Andi Mappanyukki: Bangsawan yang Nasionalis

Pada tahun 1901 Masehi, Belanda menerapkan politik etis kepada negara-negara jajahannya. Politik etis ini terdiri dari tiga kebijakan dalam bidang Irigasi, imigrasi dan edukasi. Belanda melakukan kebijakan ini karena adanya tekanan dari beberapa pihak untuk melakukan balas budi kepada masyarakat Indonesia yang selama ini mereka kuras sumber daya alam dan manusianya tanpa ada dampak positif bagi masyarakat pribumi (Sukmana, 2021). 

Oleh Muh. Zulkifli

Dampak yang ditimbulkan dari kebijakan ini, lahirlah banyak tokoh yang kemudian hari dikenal sebagai tokoh-tokoh pergerakan nasional, seperti, Soekarno, Hatta, Syahrir, Tan Malaka, dan Agus Salim. Meminjam istilah dari sejarawan Anhar Gonggong, menyebut mereka-mereka ini sebagai orang-orang yang telah terdidik dan tercerahkan. Tokoh-tokoh yang lahir dari hasil kebijakan politik etis Belanda, kemudian mendirikan partai politik untuk melawan Belanda secara kooperatif walaupun mereka berasal dari golongan priyayi tetapi mereka lebih memilih mengabdi demi kemerdekaan bangsa Indonesia.

Golongan yang bersekolah di sekolah Belanda didominasi oleh anak-anak Belanda yang orangtuanya bertugas di Indonesia. Kemudian ada pula anak-anak pribumi yang terdiri dari golongan menengah ke atas seperti anak-anak bangsawan kerajaan, anak bupati, anak residen, dan golongan elit ketika itu yang hanya diterima di sekolah Belanda.

Begitu pun di Sulawesi Selatan, anak-anak bangsawan kemudian bersekolah di sekolah Belanda dan kemudian diangkat menjadi pegawai negeri sipil di bawah pemerintahan Hindia Belanda yang merupakan salah satu tujuan Belanda untuk mendapatkan pegawai-pegawai pribumi untuk dipekerjakan secara profesional.

Ekspansi Belanda di Sulawesi Selatan 

Pada tahun 1905-1906 Masehi, Belanda melakukan penyerangan kepada dua kerajaan besar yang ada di Sulawesi Selatan yaitu Bone dan Gowa. Penyerangan ini dinamakan Zuid-Celebes Expeditie (Ekspedisi Sulawesi Selatan) yang bertujuan untuk mendapatkan pengakuan kedaulatan Belanda terhadap wilayah Sulawesi Selatan dan menguasai secara penuh wilayah yang ada di Nusantara atau Indonesia. Selain itu adapun keuntungan ekonomi yang ingin diperoleh yakni untuk mendapatkan pajak yang lebih banyak yang diterima oleh Belanda (Budiarta, 2007).

Perang Bone akhirnya pecah pada Juli 1905 M, pasukan Belanda tiba di Bajo’e (sebuah pelabuhan di Bone, sekitar 10 KM arah timur dari ibukota Kerajaan Bone). Peperangan akhirnya terjadi Bajo’e. Panglima Kerajaan Bone yang dipimpin putra dari Raja Bone yaitu Abdul Hamid Baso bersama pasukan kerajaan berhasil menahan gempuran Belanda selama pertempuran. Belanda yang melihat usaha menyerang Bajo’e agak mengecewakan hasilnya. Maka dari itu Belanda bergeser ke arah selatan Bajo’e yaitu Pattiro dan memulai penyerangan disana. Lemahnya pertahanan Bone di Pattiro menyebabkan ibukota Kerajaan Bone dapat jatuh ke tangan Belanda pada tanggal 30 Juli 1905, sehingga Raja Bone La Pawawoi Karaeng Sigeri, Panglima Bone, dan pasukan Bone mundur ke arah pegunungan untuk melakukan perang gerilya.

Belanda yang tahu watak orang Bugis yang pantang menyerah berusaha untuk menangkap rajanya agar pasukannya yang dapat menyerah dan dikalahkan. Empat bulan pencarian Belanda selama di lereng pegunungan Latimojong berbuah hasil. Mereka berhasil menemukan markas persembunyian Raja Bone dan singkat berhasil membunuh panglima perang Bone yang merupakan anak dari Raja Bone yang menyebabkan Raja Bone menyerahkan diri kepada Belanda dan dalam literatur lokal peristiwa ini disebut Rumpa’na Bone (Jebolnya Bone) (Palloge, 1990: 198-205).

Perang Belanda melawan Gowa dilakukan atas tuduhan bahwasanya Gowa menyembunyikan La Page Arung Labuaja yang merupakan salah satu pemimpin pasukan dalam Perang Bone. Perang berlangsung sengit, namun nasib Gowa hampir sama dengan Bone, ibukota kerajaan berhasil dikuasai dan Raja Gowa Karaeng Lembangparang bersama pasukannya mundur dari medan perang ke wilayah Ajatappareng (wilayah sebelah barat danau Tempe dan Sidenreng), di dalam perjalanannya Raja Gowa jatuh ke jurang yang menyebabkan kematiannya hingga diberikan gelar anumerta Tumenanga ri Bundu’na (yang mati dalam Peperangan) (Hadrawi, 2020: 515-516. 

Baca Juga :   Kehidupan dan Perjuangan Tokoh Nasional Indonesia Alexander Andries Maramis

Anak dari Raja Gowa yang tewas di medan laga, Andi Mappanyukki yang pada saat perang berumur 20 tahun mengangkat senjata melawan kolonial Belanda. Perang yang dijalani di masa muda itu guna mempertahankan pos pertahanan Kerajaan Gowa di daerah Gunung Sari. Kematian ayahnya membuat Andi Mappanyukki ditawan oleh Belanda dan diasingkan ke pulau Selayar (Hadrawi, 2020: 516)

Masa Swapraja 

Sejak saat itu, Belanda menguasai secara langsung dan memenuhi wilayah tersebut mulai dari 1905-1931 Masehi. Pada tahun 1931 Masehi, Belanda menerapkan pemerintahan Swapraja karena ingin menarik simpati rakyat, melalui bangsawan-bangsawan kerajaan. Jabatan Raja Bone dikembalikan mengangkat Andi Mappanyukki sebagai Raja Bone menggantikan pamannya La Pawawoi. Alasan Andi Mappanyukki menerima jabatan ini karena diminta oleh Ade’ Pitu (Dewan Adat Bone) untuk memangku jabatan ini. Pada hari Kamis tanggal 2 April 1931 Masehi bertepatan dengan 31 Syawal 1249 H, Andi Mappanyukki dilantik menjadi Mangkau’ Bone (Raja Bone). Namanya pun disebut dalam khutbah Jumat dengan nama Sultan Ibrahim. Pada acara pelantikan Andi Mappanyukki Mappanyukki itu diserahkan juga kepadanya pusaka-pusaka kerajaan (arajang) Bone yang dahulu menjadi milik Arung Palakka (Hadrawi, 2020: 517-518).

Kembalinya Andi Mappanyukki menjadi Raja Bone, tidak menghentikan pemerintahan modern yang sebelumnya telah diperkenalkan oleh Pemerintah Hindia Belanda tidak berlaku. Pemerintah Hindia Belanda memberlakukan aturan yang cukup ketat dalam hal pengangkatan seseorang di dalam pemerintahannya. Walaupun banyak bangsawan karena kemampuan dan kecakapannya mampu menduduki jabatan seperti regent (Mappangara, 2014: 105)

Peran Andi Mappanyukki 

Andi Mappanyukki membawa banyak perubahan di Bone, seperti pembangunan Masjid Raya Bone dan mendirikan lembaga pendidikan yaitu Madrasah Al Amin. Pecahnya Perang Dunia 2 membawa Jepang menduduki wilayah Asia Pasifik untuk menghilangkan pengaruh barat dan untuk mendapatkan sumber daya dari negara-negara itu.

Peperangan antara Jepang dengan Belanda kemudian pecah, Gubernur Belanda meminta kepada raja-raja yang masuk dalam daftar pemerintahannya, agar mereka memiliki semangat untuk melakukan perlawanan kepada pihak lawan yaitu Jepang. Maka bersatulah seluruh raja-raja dan mengutus satu orang dari kerabat dekatnya yang tertua untuk melawan musuh Belanda. Andi Mappanyukki menunjuk putranya yang bernama La Pangerang Arung Macege. Dia juga yang memimpin pasukan anakarung Bone yang juga ikut menyerang musuh Belanda. Mereka juga disebut Hand Wacht pada setiap Afdeeling. Pada setiap Onder Afdeeling jabatan tersebut disebut Staad Wacht. Setelah peperangan selesai, mereka kembali ke negerinya karena mereka tidak ikut diusir sebagaimana halnya dengan serdadu Belanda (Hadrawi, 2020: 522-533).

Keterangan: Gambar Andi Mappanyukki, Sumber: Ikatana Keluarga Pahlawan Nasional Indonesia 

Hanya tiga setengah tahun Jepang berkuasa, akan tetapi rakyat sangat merasakan penderitaan dan kemiskinan. Dengan demikian, setelah Jepang merasa kekuatan pasukan perangnya semakin lemah dan tidak memiliki kemampuan untuk menambahnya, maka dari itulah ia meminta bantuan rakyat dengan harapan dapat membantu Jepang untuk bersama-sama melawan Amerika dan Inggris. Pasukan pribumi itu disebut dengan nama Heihoo. Di Jawa kemudian disebut dengan nama Pembela Tanah Air (PETA).

Nasionalisme Andi Mappanyukki 

Pada tahun 1945, Jepang menyerah dan menjadikan Bangsa Indonesia memperoleh kemerdekaan yang diproklamasikan di Jawa oleh Ir. Soekarno. Namun ketika menjelang proklamasi, Andi Mappanyukki bertindak sebagai penasihat BPUPKI. Setelah Indonesia merdeka, ia menyatakan bahwa Kerajaan Bone merupakan bagian dari Republik Indonesia.

Pasca kemerdekaan bangsa Indonesia pada 17 Agustus 1945, Belanda datang kembali dan tidak mengakui kemerdekaan bangsa Indonesia. Di Sulawesi Selatan seorang utusan Ratu Belanda bernama Dr. H.J. Van Mook datang menemui Andi Mappanyukki. Dia berharap agar Arumpone (Raja Bone) bersedia menerima kembali sekutu Belanda yang disebut NICA (Nederland Indishe Civil Adminitration), dan berharap agar mereka dapat memperbarui perjanjian yang telah disepakati mulai dari Penjanjian Bongaya. Akhirnya utusan NICA menghadap kepada Arumpone untuk memperjelas pendirian Andi Mappanyukki. Pada sisi lain Andi Mappanyukki pun mengingat penyiksaan yang dilakukan oleh Belanda kepada dirinya, orang tua dan rakyatnya. Akhirnya Arumpone menetapkan pilihannya yaitu berpihak kepada penegakan kemerdekaan Indonesia. Pada periode setelahnya, raja dan rakyat Sulawesi Selatan terus menerus melakukan perlawanan terhadap Belanda. Konsekuensi dari perjuangan Andi Mappanyukki dan putranya Andi Pangerang Petta Rani pada tahun 1945, Andi Mappanyukki kemudian ditahan oleh Belanda bersama putranya dan kemudian diasingkan Rantepao.

Baca Juga :   Getir Kehidupan Sjahrir

Apa yang dilakukan oleh Andi Mappanyukki sebagai Raja Bone ke-32 dengan putranya Andi Pangerang Petta Rani yang berpihak kepada Republik tanpa mempedulikan tahtanya adalah bukti patriot dan nasionalis untuk mencapai dan mempertahankan kemerdekaan (Rismadiawati, 2018: 144)

Daftar Pustaka

Sukmana, Hendra. (2021, 7 Februari). Politik Etis. Museum Pendidikan Nasional. 11 Desember 2023, diunduh dari https://museumpendidikannasional.upi.edu/politik-etis/ 

Budiarta, Hari. (2007). Taking and Returning Objects in a Colonial Context: Tracing the Collections Acquired during the Bone-Gowa Military Expeditions“. Dalam Pieter J. ter Keurs. Colonial Collections Revisited. Leiden: CNWS Publications.

Palloge, Andi. (1990). Sejarah Kerajaan Tanah Bone. Sungguminasa: Yayasan Al-Muallim.

Hadrawi, Muhlis. (2020). Lontara Sakke’ Attoriolong Bone: Transliterasi dan Terjemahan. Makassar: Ininnawa.

Mappangara, Suriadi. (2014). Kerajaan Bone dalam Sejarah Politik Sulawesi Selatan Abad XIX. Makassar: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Propinsi Sulawesi Selatan.

Rismadiawati. (2018). Peranan Bangsawan Bone Dalam Sistem Pemerintahan Dari Swapraja ke Kabupaten. Makassar: Balai Pelestarian Nilai Budaya Sulawesi Selatan.

Share:

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on pinterest
Pinterest
Share on linkedin
LinkedIn

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Related Posts