat kemungkinan bahwa selama tahun 1760 sampai 1773, Kiai Muhammad Besari masih hidup, tetapi tidak menjabat pimpinan Tegalsari (Multazam, 2018).

Guillot juga menyertakan bahwa Kiai Muhammad Besari wafat bukan pada tahun 1747 atau 1760 M, melainkan tahun 1773 M. Tahun terakhir tadi sebagai sangat penting buat dianalisis lebih lanjut karena dalam beberapa sumber, tahun tersebut adalah tahun kematian sang putra sulung Kiai Ilyas walaupun ada juga juga yang menyebutkan tahun 1800. Anak kedua dan putra pertama Kiai Muhammad Besari bernama Kiai Ilyas, menggantikannya di tahun 1773-1800. Kiai Ilyas menjadi kiai Tegalsari dan membangun kembali Masjid Tegalsari tahun 1188 Hijriyah (1774 Masehi) sebagaimana dibuktikan oleh Prasasti Pegon berbahasa Jawa di pedimen mimbar (Guillot, 1985). Akan tetapi surat keterangan lain ada yg menuliskan bahwa Masjid Tegalsari dibangun lagi pada masa Kiai Yahya atau kiai sesudahnya (Haris, 2016). saat Kiai Ilyas meninggal sekitar tahun 1800 M, putra sulungnya Kiai Hasan Yahya secara resmi sebagai penerusnya. Kiai Yahya tampaknya kurang cocok untuk menggantikan ayahnya. Dibawah kepemimpinannya, Pesantren Tegalsari merosot tajam.

 Pendidikan diabaikan dan santri dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi kiai. Keraton Solo segera menyadari sikap ini dan Kiai Yahya dipecat pada tahun 1820. Pengelolaan desa Tegalsari akhirnya diserahkan kepada saudaranya Kiai Hasan Besari yang akhirnya menjabat sebagai Kiai Tegalsari keempat. Eksistensi Pesantren Tegalsari pada abad ke-19 terbilang sangat terkenal, terlebih di masa kepemimpinan Kiai Hasan Besari. beliau belajar dari pendahulunya. Kiai Hasan Besari meninggal pada tanggal 9 Januari 1862, Kiai Hasan Besari meninggal pada usia lebih kurang 100 tahun, meninggalkan 10 orang anak serta 44 cucu. Anak tertua  berumur 70 tahun yang  termuda berumur 26 tahun. Mereka semua berdoa mengelilingi jenazah. Kiai Hasan Besari dimakamkan di pemakaman keluarga dekat kakeknya Kiai Muhammad Besari Tegalsari pada hari Jumat lepas 10 Januari dan berakhir pada pukul 11 pagi.

 Prosesi pemakaman dihadiri oleh kepala desa dan ulama, serta kurang lebih 3.000 oran (Guillot, 985). Namun, yang perlu diperhatikan bahwa, konversi tanggal wafatnya Kiai Hasan Besari ke tahun Masehi dalam pemakaman di Tegalsari perlu dikaji ulang. Meskipun dipenuhi gejolak, tak bisa dipungkiri bahwa masa kepemimpinan Kiai Hasan Besari ini adalah puncak kejayaan dari Pesantren Tegalsari. Pesantren Tegalsari sebagai sebuah lembaga yang multifungsi, tidak saja sebagai lembaga pendidikan keagamaan tetapi berkembang menjadi menjadi daerah untuk mencari legitimasi secara sosial, akademik, maupun politik. Sebuah kejayaan yang belum pernah dicapai oleh dua kiai sebelumnya dan tidak juga dapat dilanjutkan oleh kiai-kiai setelahnya. Pasca masa kepemimpinan Kiai Hasan Besari, Pesantren Tegalsari diklaim mengalami dekadensi atau kemunduran. 

Putra sulung dari Kiai Hasan Besari bernama Kiai Hasan Anom diangkat sebagai kiai Tegalsari kelima waktu berusia 70 tahun. Pengangkatan diputuskan 12 tahun sebelum Kiai Hasan Besari wafat. Jadi sekitar tahun 1850, Kiai Hasan Besari tidak lagi memimpin pesantren karena usianya yang telah tua, kurang lebih 91 tahun (Brumund, 1857). Anak pertama bernama Kiai Hasan Anom (1862-1875 M) adalah seorang kiai dari Tanjong Anom, Kediri. Selanjutnya Kiai Hasan Khalifah (1875-1883 M) adalah kiai yang menjabat pada saat ditulisnya karya “De Priesterschool te Tegalsari”oleh F. Fokkens (1876-77). Putra sulung dari istri kedua Kiai Hasan Anom atau Kiai Hasan Anom II atau Kiai Shihabburromli (1883-1903 M) menjadi penerus kiai Pesantren Tegalsari yang ketujuh.

Baca Juga :   Regentschap Water Leiding Bedrijf te Djember

 Raden Utsman Aji atau Kiai Hasan Anom III (1903-1909 M) adalah anak asal Kiai Hasan Anom. Namun ada yang menyebut bahwa dirinya adalah anak Kiai Hasan Anom II (Haris, 2016). Kiai Hasan Anom III menjadi kiai Pesantren Tegalsari kedelapan. Kiai Hasan Anom III menjalani kehidupan yang memalukan seperti mencuri, merokok opium,dll (Guillot, 1985). Kiai Muhammad Ismail (1909-1926 M) atau Sichatoengaeni atau Kiai Ismagil menjadi kiai Tegalsari kesembilan. Kepala perdikan menghambur-hamburkan uang keluarga, serta membawa desa ke jurang kebangkrutan (Guillot, 1985). Sepeninggal Kiai Muhammad Ismangil, kiai Tegalsari kesepuluh kemudian dijabat sang Kiai Ihsan Alim (1926-1931 M), anak dari Kiai Muhammad Ismangil. Kesenjangan melebar, sekolah agama, hanya daerah kehidupan intelektual, bersaing dengan sekolah-sekolah yang diciptakan oleh pemerintah kolonial. Kota-kota sedang berkembang menjadi sektor industri, sedangkan Tegalsari menurun. Pengaruhnya mengecil hingga ke tingkat kabupaten. Perlahan-lahan karam pada kelambanan global pedesaan. Di tengah keruntuhan ini, seseorang kiai keluarga Tegalsari, Iskandar menyadari bahwa pengajaran pesantren tidak bisa menjawab tantangan westernisasi. Dirinya ingin merenovasi sistem pendidikan di Tegalsari.  Sekitar tahun 1927, Iskandar berencana mendirikan madrasah untuk membuka pintu masuk Islam kepada orang Jawa reformis, Namun kurang mendapat dukungan.

 Pada tahun 1930, terjadi persaingan antara kiai mengakibatkan perpecahan pesantren menjadi dua kelompok yaitu pondok lor dan pondok kidul. Tegalsari tidak begitu menarik bagi siapapun sehingga selamat dari semua duduk perkara perang, termasuk pendudukan Jepang (Guillot, 1985). Kiai Ahmad Amin Adikusumo (1931-1960 M)enjadi kiai Tegalsari selama 29 tahun, terlama dari seluruh kiai pasca Kiai Hasan Besari. Beliau menjabat tepatnya pada tahun 1931 hingga tahun 1960 Masehi (Guillot, 1985). Kiai terakhir atau kiai keduabelas adalah Kiai Alyunani (1960-1964 M) menjadi kiai pesantren selama empat tahun. Nama lengkap kiai ini adalah Kiai Alyunani Adisaputroada atau Adisepuro. 

Perlu diketahui bahwa Kiai Alyunani tidak memiliki anak. Belum diketahui secara pasti apakah hal tersebutlah yang membentuk Pesantren Tegalsari tidak ada penerusnya. Selain itu, faktor krusial kemerosotan moral berawal pada tahun 1964 dengan ditetapkannya Keputusan presiden (Peraturan Presiden) no. 13 tahun 1946 yang mengakhiri keberadaan perdikan, sehingga selepas dihapus, keberadaan Pesantren Tegalsari sepi hingga tidak adanya santri yg bermukim. namun belum diketahui secara pasti, kapan semua santri pergi, yang jelas waktu kunjungan Presiden Soeharto tahun 1978 sudah tidak ada lagi santri. 

Pada saat status tanah Tegalsari menjadi tanah perdikan pada tahun 1742 Masehi tepatnya di masa Kiai Muhammad Besari, menjadi kiai perdikan Tegalsari pertama serta berakhir di tahun 1964, Kiai Alyunani menjadi kiai perdikan Tegalsari keduabelas, berarti umur Pesantren Tegalsari adalah 222 tahun. Mulai dari tahun 1742 sampai dengan tahun 1964 Masehi. Turunnya semangat santri serta tidak tertibnya pengelolaan pesantren disebabkan penunjukan dua orang yang tidak sinkron untuk mengelola dan memimpin perdikan

Meskipun terdapat kiai yang peduli terhadap pesantren, mereka memang lebih terlibat pada pelatihan santri, tetapi kehadiran tokoh perdikan yang merupakan kerabat kiai pula turut memengaruhi dinamika pesantren ini. Bahkan pada tahun 1930, pesantren terbelah menjadi dua, Pondok Lor dan Pondok Kidul, terjadi semacam konflik. Pembagian ini memicu persaingan di lingkungan pondok pesantren Tegalsari. Disparitas peran keturunan Kiai Hasan Besari semakin terpolarisasi. Istri kiai yang berlatar belakang pesantren serta anak-anaknya memang giat belajar kepercayaan dan melanjutkan amal saleh ayahnya di Pesantren Tegalsari atau pesantren lainnya. Sebaliknya, asal istri bangsawan mirip Raden Ayu Murtosiyah lahir banyak keturunan yg lebih aktif di pemerintahan.

 Maka pada saat pemerintah kolonial Hindia Belanda menerapkan politik etis serta mendirikan sekolah-sekolah bergaya Eropa, pola sekolah Belanda yang diikuti oleh keturunan kiai Tegalsari. Semakin banyak pesantren lain yang berkembang pesat di wilayah-wilayah yang padat penduduknya  mirip di lebih kurang kota-kota besar Jawa Timur Surabaya dan sekitarnya. Pada awal abad ke-20,  pesantren besar di Jawa Timur adalah Pondok Pesantren Siwalan Panji di Surabaya, Pondok Pesantren Sidogiri di Pasuruan, Pondok Pesantren Sukorejo di Situbondo, dan Pondok Pesantren Tebuireng di Jombang, menjadi minat semuansiswa berasal daerah. dalam masa-masa kemunduran, tentu ada aspek-aspek yang berubah. 

Referensi

Bruinessen, M. v. (1995). Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat: Tradisi-tradisi Islam di Indonesia. Mizan.

Guillot, C. (1985). Le rôle historique des perdikan ou « villages francs » : le cas de Tegalsari. L’Islam en Indonésie II, 30(1), 137-162.

Multazam, D. (2018). Akar Dan Buah Tegalsari: Dinamika Santri Dan Keturunan Kiai Pesantren Tegalsari Ponorogo, 4(1), 1-20.

Rahmawati, A. Y. (2021). Kontribusi Kyai Ageng Muhammad Besari Dalam Akulturasi Dakwah Islam di Ponorogo Jawa Timur. Al-Hikmah: Jurnal Dakwah, 15(1), 69-82.

Share:

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on pinterest
Pinterest
Share on linkedin
LinkedIn

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Related Posts