Kajian Dampak Sosial dalam Konflik Masyarakat Samin vs Semen Indonesia 

Konflik antara Suku Samin dan industri semen telah menjadi perdebatan yang  kompleks dan berkelanjutan dalam sejarah Jawa Tengah, Indonesia. Suku Samin,  dengan prinsip-prinsip ajarannya yang mengutamakan harmoni dengan alam dan  kehidupan sederhana, telah hidup selaras dengan lingkungan karst yang rentan di  wilayah Pegunungan Kendeng. Di sisi lain, industri semen telah menjadi salah satu  sektor utama dalam perekonomian Indonesia dan menggunakan sumber daya alam,  terutama batu kapur, yang melimpah dalam kawasan karst ini. 


Oleh Alif Shofiul Umam 

Konflik antara Suku Samin dan industri semen mencerminkan ketegangan  antara pelestarian lingkungan dan pembangunan ekonomi. Suku Samin, dengan  tekad kuat untuk menjaga nilai-nilai lingkungan dan prinsip hidup mereka, telah  berjuang untuk melindungi ekosistem karst yang unik. Mereka mengkhawatirkan  dampak destruktif industri semen terhadap mata air, lingkungan, serta cara hidup  mereka yang tradisional.

Sekilas Mengenai Suku Samin 

Samin Surosentiko, yang lahir pada tahun 1859 di Desa Ploso  Kedhiren, Randublatung, Kabupaten Blora, memiliki nama asli Raden  Kohar. Nama “Samin” adalah sebuah nama yang lebih merakyat  daripada nama aslinya. Samin Surosentiko memiliki hubungan keluarga  dengan Kyai Keti di Rajegwesi, Bojonegoro, dan juga memiliki  hubungan dengan Pangeran Kusumoningayu yang berkuasa di daerah  Kabupaten Sumoroto yang sekarang menjadi bagian dari Kabupaten  Tulungagung. Samin Surosentiko inilah yang menjadi cikal bakal  pendirian suku samin.

Masyarakat Samin dikenal dengan sifat perlawanan, terutama  terhadap pemerintahan kolonial Belanda. Pada tahun 1890, Samin  Surosentiko mulai mengenalkan ajarannya di daerah Klopoduwur,  Blora, dan banyak penduduk di sekitar desa yang tertarik dengan  ajarannya. Dalam waktu singkat, banyak yang menjadi pengikutnya.  Pada awalnya, pemerintah kolonial Belanda tidak menganggap serius  ajaran Samin, menganggapnya sebagai ajaran kebatinan atau agama  baru yang tidak akan mengancam kedudukan mereka. 

Namun, pada tahun 1903, Residen Rembang melaporkan bahwa  ada sekitar 722 pengikut Samin tersebar di 34 desa di Kabupaten Blora bagian selatan dan daerah Bojonegoro. Mereka giat dalam penyebaran  ajaran Samin, dan pada tahun 1907, jumlah pengikut Samin meningkat  menjadi lebih dari 5.000 jiwa. Akibat penyebaran ajaran Samin yang  semakin aktif, pemerintahan kolonial Belanda mulai khawatir, dan  banyak pengikut Samin ditangkap dan dipenjarakan, termasuk Ki  Samin, yang diasingkan ke Sumatra hingga meninggal dalam kondisi  pengasingan. 

Masyarakat Samin dibagi menjadi empat tipe, yaitu Samin  Sangkak, Samin Ampengampeng, Samin Samiroto, dan Samin Dlejet.  Samin Sangkak memiliki pola berbicara kasar (bahasa Jawa ngoko) saat  berinteraksi dengan pihak lain untuk menyembunyikan identitas  mereka dan berperlawanan terhadap pemerintahan kolonial Belanda.  Samin Ampengampeng mengaku sebagai Samin tetapi tidak  mengamalkan ajaran Samin. Samin Samiroto mengaku sebagai Samin  tetapi juga mengikuti adat non-Samin dalam kehidupan sehari-hari.  Samin Dlejet adalah mereka yang benar-benar mengikuti prinsip ajaran  Samin dan bersikap perlawanan terhadap pemerintah. 

Namun, karakteristik ini tidak selalu bersifat tetap, karena banyak  faktor, seperti pendidikan formal, budaya luar, dan modernitas, dapat  memengaruhi pandangan dan perilaku mereka. Samin bisa memiliki  karakteristik dari salah satu atau lebih dari satu tipe ini tergantung pada  situasi dan pola pikir mereka saat berinteraksi dengan non-Samin.  Beberapa di antaranya dapat membuka diri terhadap budaya luar dan  menerima modernitas, meskipun mereka memiliki strategi untuk  mempertahankan identitas mereka.

Masyarakat Samin di berbagai daerah juga tidak menutup diri dari  pemerintah dan bersedia menjalankan perintah pemerintah. Namun,  ajaran Samin tetap dijalankan oleh komunitas Samin hingga saat ini.  Bahasa yang digunakan oleh mereka adalah bahasa Jawa yang  digunakan dengan sederhana. Masyarakat Samin tidak suka  menggunakan bahasa asing dan memandang bahwa bahasa Jawa adalah  yang paling sesuai. Ajaran Samin juga mencakup nilai-nilai etika dan  non-kekerasan dalam melawan pemerintah. Meskipun ada stigma  negatif terhadap mereka terkait penolakan pajak pada masa penjajahan,  ajaran Samin terus mencerminkan karakteristik perlawanan terhadap  pemerintah. Dalam perkawinan, beberapa dari mereka tidak melibatkan  lembaga formal dan tidak memiliki dokumen seperti KTP, karena ini  dianggap sebagai bentuk perlawanan terhadap pemerintah. 

Pengaruh geografis wilayah tempat tinggal masyarakat Samin  sangat memengaruhi jenis mata pencaharian dan pola hidup mereka.  Sebagian besar masyarakat Samin hidup sebagai petani dan mencari  kayu bakar. Kehidupan mereka yang berkumpul di daerah hutan negara  juga dipengaruhi oleh faktor geografis. Permasalahan utama yang  muncul adalah bagaimana kondisi geografis memengaruhi kehidupan  sosial masyarakat Samin. Penelitian ini bertujuan untuk memahami  bagaimana faktor geografis memengaruhi kehidupan sosial masyarakat  suku Samin (Sa’ida, 2018).

Pokok Ajaran Suku Samin 

Masyarakat Samin memiliki prinsip dalam agama yang mereka  sebut sebagai “aku wong jowo, agamaku njowo” (aku orang Jawa,  agamaku njowo, yaitu agama Adam). Mereka meyakini bahwa agama  Adam adalah agama yang mereka bawa sejak lahir. Inti dari ajaran  Samin Surosentiko adalah tentang “manunggaling kawula lan gusti”  atau “sangking paraning dumadi.” Artinya, ini merupakan ajaran  tentang asal-usul manusia, siapa dan apa tujuan hidup manusia. 

Ki Samin Surosentiko menyebarkan ajarannya dan memiliki  banyak pengikut. Dia mendapatkan ilmu dan mendekatkan diri kepada  Hyang Kuasa melalui tindakan tapa (pertapaan) di hutan tanpa  gangguan dari keramaian. Dia mendapatkan wahyu dan bimbingan dari  gaib atau Hyang Kuasa. Wahyu tersebut berisi perintah untuk  membimbing umat manusia agar selalu berbuat baik kepada sesama. 

Materi ajaran Samin mencakup; a) Menata hidup dan penghidupan di masyarakat dengan  tatanan seperti perkawinan yang benar, ilmu pendunungan, dan tujuan hidup yang sejati. Tujuannya adalah agar  manusia bisa mencapai kesempurnaan hidup; b) mereka meyakini bahwa manusia harus memahami tujuan  hidup mereka karena hidup hanya sekali namun untuk  selamanya setelah ini; b) penting untuk selalu berbuat baik kepada sesama manusia,  lingkungan, dan alam semesta. Mereka meyakini bahwa  orang yang menanam pasti akan menuai, orang yang  membuat pasti akan memakai, dan orang yang berhutang  pasti akan membayar. Prinsip ini mengajarkan bahwa  manusia harus selalu berbuat baik dan menjaga hubungan  baik dengan sesama.

Baca Juga :   Huru-Hara yang Pernah Terjadi di Mekkah

Ajaran Samin menyatakan bahwa esensi agama adalah panduan  hidup yang tercermin dalam prinsip ajaran dan pantangan. Kenyamanan  batin merupakan dasar keyakinan yang disebut sebagai agama, dan  prinsip-prinsip ini menjadi pedoman dalam kehidupan sehari-hari.  Dengan ini, masyarakat Samin mengutamakan kebaikan, persaudaraan,  dan hubungan yang baik dengan sesama manusia. 

Prinsip Ajaran Samin 

Ajaran Samin memiliki beberapa prinsip dasar dalam bentuk  pantangan. 

  1. Tidak diperbolehkan mendidik anak dalam pendidikan  formal, sehingga anak-anak hanya diberikan pendidikan  informal oleh kedua orang tua mereka di rumah. Hal ini  dilakukan agar anak tidak tergoda untuk membaca dan  menulis, karena kedua keterampilan tersebut dianggap akan  mendorong mereka untuk meninggalkan pertanian dan  keluarga mereka. Mereka khawatir bahwa pendidikan  formal akan membuka pintu bagi anak-anak untuk terpapar  budaya luar yang dapat mengganggu keyakinan dan nilai-nilai Samin. Sebagai contoh, ada kekhawatiran bahwa  anak-anak yang mendapatkan pendidikan formal mungkin  akan menikah dengan orang non-Samin. 
  1. Tidak boleh memakai celana panjang dan peci. Celana  panjang dan peci adalah simbol penjajah kolonial Belanda.  Masyarakat Samin mengenakan pakaian tradisional  mereka, termasuk memakai udeng saat upacara atau  pertemuan penting. Ini adalah bentuk perlawanan terhadap  penjajahan Belanda. 
  1. Tidak diizinkan untuk berdagang. Hal ini dimaksudkan  sebagai tindakan antisipasi untuk mencegah praktik  berbohong yang sering terjadi dalam aktivitas perdagangan.  Masyarakat Samin menghindari kebohongan, dan oleh  karena itu, menghindari profesi berdagang yang dianggap  memiliki peluang besar untuk terlibat dalam praktik  berbohong. 
  1. Tidak diperbolehkan beristri lebih dari satu. Ajaran ini  dimaksudkan untuk menghindari konflik dalam keluarga  yang dapat timbul akibat pernikahan dengan lebih dari satu  istri. Sebagai langkah pencegahan, Samin mendoktrin  bahwa seorang pria hanya boleh memiliki satu istri. Hal ini  dianggap sebagai salah satu pantangan masyarakat Samin. 

Pantangan-pantangan ini mencerminkan tekad masyarakat Samin  untuk menjaga keyakinan, nilai-nilai, dan tradisi mereka, serta untuk menghindari pengaruh luar yang dianggap dapat merusak prinsip prinsip hidup mereka.

Konflik Semen Samin 

  1. Dampak Sosio-Ekonomi Masyarakat Samin 

Suku Samin memang memiliki perbedaan yang mencolok  dengan masyarakat Jawa pada umumnya, terutama dalam  menghadapi modernisasi yang merambah ke wilayah Jawa. Di  tengah keramaian perkembangan modern, Sedulur Sikep Samin  tetap kokoh dalam mempertahankan nilai-nilai warisan nenek  moyang mereka. Menurut Gunarti, salah satu pengikut Samin,  masyarakat Samin memiliki tujuan sederhana, yaitu bertani dan  memiliki akses terhadap tanah dan air. Masyarakat Samin sangat  bergantung pada air untuk keperluan irigasi pertanian, kehidupan  sehari-hari, serta sebagai sumber pakan ternak mereka. 

Gaya hidup masyarakat Samin memberikan pelajaran penting  tentang keselarasan dengan alam. Mereka mengakui bahwa manusia  hidup karena ketergantungan pada alam dan hasil-hasil yang  diberikan oleh bumi. Oleh karena itu, masyarakat Samin sangat  peduli terhadap perlindungan lingkungan. Mereka merenungkan  masa depan, terutama tentang bagaimana kehidupan generasi penerus mereka akan terpengaruh jika sumber mata air semakin  terancam atau hilang (Subekti, 2016).

Dari perspektif PT. Semen, potensi batuan gamping di Kawasan  Kendeng Utara telah lama menjadi target mereka. PT. Semen  Gresik, yang beroperasi di Gresik, adalah salah satu perusahaan  yang berlokasi paling dekat dengan wilayah tersebut dan telah  berupaya untuk menjalin kerjasama dengan pemerintah Kabupaten  Pati. Pada tahun 2005, PT. Semen Gresik mengajukan tawaran  investasi sebesar Rp. 3,5 triliun kepada Pemerintah Daerah Pati  untuk mendirikan pabrik semen baru di Jawa Tengah. Rencana  pendirian pabrik semen tersebut mencakup secara administratif  empat kecamatan, yakni Sukolilo, Kayen, Gabus, dan Margorejo,  yang terdiri dari empat belas desa dan memerlukan luas lahan total  sekitar 1.350 hektare. Luas lahan 1.350 hektare ini akan digunakan  oleh PT. Semen Gresik untuk kegiatan penambangan batu kapur  (700 hektare), penambangan tanah liat (250 hektare), pembangunan  pabrik produksi semen (85 hektare), serta infrastruktur  transportasi/jalan (85 hektare) dan fasilitas pendukung lainnya (230  hektare). 

PT. Semen Indonesia memiliki kepentingan untuk memperluas  wilayah tambang mereka. Selama ini, PT. Semen Gresik telah  beroperasi di Gresik dan Tuban, dan sekarang mereka ingin  memperluas operasi pertambangan mereka ke wilayah Rembang  dan Pati. Alasan di balik upaya perluasan ini adalah karena potensi  batuan gamping di Pegunungan Kendeng dianggap sebagai peluang  besar untuk meningkatkan profitabilitas perusahaan. Pembukaan  tambang baru adalah langkah yang diambil oleh perusahaan untuk  memperluas kapasitas produksi mereka, karena industri  pertambangan memerlukan waktu yang lama untuk pemulihan atau  pemulangan lahan yang telah dieksploitasi. Oleh karena itu, satu satunya cara untuk menjaga tingkat produksi perusahaan adalah  dengan membuka tambang baru, meskipun ini juga berarti  kerusakan lingkungan yang signifikan (Subekti, 2016). 

Sementara dari perspektif pemerintah, mereka mengklaim  bahwa memberikan izin penambangan kepada PT. Semen Indonesia  oleh Pemerintah Kabupaten Pati adalah bagian dari upaya untuk  meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan mengembangkan  potensi alam yang ada di daerah tersebut. Pada tanggal 8 Desember  2014, Bupati Pati, Haryanto, menerbitkan izin penambangan melalui  Surat Keputusan Bupati Nomor. 660.1/4767/ tahun 2014 tentang  izin lingkungan. Pemerintah berharap bahwa investasi dari PT.  Semen Indonesia akan membawa perubahan positif bagi Kabupaten  Pati. 

Baca Juga :   Cultuurstelsel: Ketika Pulau Jawa Sebagai “Sapi Perah” Kolonial

Sebagai kepala daerah, Bupati memiliki kewenangan untuk  menentukan arah kebijakan pembangunan di wilayah Kabupaten  Pati, termasuk dalam upaya meningkatkan kesejahteraan  masyarakat melalui investasi bersama PT. Semen Indonesia. Dalam  pandangan Dahrendof, konflik muncul sebagai hasil dari posisi yang  berbeda dalam asosiasi yang terkoordinasi secara imperatif dan  dalam konteks hubungan kekuasaan. Jabatan struktural yang  dimiliki oleh seorang kepala daerah memberikan legitimasi yang  kuat bagi mereka untuk menggunakan wewenang mereka. Namun,  konflik muncul ketika kekuasaan Bupati bersinggungan dengan  klaim masyarakat Samin atas wilayah tersebut sebagai tanah milik  mereka. Dalam konsep demokrasi, kekuasaan seharusnya berada di  tangan rakyat, dan inilah yang menjadi landasan bagi masyarakat  Samin dalam memperjuangkan hak mereka.

Selain memberikan izin penambangan, pemerintah juga  menunjukkan dukungan terhadap aktivitas penambangan dengan  mengirimkan personel TNI dan ABRI untuk memberikan  perlindungan ketika perusahaan semen hendak masuk ke lokasi  pertambangan. Mereka menghalangi warga yang mencoba  menghentikan perusahaan semen dan bahkan menggunakan  kekerasan untuk mendorong warga Samin untuk meninggalkan  lokasi. Beberapa kali, mereka juga mengancam warga dengan  tindakan hukum jika warga tetap melanjutkan protes mereka.

Faktor Penyebab Konflik Pembangunan Pabrik Semen adalah kurangnya transparansi dalam rencana pembangunan  pabrik semen. Rencana ini tidak diinformasikan kepada  warga, dan hanya diperoleh oleh pemerintah dengan cara  yang bersifat rahasia. Selain itu, tidak ada upaya sosialisasi yang dilakukan untuk memberitahu warga  tentang rencana pembangunan pabrik semen, sehingga  warga tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang  rencana tersebut. Selain itu, Faktor esensial yang memicu konflik adalah isu kerusakan  lingkungan yang terkait dengan keberlangsungan hidup  masyarakat, yang sangat bergantung pada ketersediaan air  bersih dan udara yang bersih. Faktor ekonomi dan hukum juga menjadi pemicu dan memperkeruh konflik ini (Khusnia & Warsito, 2018,). 

  1.  Perubahan Sosial Suku Samin 

Melihat hiruk pikuk yang terjadi antara Kaum Samin dengan  proyek tambang semen di Kendeng juga memperhatikan pengaruh  dari Pemangku Kebijakan, terlepas dari adanya isu mengenai adanya  kepentingan pihak tertentu. Perlu dicermati bahwa dalih  pemerintah selaku pemangku kebijakan yang berdalil adanya  proyek tersebut ialah harapan untuk kesejahteraan ekonomi  masyarakat. Pada realita atau fakta lapangan yang terjadi ialah,  masyarakat sekitar yang memiliki lahan produktif untuk pertanian  perkebunan menjadi terganggu dan diprediksi mengalami  kegagalan, karena kondisi lahan sudah tidak layak. ditambah dengan  adanya aktivitas tambang alih-alih membuat sejahtera, masyarakat  justru kian resah dengan adanya masalah pada kesehatan. jika  melihat sudut pandang peluang kerja, Masyarakat Samin memiliki  kemampuan terbatas jika dihubungkan dengan dunia industrial.  Belum lagi ditambah Kaum Samin tidak memiliki data administrasi  (KTP, arsip lainnya). dari beberapa point ini, dapat dilihat  pemerintah perlu melakukan peninjauan ulang terhadap proyek  tersebut. Agar tidak terjadi hal serupa semacam proyek food estate  Kalimantan dan (1969) dan Papua (2020) serta proyek yang tidak  meninjau segala aspek keseluruhannya.

Kesimpulan  

Suku Samin, yang bermula dari ajaran Ki Samin Surosentiko di Kabupaten  Blora, Jawa Tengah, memiliki prinsip dasar yang mencakup penghindaran terhadap  pendidikan formal, pemakaian pakaian simbolik Belanda, berdagang, dan poligami.  Masyarakat Samin meyakini agama sebagai panduan dalam kehidupan sehari-hari,  mengutamakan kebaikan, persaudaraan, dan hubungan baik dengan sesama.  Mereka memegang teguh prinsip “aku wong jowo, agamaku njowo” (aku orang  Jawa, agamaku njowo) dan percaya pada manunggaling kawula lan gusti, yang  menyoroti asal-usul manusia dan tujuan hidup. Pantangan-pantangan ini  merupakan bentuk perlindungan terhadap nilai-nilai dan keyakinan Samin, serta  usaha untuk menjaga kemerdekaan dari pengaruh luar yang dianggap dapat  mengganggu prinsip-prinsip hidup mereka. 

Konflik antara Suku Samin dan proyek pembangunan pabrik semen di  Kawasan Kendeng memiliki akar penyebab yang kompleks. Konflik ini muncul  karena kurangnya transparansi dalam rencana pembangunan yang tidak  diinformasikan kepada warga dengan baik, sehingga warga tidak memiliki  pengetahuan yang cukup tentang proyek tersebut. Faktor utama yang memicu  konflik adalah kekhawatiran akan kerusakan lingkungan, terutama terkait dengan  ketersediaan air bersih dan udara yang bersih, yang sangat penting bagi kehidupan  masyarakat Samin. Selain itu, isu ekonomi juga memainkan peran dalam konflik  ini, karena pemerintah mengklaim bahwa proyek ini akan membawa kesejahteraan.

ekonomi, sementara masyarakat melihat dampak negatif terhadap pertanian dan  sumber daya air mereka. Pengaruh pemangku kebijakan dalam hal ini juga menjadi  pertimbangan penting. Oleh karena itu, peninjauan ulang proyek tersebut dan  melibatkan warga serta mendengarkan kekhawatiran mereka akan menjadi langkah  yang bijak dalam mengatasi konflik ini dan memastikan keberlanjutan kehidupan  masyarakat Samin.

Referensi

Khusnia, K., & Warsito. (2018). Resolusi Konflik Pembangunan Pabrik Semen di Kecamatan Gunem Kabupaten Rembang. Journal of Politic and Government Studies, 7(2), 111-120.

Sa’ida, I. A. (2018). Kehidupan Masyarakat Samin Di Kabupaten Bojonegoro Sebagai Pembelajaran IPS Materi Keberagaman Budaya. At-Thullab: Jurnal Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah, 2(2), 83-90.

Subekti, T. (2016). Konflik Samin vs PT. Semen Indonesia. Jurnal Transformative, 2(2), 189-202.

Share:

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on pinterest
Pinterest
Share on linkedin
LinkedIn

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Related Posts