Mengapa Minangkabau Melarang Pernikahan Sesuku?

Penduduk asli Sumatera Barat mempunyai identitas tersendiri yaitu suku Minangkabau atau bisa disingkat menjadi Suku Minang. Berdasarkan catatan sejarah, Suku Minangkabau ini dibentuk oleh nenek moyang orang Minang pasca perang Paderi. Kemenangan didapat oleh penduduk Minangkabau, sehingga dibentuklah Rumah Loteang (Rangkiang) di Pagaruyung yang memiliki ciri khas atap berbentuk kepala kerbau. Hal ini merupakan bentuk apresiasi penduduk untuk mengingat kejadian bersejarah tersebut. Atap berbentuk kepala kerbau ini menjadi ciri khas dari rumah adat Minangkabau yang disebut Rumah Gadang atau Rumah Gonjong. 

Oleh Hanum Alya Salsabila

Minangkabau memiliki falsafah yang menjadi landasan dalam berperilaku, yang berbunyi “Adat basandi sarak, sarak basandi Kitabullah” semboyan ini bermaksud bahwa masyarakat Minangkabau memegang teguh landasan utama dalam berkehidupan yaitu adat dan Islam. Adat dalam hal ini menjelaskan bahwa masyarakat Minangkabau memiliki identitas sebagai penduduk asli Minang yang lahir dengan hukum adat. Sementara Kitabullah menjelaskan bahwa masyarakat Minangkabau sepakat menerima masuknya agama Islam ke daerah Minangkabau. Para nenek moyang sepakat bahwa seluruh alam semesta merupakan ciptaan Allah SWT sebagai bentuk kebesaran-Nya. Hal ini menjadi latar belakang mengapa masyarakat Minangkabau menjadikan Al-Qur’an sebagai landasan hukum di Sumatera Barat. Bahkan saat ini, masyarakat Minangkabau dipenuhi oleh masyarakat yang menganut ajaran Islam yang mana sebagian besar atau bahkan seluruhnya beragama Muslim. Jika ada penduduk Minangkabau yang tidak menganut ajaran Islam dapat dikatakan sebagai pendatang dalam artian bukan bagian masyarakat asli Minangkabau itu sendiri.

Minangkabau memiliki silsilah yang unik, yang mana suku Minangkabau merupakan suku yang menganut kebudayaan matrilineal atau kebudayaan yang berdasarkan garis keturunan ibu. Kebudayaan ini dinilai sebagai bentuk penghargaan bagi sosok kaum perempuan di Minangkabau. Minangkabau sangat menghormati kaum perempuan karena mereka menganggap bahwa kaum perempuan itu istimewa terutama ibu yang merupakan perempuan paling berperan dan dicintai dalam kehidupan dengan segala perjuangannya melahirkan keturunan dalam keluarga. Di sisi lain, kaum perempuan Minangkabau sering disebut Bundo Kanduang yang berperan dalam menentukan kesuksesan pelaksanaan segala keputusan yang dibentuk oleh kaum laki-laki yang disebut sebagai Mamak. Kebudayaan matrilineal ini yang membentuk kedudukan perempuan di Minangkabau lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Sehingga segala bentuk warisan dan harta kekayaan berupa pusaka di Minangkabau akan didominasi oleh kaum perempuan. 

Kebudayaan matrilineal ini menjadikan Minangkabau memiliki beberapa peraturan dan hukum adat yang bersifat mengikat bagi masyarakat, diantaranya hukum adat mengenai larangan menikah antar sesama suku. Pernikahan menurut budaya Minangkabau adalah peristiwa penting dalam kehidupan yang mencakup faktor fisik, psikis, sosiologis, dan status sosial dalam masyarakat. Larangan menikah sesuku ini berarti budaya Minangkabau mengharuskan masyarakat atau penduduknya untuk menikah dengan yang berbeda suku. Suku Minangkabau memiliki beberapa bagian suku seperti Suku Piliang, Suku Caniago, Suku Jambak, Suku Koto, Suku Sikumbang, Suku Tanjuang, dan banyak lainnya. Antar sesama suku tersebut dilarang untuk menuju jenjang yang lebih serius yaitu pernikahan di adat Minangkabau. Mengapa demikian? Hal ini karena masyarakat Minangkabau percaya bahwa antar sesama suku di ranah Minang berarti saling bersaudara (badunsanak) atau sedarah. Nenek moyang Minangkabau terdahulu beranggapan bahwa pernikahan sesuku justru akan mengakibatkan banyaknya musibah yang menimpa keluarga seperti rezeki yang tidak lancar dan bahkan dipercaya membawa ketidakharmonisan dalam rumah tangga. Meskipun demikian, hukum adat ini bagi masyarakat Minangkabau harus ditaati. Bukan hanya sekadar sedarah dan menimbulkan ketidakharmonisan, akan tetapi leluhur di Minangkabau juga mempercayai bahwa menikah dengan satu suku yang sama akan merusak keturunan mereka. Hal ini menjadi alasan bagi masyarakat Minangkabau untuk mematuhi hukum adat yang berlaku. 

Baca Juga :   Malang Bumi Hangus: Kolaborasi TNI dan Rakyat Dalam Eksistensi Perjuangan di Wilayah Malang

Bagaimana dengan ciri khas masyarakat Minangkabau yang hobi merantau? Hal ini juga menjadi pertanyaan bagi sebagian orang. Secara umum, kebiasaan masyarakat Minangkabau yang terun-temurun adalah merantau. Kebiasaan ini dimulai karena beberapa faktor pendorong, salah satunya faktor ekonomi, yang mana masyarakat Minang gemar berdagang, dibuktikan dengan banyaknya masyarakat Minang yang tersebar di wilayah Indonesia dengan membawa kemampuan perdagangan, seperti adanya Rumah Makan Masakan Padang yang tersebar di Indonesia. Berbicara mengenai hukum adat larangan pernikahan sesuku, orang Minang yang merantau diperbolehkan secara adat untuk menikah dengan orang luar Minang sesuai dengan kesepakatan dua pihak keluarga dan dengan persetujuan ketentuan adat masing-masing keluarga.

Hukum adat pernikahan sesuku ini apabila dilanggar oleh seseorang yang asli keturunan Minangkabau akan mengakibatkan munculnya sanksi kepada pihak pelanggar baik berupa sanksi materi maupun sanksi psikis atau mental untuk pelanggar. Sanksi terbesar bagi pelanggar adat tersebut adalah diusir dari kampung serta dikeluarkan dari suku karena dianggap merusak nama baik suku tersebut. Sanksi ini tentu akan merusak mental pelanggar, karena dipermalukan dengan cara diusir dan dikeluarkan dari suku maupun kampungnya sendiri. Sanksi lainnya dapat berupa dikucilkan masyarakat setempat, tidak mendapatkan posisi dalam tahta adat, menjadi bahan omongan bagi masyarakat sekitar, dan salah satu pelanggar harus mengganti atau keluar dari suku, serta membayar denda. Sanksi materi dari langgaran hukum adat ini adalah berupa pembayaran denda tersebut. Denda yang dibayarkan sesuai berat dari suatu kesalahan. Denda tersebut dapat berupa satu ekor sapi yang disembelih dan dijadikan sebagai menu makanan bersama. 

Diadakannya sanksi tersebut menuntut masyarakat Minangkabau secara tidak langsung untuk mentaati hukum adat yang berlaku. Kepercayaan serta tradisi adat ini sudah mendarahdaging bagi masyarakat Minangkabau, sehingga jarang kita jumpai masyarakat Minangkabau yang melanggar hukum ini, walaupun beberapa masyarakat tentu masih ada yang melanggar. Bahkan pada zaman yang semakin maju seperti sekarang ini, hukum adat ini masih diberlakukan, meskipun ada masyarakat yang mulai mengabaikan dengan alasan kesepakatan keluarga. Inilah salah satu bentuk kasus hukum adat mengenai larangan pernikahan sesuku ini sudah perlahan memudar namun belum sepenuhnya dikatakan punah. Hal ini dikarenakan di beberapa wilayah dan tempat di Sumatera Barat yang masih kental dengan hukum adat akan terus memegang hukum adat sepenuh jiwanya.

Referensi

B, Ria Febria, Rini Heryanti dan Amri Panahatan Sihotang. (2022). “Kajian Hukum Perkawinan Adat Sesuku di Masyarakat Minangkabau”. Semarang Law Review (SLR). Vol. 3 No. 1. Diakses pada 26 Oktober 2023. 

Dewi, Nadilla Yuwanita. (2023). “Matrilineal Masyarakat Minangkabau dalam Novel Perempuan Batih Karya A.R. Rizal”. BAPALA. Vol. 10 No. 1, 197-207. Diakses pada 26 Oktober 2023.

Sumbarprov.go.id. 25 November 2016. Asal Usul Sumatera Barat – Sejarah Minang Kabau, diakses pada 26 Oktober 2023.

Sumbarprov.go.id. 25 November 2016. Falsafah Budaya Minang Adat Basandi Sarak, Sarak Basandi Kitabullah, diakses pada 26 Oktober 2023.

Yulianti, Amung Ahmad dan Fathia Lestari. (2020). “Undang-Undang Sumatera Barat (Minangkabau) Tahun 1837-1862”. Historia Madania. Vol. 4 No. 1, 31. Diakses pada 26 Oktober 2023.

Hanum Alya Salsabila, IPII, UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Share:

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on pinterest
Pinterest
Share on linkedin
LinkedIn

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Related Posts