Napak Tilas Perumusan Kebalian Manusia Bali

“Identitas manusia Bali (kebalian) bukanlah terbentuk secara mandiri. Peran pihak eksternal (outsider) yang terdiri dari para orientalis, kolonialis, misionaris dan penguasa Orde Baru, mengkonstruksi identitas manusia Bali sesuai dengan konsepsi, imaji, identifikasi, dan kategori mereka,” ungkap Akademisi Universitas Hindu Indonesia (Unhi), I Gusti Agung Paramita, saat promosi gelar doktornya, sebagaimana dikutip melalui balipost.com.

Oleh Prima Cahyadi

Menurutnya, manusia Bali hanya menjadi objek dalam konstruksi identitas mereka. Pihak-pihak dari luar yang sarat kepentingan, membentuk identitas kebalian sesuai dengan visi dan imaji mereka. Kebalian bisa dianggap sesuatu yang negatif.

Hal berbeda justru diungkapkan oleh Komang Warsa, Guru Ajeg Bali 2019. Sebagaimana dikutip melalui balipost.com, ia mengajak masyarakat Bali untuk “perkuat karakter kebaliannya.” Hal ini dimaksudkan untuk mencegah kemerosotan moral manusia Bali yang tergoda dengan kemewahan pariwisata serta arus globalisasi.

Berdasarkan  pandangan Warsa, kita dapat menemukan bahwa kebalian tidak diciptakan dari luar, melainkan dari dalam masyarakat Bali itu sendiri. Mereka merumuskan identitas mereka melalui berbagai elemen kebudayaan yang mereka miliki, untuk menciptakan sebuah identitas manusia Bali yang adiluhung.

Apakah benar identitas kebalian manusia Bali hanya diciptakan oleh pihak luar? Atau, terdapat andil manusia Bali sendiri dalam penciptaan identitas tersebut?

Persepsi Pemerintah Kolonial dan Cendekiawan Bali

Semenjak awal abad ke-20, pemerintah kolonial dan cendekiawan lokal Bali menempuh jalan berbeda dalam penciptaan identitas kebalian. Pemerintah kolonial Hindia Belanda menempatkan Bali dengan masyarakatnya sebagai “pintu terakhir kebudayaan klasik” di Hindia Belanda yang harus dilindungi dari pengaruh luar. 

Salah satu wujud perlindungan Belanda adalah kebijakan Baliseering yang  mengarjakan masyarakat Bali kebudayaan mereka sendiri.  Mengutip Henk Schulte Nordhol dalam artikel From Wangsa to Bangsa, kebijakan mengajarkan kebudayaan, agama, serta adat Bali kepada masyarakat Bali tersebut sangat konservatif, hingga lelaki yang mengenakan celana dapat menjadi “tindakan subversif.” Sejarawan Bali, Ide Gde Ing. Bagus, melalui artikel Tessel Pollmann, menyebut Baliseering sebagai upaya Belanda menciptakan “museum hidup” di Bali.

Di sisi yang berbeda, cendekiawan Bali, melalui tulisan yang mereka terbitkan dalam sejumlah majalah, merumuskan identitas kebalian mengikuti jalan tersendiri. Pada paruh kedua 1920-an, dua kelompok berbasis kasta yang saling berseberangan, Surya Kanta, yang menyuarakan suara kasta sudra, dan Shanti, kelompok yang menjadi corong kelompok triwangsa (tiga kasta teratas dalam stratifikasi sosial masyarakat Bali), saling melontarkan pendapat mengenai identitas manusia Bali.

Dalam majalah Surya Kanta edisi Maret 1926, Nengah Metra menyatakan bahwa kebalian manusia Bali hanya menjadi polesan jika lebih mementingkan status kebangsawanannya alih-alih melatih budhi-nya (kemampuan intelek dan moral). Lebih lanjut, ia mengatakan,

barang siapa merasa atau mengakoe Bali, tetapi djikalau tiada memerdoelikan atau memperhatikan ketriwangsaan boedhinja (fikirnya), tentoelah kebaliannya itoe hanja poelasan sahadja atau soedah roesak, memperboeat maloe kepada bangsanja, dan soedralah namanja, karena manoeroeti hawa nafsoe jang meloepakan keoetamaan fikir.

Sementara, kelompok Shanti, melalui majalah Bali Adnjana menyatakan bahwa identitas kebalian manusia Bali terikat dengan agama Hindu maupun adat Bali yang diwujudkan dengan ketaatan terhadap hubungan kasta antara kelompok jaba (istilah bagi kasta sudra yang memiliki arti “luar”) dan triwangsa. Hanya melalui kedua faktor tersebut, manusia Bali akan “mencapai kesempurnaan dan keamanan yang sudah terbukti kebaikan dari beberapa puluh-puluh tahun yang lalu hingga kini”.

Setelah Belanda Pergi

Baca Juga :   Sejarah dan Kondisi Perkebunan Pabrik Kopi Gumitir Jember: Sumber Ekonomi bagi Pemerintah Kolonial Hindia Belanda

Memasuki periode pasca-kemerdekaan, pembahasan mengenai kebalian manusia Bali semakin menguat. Seiring dengan perumusan agama Hindu-Bali, cendekiawan lokal seperti Ktut Sukrata, I Gusti Bagus Sugriwa, dan Nyoman S. Pendit, memberikan pandangan mengenai manusia Bali. Satu hal yang diwarisi mereka melalui cendekiawan Bali pada masa kolonial maupun pemerintah kolonial Hindia Belanda, manusia Bali identik dengan agama Hindu dan adat Bali.

Menurut Michel Picard, dalam artikel berjudul Balinese Religion in Search of Recognition, perumusan agama Hindu-Bali pada 1950-an merupakan titik puncak yang menghubungkan manusia Bali dengan tradisi leluhur dan Hinduisme. Melalui berbagai organisasi keagamaan, seperti Panti Agama Hindu-Bali dan Paruman Para Pandita, identitas kebalian dirumuskan kembali, mengikuti falsafah agama Hindu dan adat Bali.

Kebalian dan Pariwisata Bali

Perumusan tersebut diteruskan oleh pemerintah Orde Baru (Orba), yang menggunakannya sebagai alat untuk mengembangkan pariwisata di Bali. Michel Picard, dalam buku Bali: Cultural Tourism and Touristic Culture, mengungkapkan bahwa identitas kebalian manusia Bali, yang sangat identik dengan puncak-puncak kebudayaan dan adat istiadat yang adiluhung serta nilai filosofis agama Hindu, menjadi pemantik utama yang mempesona bagi wisatawan untuk mengunjungi Bali dan menambah devisa negara.

Meski demikian, identitas kebalian manusia Bali tidak lepas dari gugatan serta pertanyaan. Dalam sebuah diskusi bertajuk Kebalian Orang/Masyarakat Bali yang diselenggarakan Bali Post pada 3 dan 4 April 1989, sejumlah akademisi Bali mengungkapkan gagasan mereka mengenai kebalian manusia Bali. Diskusi tersebut merumuskan bahwa kebalian manusia Bali merupakan produk pertemuan kebudayaan dan tradisi leluhur dengan agama Hindu. 

Meski diterpa arus dolar pariwisata dan globalisasi, mereka kompak berpendapat bahwa kebalian manusia Bali masih tetap bertahan, meski mengalami proses perubahan yang “mungkin tidak akan pernah selesai.” 

Hal senada juga diungkapkan pembaca harian Bali Post melalui survei. Sebanyak 60% responden memandang bahwa ketaatan manusia Bali terhadap adat istiadat serta agama Hindu menjadi tanda bahwa kebalian orang Bali masih asri dan ajek.

Penutup

Kebalian manusia Bali tidak hanya dibentuk oleh faktor eksternal semata, seperti yang diungkapkan I Gusti Agung Paramita. Terdapat beberapa agen internal, yang diwujudkan melalui pandangan para cendekiawan dan kalangan terdidik Bali, yang ikut merumuskan kebalian manusia Bali. 

Melalui kajian serta tulisan mereka, baik yang diterbitkan dalam ruang akademik maupun ruang publik, mereka merumuskan identitas mereka dengan landasan adat dan kebudayaan serta agama Hindu di tengah arus globalisasi, modernisasi, dan kilau pariwisata yang menerpa Bali.

Referensi

“Kebalian Orang Bali Pendapat Pembaca ‘Bali Post’”. Bali Post. 8 April 1989.

“Mencoba Melihat Bali dengan Realistis”. Bali Post. 8 April 1989.

“Mengisi Ulang Kebalian Kita”. https://www.balipost.com/news/2019/08/14/84038/Mengisi-Ulang-Kebalian-Kita.html. Diakses pada 9 Agustus 2023.

“Politik Identitas Bali Dikonstruksi ‘Outsider’”. https://www.balipost.com/news/2022/12/28/313601/Politik-Identitas-Bali-Dikonstruksi-Outsider.html. Diakses pada 9 Agustus 2023.

Metra, Nengah. 1926. “Kekaliah ketriwangsan kita diseloeroeh Bali dan Lombok” dalam Surya Kanta. Tahoen II. No. 3. Maart.

Picard, Michel. 1996. Bali: Cultural Tourism and Touristic Culture. Singapura: Archipelago Press.

Picard, Michel. 2011. “Balinese religion in search of recognition: From ‘Agama Hindu Bali’ to ‘Agama Hindu’ (1945-1965)” dalam Bijdragen tot de -Taal, -Land, en Volkenkunde. Volume 167. Nomor 4.

Pollmann, Tessel. 1990. “Margaret Mead’s Balinese: The Fitting Symbols of the American Dream” dalam Indonesia. Volume 49.

Redactie B. A. 1927. “Soeara Redactie; Linjaplah Sekalian Pertengkaran, Timboellah Keroekoenan” dalam Bali Adnjana. Tahoen IV. Nomor 22. 1 Augustus.

Baca Juga :   Membaca Ulang Posisi MUI Pada Masa Orde Baru

Schulte Nordholt, Henk. 2000. “From Wangsa to Bangsa: Subaltern Voices and Personal Ambivalences in 1930s Colonial Bali” dalam Adrian Vickers dan I Nyoman Darma Putra dengan Michele Ford (eds.). To Change Bali: Essays in Honour of I Gusti Ngurah Bagus. Denpasar: Bali Post.

Tjakratanaja, I Goesti. 1926. “[Siapakah Bali itoe? …]” dalam Bali Adnjana. Tahoen III. Nomor 2. 10 Djanuari.

Share:

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on pinterest
Pinterest
Share on linkedin
LinkedIn

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Related Posts