Kolonialisme Inggris di Sulawesi Selatan 1811-1816

Perang Makassar pada tahun 1666-1667 M, dan 1669 M yang berakhir dengan penandatanganan Perjanjian Bongaya oleh kedua belah pihak yang berperang yaitu pihak pemenang VOC dengan sekutunya yakni Bone, Soppeng, Ternate dan Buton dan pihak yang kalah Gowa, Wajo dan Mandar. Perjanjian ini memberikan warna baru kekuasaan dan kekuatan di Sulawesi Selatan yang mulanya dihegemoni oleh Kerajaan Gowa. Arung Palakka kemudian tampil sebagai pemimpin utama di Sulawesi Selatan dan mengatasi masalah-masalah internal yang ada, sedangkan VOC bertugas menghadapi masalah-masalah eksternal seperti serangan musuh dari luar wilayah yang menyebabkan perdagangan di Somba Opu. VOC pada waktu itu mendirikan pelabuhan baru di Fort Rotterdam dan memindahkan perkampungan Melayu dari Somba Opu ke sekitar Fort Rotterdam.

Oleh Muh. Zulkifli

Pertarungan dan Korupsi 

VOC yang merupakan kongsi dagang yang menguasai sebagian wilayah Nusantara untuk memonopoli perdagangan dengan komoditas utama rempah-rempah. Akibat keterlibatan Belanda dalam perang melawan Inggris yang merupakan imbas dari dukungan Belanda terhadap revolusi Amerika yang menginginkan kemerdekaan dari kolonialisme Inggris yang menyebabkan keuangan VOC menipis. Selain karena itu, pegawai-pegawai VOC terkenal dengan perilaku korup yang mengakibatkan perusahaan ini akhirnya tumbang dan bangkrut pada tanggal 31 Desember 1799. VOC kemudian diambil alih oleh pemerintah Kerajaan Belanda yang pada saat itu berada di bawah kekuasaan adik Napoleon Bonaparte yaitu Louis Bonaparte pada 1806 M dengan nama Republik Batavia atau Bataaf.

Seorang Prajurit Bone yang tewas di Benteng Pertahanannya pada saat Perang Bone 1905, diperoleh dari Facebook Album Sejarah Indonesia


Penguasa Baru

Inggris melihat bahwasanya wilayah bekas VOC merupakan wilayah yang sangat menguntungkan sekaligus merupakan wilayah kekuasaan penguasa yang merupakan sekutu dari musuh Inggris (Prancis), sehingga Inggris menjadikan Nusantara sebagai sasaran serangan untuk dikuasai. Inggris memulai invasi dengan menyerang pulau Jawa, tetapi tentara Belanda tidak sanggup untuk menahan gempuran Inggris yang terlalu kuat dari segi kualitas dan kuantitas sehingga penandatanganan piagam penyerahan pada tanggal 18 September 1811 M, oleh Gubernur Jenderal Janssens dan diserahkan kepada pemerintah Kerajaan Inggris dengan Raffles sebagai Gubernur Jenderalnya. Penyerahan kekuasaan wilayah ini mencakup pula daerah Sulawesi Selatan.

Ketegangan dan Perebutan 

Pada masa itu, terjadi ketegangan antara dua kerajaan yaitu, Kerajaan Gowa dengan Kerajaan Bone di Sulawesi Selatan. Ketegangan ini disebabkan perebutan kekuasaan di Kerajaan Gowa, Batara Gowa Sangkilang merebut tahta Kerajaan Gowa di tangan Sultan Zainuddin pada tahun 1776 M. Belanda dalam hal ini berpihak kepada Sultan Zainuddin bersama Kerajaan Soppeng dan Sidenreng, sedangkan Kerajaan Bone dengan sekutunya Kerajaan Tanete dan Suppa memihak kepada Batara Gowa Sangkilang yang menyebabkan perang berkepanjangan selama 43 tahun dari tahun 1776-1819 M. VOC yang pailit pada tanggal 31 Desember 1779 M dan Belanda mengambil alih kekuasaan atas Nusantara dalam hal ini Sulawesi Selatan dan mengambil kembali wilayah yang pernah dikuasai Arung Palakka dari ahli warisnya seperti daerah Sinjai, Bulukumba, dan Maros, serta menghapus jabatan kanselir persekutuan Raja-raja Sulawesi yang dijabat Raja Bone.

Protes Raja Bone

Raja Bone ketika itu dijabat oleh Sultan Ahmad Shaleh. Raja Bone geram melihat tindakan Belanda yang selalu menggunakan Perjanjian Bongaya untuk mengadu domba kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan. Sultan Ahmad Shaleh juga menganggap Belanda merebut hak dan menghina Kerajaan Bone karena telah meniadakan jabatan Kanselir. Saat Belanda sibuk melawan Inggris di Jawa, Sultan Ahmad Shaleh memerintahkan rakyatnya untuk memasuki daerah Sinjai, Bulukumba, Bantaeng dan Maros, guna menghasut rakyat untuk tidak membayar pajak vertiening (10% dari hasil panen).

Baca Juga :   Menelaah Singkat Kehidupan Masyarakat Jepang Kontemporer

Penolakan Kedatangan Inggris 

Fokus Belanda yang tertuju di pulau Jawa untuk mempertahankan pulau itu sia-sia, Inggris berhasil mengalahkan Belanda dan menguasai sebagian Nusantara untuk sementara waktu. Wakil Belanda di Ujung Pandang, Van Wikkerman menyerahkan wilayah Belanda di Sulawesi Selatan pada awal tahun 1812 M tanpa melakukan perlawanan. Kedatangan Inggris ini ditolak dengan lantang oleh Sultan Ahmad Shaleh dengan mengatakan “Kami bukan budak Belanda, kami hanya sekutunya: Tidak ada satu huruf pun dalam perjanjian Bongaya yang menyatakan bahwa Belanda dapat menyerahkan kami sebagai alat pembayaran rampasan perang, sebagai sekutu Belanda yang tahu posisinya, kami ingin membantu sekutu kami, dengan melanjutkan peperangan melawan Inggris. Kami lebih senang gugur di medan perang daripada menjadi pembayaran utang perang”. Pernyataan ini ditujukan kepada Belanda, tetapi Belanda malah mengatakan semua kerajaan yang terikat pada perjanjian Bongaya harus mematuhi keputusan Gubernur Jenderal Belanda. Raja Bone membalas dengan mengumumkan bahwa terhitung mulai saat itu Kerajaan Bone tidak mengakui lagi perjanjian Bongaya, bersama Kerajaan Suppa dan Tanete. Pada bulan Februari 1812 M, Residen Philips tiba di Ujung Pandang untuk mengambil alih kekuasaan di Sulawesi Selatan, tetapi banyak wilayah yang telah diduduki oleh Kerajaan Bone seperti wilayah utara Kota Ujung Pandang, Bantaeng, Bulukumba, dan Sinjai. Penyambutan kedatangan Residen Philips dihadiri hampir seluruh Raja-Raja di Sulawesi, kecuali Kerajaan Bone, Suppa dan Tanete karena menolak kedatangan Inggris di Sulawesi Selatan. Pasca rampungnya acaranya penyambutan, Residen Philips telah berulang kali meminta kepada Raja Bone untuk menyerahkan kembali wilayah yang telah dikuasainya kepada Inggris dan menyerahkan pusaka Gowa (Sudanga) kepada Sultan Zainuddin sebagai Raja Gowa yang sah. Permintaan Inggris yang pertama ditolak oleh ketiga kerajaan dan permintaan kedua dilaksanakan karena persetujuan rakyat Gowa yang memihak kepada Sultan Ahmad Shaleh untuk menyerahkan kembali lewat Raja Soppeng.

Peperangan Melawan Inggris 

Ketegangan antara Bone dan Inggris berlanjut hingga Sultan Ahmad Shaleh wafat di Rompegading tahun 1812 M. Anaknya Sultan Muhammad Ismail sebagai pewaris tahta Bone melanjutkan sikap ayahnya terhadap Inggris dengan menentang keberadaan Inggris di Sulawesi Selatan. Residen Philips segera menyurati pimpinan pusat Inggris di Jawa untuk mengirimkan pasukan melawan Bone. Singkatnya pada 2 Juni 1814 M, permintaan pasukan Inggris tiba di Ujung Pandang. Dengan itu pula Bone, Suppa dan Tanete memperkuat benteng pertahanannya yang pasti akan digempur oleh pasukan Inggris.

Sebelum Inggris menyerang, ketiga kerajaan ini terlebih dahulu menyerang pos-pos pertahanan Inggris di beberapa wilayah, seperti Bulukumba, Bantaeng, Soppeng, Pare-Pare, Sigeri, Labakkang, Pangkajene dan Maros. Orang Bone berhasil menduduki Bulukumba dan Bantaeng, di Soppeng. Bone berhasil menguasai sebagian wilayahnya. Suppa yang digempur oleh Inggris berhasil bertahan karena dibantu oleh kerajaan tetangganya Sawitto, Alitta, dan Rappang. Utara Kota Ujung Pandang, Tanete berhasil menaklukkan kembali Sigeri, Labakkang, dan Pangkajene. Sempat terjadi peperangan sengit di Marana’ melawan Inggris dan Gowa. Tanete dalam pertempuran ini dibantu oleh Bone, tetapi Tanete tetap berhasil mempertahankan wilayah yang telah dikuasainya yang menyebabkan Inggris dan Gowa pulang dengan tangan kosong.

Terus Berkobar 

Pada tahun 1815 M, terjadi lagi pertempuran hebat. Inggris dengan senjata mesinnya tak mampu menghadapi Bone dan Tanete yang menguasai medan peperangan yang berada di garis batas antara Maros dan Pangkajene. Inggris kembali menelan hasil yang memuaskan pada pertempuran ini karena tidak berhasil mengusir musuhnya dari kubu pertahanan mereka. Pada bulan Oktober 1815 M, Inggris dibantu oleh Gowa berhasil memukul mundur pasukan Bone hingga terdesak di pegunungan Camba, Maros, dan Inggris berhasil menguasai wilayah dataran rendah. Pimpinan militer Inggris Mayor Dalton ingin segera menumpas kekuatan Bone karena menurut informasi yang diperoleh dari pegawai-pegawai Belanda yang masih bekerja kepada pemerintah Inggris, untuk menyerang pusat kekuatan Bone di Watampone dengan kekuatan yang besar. Namun semua itu tidak terlaksana karena Inggris menyerahkan kembali kekuasaan di Nusantara kepada Belanda pada 1816 M.

Baca Juga :   Kemunculan Fasisme di Italia

Konflik kembali terjadi antara Bone dengan Belanda, hingga tahun 1825 M. Perang Bone kembali pecah melawan Belanda, tapi tidak berakhir memuaskan bagi kedua belah pihak karena adanya Perang Jawa yang dimulai Pangeran Diponegoro.

Referensi

Mappangara, Suriadi. Pemerintahan Bangsa Inggris di Sulawesi Selatan. https://www.suriadimappangara.com/2023/03/pemerintahan-bangsa-inggris-di-sulawesi.html?m=1. Diakses pada 2 Desember 2023.

Palloge, Andi. 2006. Sejarah Kerajaan Tanah Bone. Sungguminasa: Yayasan Al-Muallim.

Hamid, Abu dkk. 2007. Sejarah Bone. Watampone: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Bone.

Hadrawi, Muhlis. 2020. Lontara Sakke’ Attoriolong Bone. Makassar: Penebit Ininnawa.

Gibson, Thomas. 2012. Narasi Islam dan Otoritas di Asia Tenggara: Abad ke-16 hingga Abad ke-21. Makassar: Penerbit Ininnawa.

Gibson, Thomas. 2023. Kekuasaan Raja, Syeikh, dan Ambtenaar: Pengetahuan Simbolik dan Kekuasaan Tradisional Makassar 1300-2000. Makassar: Penerbit Ininnawa.

Share:

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on pinterest
Pinterest
Share on linkedin
LinkedIn

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Related Posts