Mendebat Sosok Herodotus Sebagai “Bapak Sejarah”

Ketika kita mempelajari historiografi Eropa, kita akan menemukan perdebatan mengenai dua polar kekuatan. Pada abad ke-19 dan abad ke-20, kita menemukan perdebatan antara positivisme yang diusung Leopord von Ranke dengan idealisme yang digemakan mazhab Annales. Mundur sedikit ke belakang, kita akan menemukan perdebatan antara historiografi masa pertengahan yang sangat religius dengan historiografi masa Renaisans yang menekankan akal budi. Mundur jauh ke belakang, ke awal sejarah diciptakan di Eropa, kita akan menemukan perdebatan mengenai sosok Herodotus.


Oleh Putu Prima Cahyadi

Herodotus, melansir sebuah artikel yang ditulis Hanny Nur Fadhilah dalam situs National Geographic Indonesia, tidak hanya dijuluki sebagai “bapak sejarah” semata. Ia juga mendapat julukan sebagai “bapak kebohongan.” Mengapa demikian? Karena banyak cendekiawan saat itu menganggap sejarah yang ia tulis, yang mengisahkan tentang “ular terbang” dan “semut pembunuh unta”, penuh dengan mitos menyesatkan.

Posisi Herodotus yang sangat lekat dengan mitos membuat Absal Bachtiar menempatkan Thucydides, sejarawan Yunani kuno lainnya, sebagai “bapak sejarah ilmiah”. Dengan berlandaskan penulisan sejarah yang teratur dan kredibel, ia memandang Thucydides lebih layak disebut sebagai “bapak sejarah” alih-alih menyematkannya kepada Herodotus.

Apakah Herodotus tidak layak untuk menyandang gelar “bapak sejarah”? Atau, ada aspek-aspek tertentu, yang masih dapat mempertahankan posisi Herodotus sebagai “bapak sejarah”?

Herodotus Selayang Pandang

Mengutip Britannica, Herodotus lahir di Halicarnassus (sekarang Bodrum, Turki) kira-kira pada 484 SM. Ayahnya, Lyxes, merupakan seorang bangsawan lokal, sementara pamannya, Panyassis, mengabdikan diri sebagai penulis puisi. Menurut M. Grant dalam buku Greek & Roman Historians: Information and Misinformation, ia sempat pindah ke Samos ketika pamannya dibunuh sekitar 454 SM. Ia kembali lagi ke tanah kelahirannya beberapa tahun kemudian, untuk bergabung dengan Liga Delian.

Sebagai seorang anak bangsawan, Herodotus menghabiskan waktunya untuk berkelana. Ia aktif mengunjungi wilayah-wilayah lain, untuk mengisi ceramah maupun menyimak kisah yang dimiliki wilayah tersebut. Selain itu, menurut M. Grant, ia menggemari dunia tulis-menulis, dan aktif menulis hasil catatan perjalanannya. Pengalaman hidup ini, yang membuahkan karya sejarah pertama di dunia.

Histories

Karya sejarah pertama yang ditulis Herodotus adalah Histories. Menurut kisah yang disajikan dalam Histories, karya tersebut diduga disusun kira-kira pada 430 SM.

Secara sekilas, Histories mengisahkan sejarah dan tradisi dan jejak-jejak kehidupan masyarakat Yunani kuno dan non-Yunani pada masa itu. Mengutip pernyataan Herodotus sendiri, motivasi untuk menulis Histories adalah “untuk mencegah hilangnya jejak-jejak peristiwa yang dilakukan manusia, dan untuk mengabadikan kejayaan pencapaian penting yang diraih bangsa Yunani dan non-Yunani.”

Selain mengisahkan jejak-jejak masa silam, Histories juga menggambarkan hasil perjalanan Herodotus mengunjungi berbagai kota yang ada pada masa Yunani kuno. Mengutip pernyataan Herodotus, ia menyatakan bahwa Histories 

“mengisahkan cerita saat saya mengunjungi kota-kota kecil dan kota-kota besar. Sebagian besar kota yang dulu besar kini kecil; dan kota-kota yang dulu kecil kini besar. Lantaran mengetahui bahwa kejayaan manusia tidak pernah kekal, saya harus memperhatikan keduanya sekaligus.”

Dalam proses penulisan Histories, Herodotus menggunakan satu metode utama. Metode utama tersebut adalah metode lisan. Ia mengumpulkan sumber-sumber lisan dari orang-orang yang dia temui dalam perjalanannya. Dalam beberapa kasus, ia menyebutkan nama informan tempat dirinya mendapatkan informasi tersebut, meski menurut Marnie Hughes-Warrington dalam buku 50 Tokoh Penting dalam Sejarah, ia lebih sering menggunakan kalimat seperti “orang-orang Sparta mengatakan,” atau “orang-orang Athena mengatakan” dalam melakukan pengutipan.

Baca Juga :   Sejarah dan Kondisi Perkebunan Pabrik Kopi Gumitir Jember: Sumber Ekonomi bagi Pemerintah Kolonial Hindia Belanda

Dalam mengolah sumber-sumber lisan yang ia temukan, Herodotus akan menggunakan sumber yang saling bertolak belakang jika ia menemukan dua kisah berbeda dalam mengisahkan satu peristiwa. Dalam mengisahkan Io dalam Buku I, ia menggunakan sumber dari masyarakat Persia, melalui kalimat “menurut orang Persia yang paham dengan sejarah,” dan masyarakat Fenisia (Phoenicia), dengan kalimat “bangsa Fenisia, akan tetapi, berbeda dengan cerita orang Persia.” 

Meski masih kasar, bisa dikatakan bahwa Herodotus menggunakan metode kritis dalam penulisan Histories. Mengutip pernyataan Michael Simpson dalam artikel Herodotus and Modern History, Herodotus “sukses dalam memanfaatkan sumber lisan di luar standar pada saat itu.”

Suara Para Penentang dan Pembela

Meski menjadi pioner dalam menggunakan metode lisan dan kritis dalam penulisan sejarah, beberapa pemikir, baik pada masa klasik maupun modern, mendiskridetikan Histories dan Herodotus. Mengutip artikel Jonas Grethlein yang berjudul How Not to do History: Xerxes in Herodotus’ ‘Histories’, Thucydides, penulis buku Peloponnesian War, mengkritik Herodotus sebagai sosok yang tidak kritis. Dalam karyanya, Thucydides mengatakan bahwa Histories tidak akan bertahan lama, karena hanya menyampaikan “pesan tersirat untuk menyenangkan telinga beberapa orang saja.”

Plutarch, dalam selebaran On the Malice of Herodotus, mendukung opini Thucydides. Ia berpendapat bahwa Herodotus hanya “menyukai apa yang dianggap tidak bisa dipercaya oleh orang-orang Yunani.” Singkatnya, Herodotus menggambarkan kisah-kisah supranatural dengan pendekatan yang bombastis dan tanpa landasan kritis.

Sejarawan modern pun ikut masuk dalam perdebatan mengenai sosok Herodotus. Jeffrey Moris, dalam artikel Inimitable Charlatan of the “Father of History”? A Reexamination of Herodotus, mengatakan bahwa kelompok berpendidikan, baik pada masa Herodotus maupun pada masa sekarang, berargumen Herodotus tidak menghasilkan sejarah objektif.

Cicero, cendekiawan Romawi yang menyematkan gelar “bapak sejarah” kepada Herodotus, juga mengatakan bahwa Herodotus banyak menghasilkan dusta. Mengutip Arnaldo Momigliano dalam artikel The Place of Herodotus in the History of Historiography, Cicero berpendapat

“[s]setiap hal ditunjukkan sebagai sarana untuk memperoleh kebenaran, namun dalam puisi, sebagian besar hal ditunjukkan sebagai sarana untuk memperoleh kesenangan – meskipun dalam Herodotus, sang bapak sejarah … ada dongeng yang tak terhitung banyaknya.”

Meski harus menghadapi banyak gugatan, terdapat beberapa sejarawan yang membela Herodotus. Menurut Ann Docker dan John Curthoys dalam buku Is History Fiction?, mereka menyatakan bahwa Herodotus masih layak menyandang gelar “bapak sejarah”. Mereka beralasan bahwa sejarah yang disajikan Herodotus dalam Histories, yakni sejarah kebudayaan, menjadi fokus utama kajian sejarah di berbagai lembaga ilmu pengetahuan. Sejarawan dewasa ini tidak lagi melihat sejarah hanya sebagai kisah para pembesar dan perang semata. Sejarah, bagi mereka, adalah kisah masyarakat kebanyakan dengan pendekatan sosio-kultural.

Pernyataan Docker dan Curthoys didukung oleh J.A.S. Evans, yang menyatakan bahwa penulisan sejarah yang digunakan Herodotus, yakni dengan bentuk prosa sosio-kultural dengan gaya bahasa puitis, kalah pamor dengan sejarah militer dengan gaya bahasa tegas yang disajikan Thucydides. Dalam artikel berjudul Father of History of Father of Lies: The Reputation of Herodotus, Evans menyatakan

“[b]aik Herodotus dan Thucydides menulis tentang perang; perang yang disebabkan oleh berbagai hal di zaman klasik. Tujuan Thucydides dalam menulis, seperti yang dia katakan, adalah untuk menghasilkan sebuah rekaman mengenai perang Athena dan Sparta yang dapat digunakan untuk mencerahkan manusia di masa depan, [sementara] Herodotus … menulis untuk [memberikan] bukti kuat yang tidak dapat dilupakan orang dan menunjukkan aitia (responsible) sebuah perang.”

Baca Juga :   Sang Raja Chef Bernama Auguste Escoffier

Melalui pendapat Evans, kita dapat melihat dua cabang penulisan sejarah pada masa Yunani kuno. Cabang pertama, dimulai oleh Thucydides dan diteruskan oleh sejarawan-sejarawan berikutnya. Cabang kedua, disayangkan, dipegang oleh Herodotus sendirian, tidak ada yang meneruskan. Justru, pendekatan sejarah yang disajikan Herodotus baru diteruskan oleh sejarawan modern, ratusan tahun setelah Histories terbit dan digugat.

Penutup

Dapat disimpulkan, meski digugat oleh sejarawan pada masa klasik dan kontemporer, sosok Herodotus masih layak menyandang gelar “bapak sejarah”. Mungkin bukan sebagai “Bapak Sejarah Kritis”, yang telah disematkan kepada Thucydides oleh banyak sejarawan, tetapi sebagai “Bapak Sejarah Masyarakat”.

Penyajian sejarah yang membumi, menggunakan dan mempertemukan dua sumber lisan yang berbeda, serta menyajikan kisah sesuai dengan pemahaman masyarakat saat itu, Herodotus berhasil menyajikan karya sejarah-cum-etnografi pertama di dunia, yang menjadi dasar bagi sejarawan sosial dan kebudayaan lainnya pada masa berikutnya.

Referensi

Anonim. (2023). “Herodotus”. https://www.britannica.com/biography/Herodotus-Greek-historian. Diakses 7 Desember 2023.

Bachtiar, Absar. (2020). “Alasan Thucydides Layak Disebut Bapak Sejarah Ilmiah”. https://kumparan.com/absal-bachtiar/alasan-thucydides-layak-disebut-bapak-sejarah-ilmiah-1ue5JXLzCsi/full. Diakses 6 Desember 2023.

Docker, Ann dan John Curthoys. (2006). Is History Fiction?. Sydney: UNSW Press.

Evans, J.A.S. (1968). “Father of History of Father of Lies: The Reputation of Herodotus”. The Classical Journal. Volume 64. Nomor 1.

Fadhilah, Hanny Nur. (2023). “Mengapa Herodotus dari Yunani Dijuluki Bapak Sejarah dan Kebohongan?”. https://nationalgeographic.grid.id/read/133874463/mengapa-herodotus-dari-yunani-dijuluki-bapak-sejarah-dan-kebohongan?page=all. Diakses 6 Desember 2023.

Grant, M. (1995). Greek & Roman Historians: Information and Misinformation. London dan New York: Routledge.

Grethlein, Jonas. (2009). “How Not to do History: Xerxs in Herodotus’ ‘Histories’”. The American Journal of Philology. Volume 130. Nomor 2.

Herodotus. ([2004]). The Histories. Terjemahan George Rawlinson. http://ebooks.adelaide.edu.au/h/herodotus/h4/index.html. Diakses melalui The Wayback Machine pada 7 Desember 2023.

Herodotus. (2008). The Histories. Terjemahan Robin Waterfield. Oxford: Oxford University Press. [Oxford’s World Classics]

Hughes-Warrington, Marnie. (2008). 50 Tokoh Penting dalam Sejarah. Yogyakarta: Pusaka Pelajar.

Momigliano, Arnaldo. (1958). “The Place of Herodotus in The History of Historiography”. History. Volume 43. Nomor 147.

Morris, Jeffrey. ([2002]). “Inimitable Charlatan or The “Father of History”? A Reexamination of Herodotus”. https://www.yale.edu/heyzeus/winter2002/herodotus.pdf. Diakses melalui The Wayback Machine pada 7 Desember 2023.

Plutarch. (1909). Plutarch’s Lives and Writings Volume IX: Essays and Miscellanies Volume Four. Boston dan New York: Little, Brown, and Company.

Simpson, Michael. (1988). “Herodotus and Modern History”. The Sewanne Review. Volume 92. Nomor 2.

Share:

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on pinterest
Pinterest
Share on linkedin
LinkedIn

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Related Posts