Dinamika Sosial Keagamaan Masyarakat terhadap Kearifan Lokal di Desa Mojo, Boyolali

Perubahan zaman yang terus bertransformasi secara cepat berdampak pada pola hidup masyarakat terutama dalam segi budaya dan tradisi. Adanya percepatan transformasi zaman yang ditandai kemajuan teknologi menjadi keterbukaan akses informasi yang semakin cepat dan luas. Akhirnya menjadikan masyarakat secara mudah untuk menambah pengetahuannya, akan tetapi sebagian orang kemungkinan belum mampu secara aktif melakukan filterisasi terhadap pengetahuan baru yang didapatkan. Hal ini dikarenakan pengetahuan yang didapat melalui akses internet tidak langsung untuk diyakini kebenarannya. Namun tetap harus dilakukan validasi agar mampu menemukan kebenaran yang asli.

Oleh Shindid Gunagraha dan Rika Marfuah

Khususnya di Negara Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam, memang perkembangan agama juga semakin cepat dalam kehidupan masyarakat. Apalagi di kondisi digital atau akses internet yang semakin mudah, akhirnya isu-isu keagamaan yang berada di media sosial begitu cepat berkembang dan menyebar luas di kalangan masyarakat. Namun, kekurangannya ialah validasi yang kuat terhadap informasi yang menyebar. Banyak sebagian orang mungkin terpapar oleh informasi hoaks (belum pasti kebenarannya). Kondisi sosial memengaruhi cara agama Islam itu berkembang di lingkungan ia berada.  

Penyebaran agama Islam di Pulau Jawa juga tidak lepas dari peran Walisongo yang melakukan dakwah dengan cara berbaur kepada masyarakat setempat melalui berbagai macam pendekatan seperti perdagangan, pernikahan, kesenian dan pendidikan (Syafrizal, 2015). Hal ini merupakan bukti bagaimana para ulama, wali, dan kyai dalam menyiarkan agama Islam Rahmatan lil Alamin (rahmat bagi seluruh alam) yang dapat diterima (Putri & Fadlullah, 2022). Oleh karena itu, hal ini menjadi bukti bahwa agama Islam dapat diterima serta berkembang luas di setiap penjuru negeri, didasari dengan metode yang mudah diterima masyarakat yaitu melalui kearifan lokal yang berkembang di suatu daerah walaupun memang berbeda-beda kebudayaan di masing-masing daerah. 

Sejarah Awal Masuknya Islam di Desa Mojo

Sejarah dalam bahasa Arab disebut Tarikh, berasal dari kata ta’rikh dan taurikh, yang menurut bahasa berarti ketentuan masa atau pemberitahuan tentang waktu (Zubaidah, 2016). Sedangkan pengertian selanjutnya memberikan makna sejarah sebagai catatan yang berhubungan dengan kejadian-kejadian masa silam yang diabadikan melalui laporan atau karya tulis dan dalam ruang lingkup yang luas. Oleh karena itu, menurut Sayid Quthub, “Sejarah bukanlah peristiwa-peristiwa, melainkan tafsiran peristiwa-peristiwa itu, dan pengertian mengenai hubungan-hubungan nyata dan tidak nyata, yang menjalin seluruh bagian serta memberinya dinamisme waktu dan tempat (Suntiah & Maslani, 2017).

Mojo merupakan suatu desa yang berada di Kecamatan Andong, Kabupaten Boyolali, Provinsi Jawa Tengah. Desa Mojo sering dikenal dengan nama Kacangan. Hal ini disebabkan karena terdapat sebuah pasar tradisional yang terletak di desa Kacangan, meskipun secara administratif pasar Kacangan terletak di desa Mojo. Desa Mojo memiliki mayoritas penduduk beragama Islam. Masyarakat di desa Mojo rata-rata bekerja sebagai petani, usaha rumahan, dan wirausaha. 

Dalam penelusuran sejarah, kami mewawancarai sesepuh bernama Simbah KH. Ladiman selaku Ketua RW 05 di Dukuh Mojo. Berdasarkan penelusuran, ajaran Islam masuk ke desa Mojo sejak berkembanganya kerajaan Islam di Jawa, namun mulai berkembang saat berdirinya pondok pesantren Zumrotut Tholibin yang didirikan oleh Kyai muda yang berasal dari desa cabean, Toroh, dan Grobogan yang sedang mencari tempat untuk menyebarkan Islam.  Saat itu, ada basis pengajian yang dipimpin oleh Mbah Thoyib dan Mbah Muhsin yang belum terkelola dengan baik. Mbah Thoyib meminta bantuan Kyai Zuhdi untuk membantunya. Dengan bantuan Kyai Zuhdi ini, kegiatan dakwah semakin berkembang. Kemudian, untuk mengembangkan dakwahnya, Mbah Muhsin mewakafkan tanahnya yang ada di Desa Mojo untuk dibangun pondok pesantren. Di desa tersebut berkembang suatu ajaran yaitu tarekat qadariyah yang dibawa oleh Kyai tersebut, lalu Kyai tersebut mengajarkan Kilatan atau mengkaji Kitab Kuning. Dari situ banyak masyarakat yang mulai mengikuti kegiatan beliau. 

Dahulu di desa Mojo belum ada bangunan tempat beribadah seperti Mushola ataupun Masjid, jadi mereka beribadah seperti Sholat jumat dan lain-lain di Masjid pondok tersebut. DIkarenakan jauhnya tempat beribadah, warga mulai membangun Mushola untuk beribadah mereka. Masyarakat Mojo saat itu bisa menerima ajaran Islam dengan baik sehingga Islam  berkembang dengan baik dan dapat diterima oleh semua kalangan. Di Mojo, berkembang aliran ahli sunnah wal jamaah. Banyak akulturasi budaya yang terjadi di Desa Mojo. Kegiatan Islam yang berkembang di sana yaitu seperti mengamalkan dzikir tahlil, nariyahan, sholawatan, manakiban, hadroh dan budaya lainnya.  

Selain itu, kami menggali informasi kepada narasumber yaitu Simbah KH. Sutardi. Beliau sesepuh yang bertempat di Dukuh Mojo terletak di RT 12/RW 05. Dalam proses wawancara kami menggali tambahan informasi tentang perkembangan Islam khususnya di Daerah Mojo. Simbah KH. Sutardi menjelaskan bahwa penyebaran Islam tidak terlepas dari peran Kyai-kyai yang semangat dalam mendakwahkan Islam, terutama beliau Kyai Zuhdi dari Purwodadi yang diperintahkan Kyainya untuk menyebarkan Islam yang kemudian berhenti di kacangan dan mendirikan Pondok Pesantren Kacangan. jumlah santri, Masjid-masjid, serta pondok yang banyak tersebut dibantu oleh bapak samsudin ayah dari Simbah KH. Sutardi.

Baca Juga :   Eksistensi Mitos Makhluk Halus: Dari Mentek, Gundul, Sampai Tuyul Di Tengah Masyarakat Jawa

Simbah KH. Sutardi menegaskan setelah Pondok Pesantren didirikan, para Kyai dan santri-santri beliau berdatangan dari luar daerah-daerah, bahkan di luar Jawa. Walaupun memang dalam dakwah mengalami rintangan khususnya pada saat terjadi peristiwa G30/S PKI yang meluas di setiap penjuru. Bahwa pada saat itu, masyarakat Dukuh Mojo masih belum banyak yang beragama Islam, kurang lebih 25-65 Kartu Keluarga. Belum banyak yang beribadah. Kemudian pemerintah memiliki program untuk mengumpulkan masyarakat untuk diajarkan tentang Sholat, membaca Al-Qur’an, dan lain sebagainya. Setelah itu, Desa Mojo semakin berkembang ke arah kemajuan dalam bidang keagamaan.

Simbah KH. Sutardi menegaskan bahwa wilayah Kecamatan Andong juga menjadi urutan kedua dalam gerakan serangan pemberontakan PKI setelah Jakarta. Beliau menjelaskan bahwa dalam peristiwa gerakan dengan merencanakan pembunuhan serta pembakaran terhadap orang-orang Muslim. Pada malam Jumat Pahing, para pemuda Ansor tirakat di daerah Sempu menemui Kyai, kemudian setelah tirakat diperintahkan Kyai untuk segera pulang ke rumah masing. Setelah itu peristiwa pasukan PKI membawa senjata, akan tetapi senjatanya tidak normal karena memakai senapan.  Para pemuda ansor dan banser NU menjaga seluruh wilayah ketika ada serangan PKI. Pada saat kejadian tersebut, tegas Simbah KH. Sutardi hanya diucapkan takbir para PKI mundur.

Simbah KH. Sutardi menjelaskan bahwa perkembangan agama Islam sangat pesat, melalui pendidikan di setiap pengajian di Mushola-mushola. Dengan berbagai bantuan akhirnya Madrasah Diniyah dapat berkembang dan berbagai perkembangan pendidikan keagamaan. Hal ini sebagai bentuk kepedulian terhadap agama karena dengan kesadaran diri yang kuat pada setiap individu.

Dinamika Masyarakat Dalam Beragama Terhadap Kearifan Lokal

Kearifan lokal merupakan bentuk kebudayaan yang berkembang di suatu daerah. Kebudayaan dalam bahasa Arab adalah al-Tsaqafah. Kebudayaan adalah bentuk ungkapan tentang semangat mendalam suatu masyarakat (Zubaidah, 2016). Di Indonesia terdapat bermacam-macam kebudayaan yang berkembang, bahkan dari satu desa dengan desa yang lainnya terdapat suatu perbedaan. Kebudayaan lebih banyak direfleksikan dalam seni, sastra, religi dan moral.

Menurut Koentjaraningrat, kebudayaan mempunyai tiga wujud.

  1. Wujud Ideal, yaitu wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan-peraturan, dan lain-lain.
  2. Wujud Kelakuan, yaitu wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas kelakukan berpola dari manusia dalam masyarakat.
  3. Wujud Benda, yaitu wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya. Sedangkan istilah peradaban biasanya dipakai untuk bagian-bagian dan unsur-unsur dari kebudayaan yang halus dan indah.

Kearifan lokal yang muncul di tengah-tengah masyarakat sebagai bukti kelenturan Indonesia. Sebagian dari Wali Sanga disebut telah menciptakan berbagai bentuk kesenian untuk menjelaskan Islam dalam idiom lokal. Seperti contoh Sunan Kalijaga disebut telah menciptakan teater bayangan boneka atau wayang kulit, Sunan Drajat dianggap mengubah sebuah melodi untuk orkestra perkusi tradisional (gamelan), dan Sunan Bonang dinyatakan menciptakan bentuk pengajaran puitis yang dikenal sebagai suluk, sebuah istilah yang berasal dari kata bahasa Arab yang berarti “Perjalanan” seseorang dalam mencari pengetahuan Ilahiah.

Dalam wawancara bersama dengan Simbah KH. Sutardi, masyarakat Mojo sangat bersemangat menjalankan ibadah. Kemudian beliau menjelaskan tradisi-tradisi yang dilakukan oleh masyarakat di Desa Mojo, salah satunya di Dukuh Mojo.

  1. Tradisi Gumbrekan yang dilaksanakan setelah para petani bercocok tanam, dalam pelaksanaannya diberikan kepada anak-anak dalam bentuk palawija.
  2. Tradisi Sadranan yang dilaksanakan bertempat di Sendang Sari Mulyo di Dukuh Mojo dan sumur-sumur besar. Kemudian Simbah KH. Sutardi menegaskan bahwa sadranan di sendang berkaitan dengan kekuasaan Allah, dengan berkaitan juga Nabi Khidir (yang menguasai air sedunia). Dalam rangka mensyukuri nikmat Allah serta kebesaran. Dalam pelaksanaannya Simbah KH. Sutardi mengajak untuk berdoa membaca Qs. Al Fatihah dan Qs. Al Ikhlas.
  3. Tradisi Sedekah Desa yang dilaksanakan setelah panen terakhir.
  4. Tradisi Suro, ketika akan memasuki tanggal 1 Muharam masyarakat menyembelih hewan kambing dalam rangka tolak bala.  Simbah KH. Sutardi menegaskan bahwa tradisi ini sudah ada sejak zaman dulu dan akhirnya turun temurun.
  5. Tradisi Mapak Tanggal pada bulan Suro.

Menurut Simbah KH. Sutardi, dinamika masyarakat terhadap tradisi adalah terjadi perbaikan pemahaman makna dan niat yang bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Sebab dari penjelasan mengenai tradisi Suro, menyembelih kambing yang dilaksanakan ba’da dzuhur, masyarakat dahulu mengambil bagian kepala dan kaki kambing kemudian di kubur yang bertempat di perempatan jalan untuk bagian kepala, sedangkan kaki di kubur di pojok-pojok Dukuh. 

Baca Juga :   Fenomena Migrasi Orang-Orang Bugis Makassar

Akan tetapi Simbah KH. Sutardi menjelaskan setelah memahami ilmu agama dengan mendalam serta mengambil kemaslahatan, daripada di kubur alangkah baiknya dibagikan untuk dikonsumsi masyarakat. Pembagian dibagikan secara merata walaupun sedikit bagian dagingnya. Selain itu, adanya tradisi Mapak Tanggal atau menentukan tanggal pada bulan Suro (Muharam) yang disesuaikan dengan Keraton Surakarta, melalui tradisi Sekaten. Pada malam 1 Muharam akan diadakannya doa bersama dalam bentuk yasinan ataupun tahlilan bersama di lingkup setiap RT. 

Dinamika Sosial Agama Masyarakat Terhadap Transformasi Zaman

Zaman yang semakin modern arus teknologi ditandai dengan kemudahan akses internet. Munculnya percepatan digitalisasi yang dapat berdampak positif maupun negatif bagi khalayak umum. Kondisi di era digital juga dapat menimbulkan perubahan sosial di masyarakat. Era digital merujuk pada periode di mana teknologi digital, terutama internet, komputer, dan smartphone memainkan peran sentral dalam kehidupan manusia. Era ini ditandai dengan perkembangan yang pesat dalam Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) yang mengubah berbagai aspek kehidupan kita.

Pada era digital, akses informasi menjadi lebih cepat, luas, dan mudah dari pada sebelumnya. Internet telah menghubungkan milyaran orang di seluruh dunia, memungkinkan untuk berkomunikasi, berbagi ide dan mengakses sumber daya yang hampir tak terbatas dari penjuru dunia. Perkembangan teknologi informasi yang pesat di era digital ini membawa sejumlah tantangan baru dari segi aspek akhlak, pemahaman dalam beragama, serta budaya atau tradisi yang baru.

Simbah KH. Sutardi menegaskan dalam proses wawancara tentang mempertahankan budaya kearifan lokal. Beliau menjelaskan yang terpenting adalah keyakinan niat jangan sampai salah, berniat yang ditujukkan kepada Allah. Bukan ditunjukkan dengan hal-hal yang mistis tetapi dalam keagamaan di masyarakat sudah banyak yang bersemangat beribadah.

Kami mewawancarai bapak Kyai Ahmad Askolani selaku kepala dusun dua dan sebagai tokoh agama yang membawahi 3 dukuh diantaranya Dukuh Ngelo, Dukuh Mojo, dan Dukuh Kliwonan. Beliau menjelaskan bahwa dari ketiga dukuh tersebut memang masih terjaga tradisi yang turun temurun sampai sekarang, meskipun di kondisi zaman yang tentunya berbeda. Transformatif zaman yang semakin modern, beliau menekankan bahwa Dukuh Mojo sebagai pusatnya keagamaan bagi masyarakat dalam beribadah maupun kegiatan majelis sholawat, dzikir, dan pengajian.

Bapak Kyai Ahmad Askolani menekankan bahwa di daerah Mojo sendiri, memang sangatlah kuat dalam pondasi keagamaan setiap individu. Karena yang menjadi patokan utama ialah Kitab Salaf Klasik serta didukung dengan ajaran para Kyai-kyai sepuh zaman dulu yang masih ditekankan pada setiap individu masyarakat. Memang awal dahulu masyarakat yang tidak pernah melakukan Sholat Jumat, kemudian melakukan Sholat Jumat. Memang dalam perjalanan sejarahnya peristiwa permasalahan masyarakat hampir tidak begitu banyak terjadi, karena biasanya jika ada permasalahan yang timbul akan ada penyelesaian pada Acara Selapanan atau kumpul bersama di masjid dalam rangka membahas hal-hal yang terjadi di masyarakat.

Dari refleksi yang penulis lakukan memang pola tradisi masyarakat yang terjadi ini seperti peraturan yang valid dan tertulis serta berlaku untuk keseluruhannya. Oleh karena itu, banyaknya kegiatan keagamaan yang selama ini masih terjaga serta masih melekat dengan kearifan lokal. Hampir tidak ada pengaruhnya modernitas yang terjadi dengan kondisi lingkungan masyarakat tetap mempertahankan kearifan lokal. Walaupun terkadang sebagian daerah memang jarang dijumpai karena kemungkinan terjadi disebabkan kurangnya pondasi yang kuat dalam menghadapi dinamika perubahan sosial.

Dengan demikian, menjadi bukti bahwa walaupun pesatnya perubahan zaman tentunya akan berpengaruh tatanan sosial di masyarakat tentunya tidak bisa berubah karena memang sudah memiliki pondasi yang kuat. Hikmah yang dapat diambil bahwa kearifan lokal sangat dijaga dan terus dilestarikan seiring dengan hilangnya tradisi lokal di berbagai wilayah. 

Referensi

Amaliah, Eni & Sumarno. Intensifikasi Penggunaan Media Sosial Untuk Mewujudkan Perpustakaan Modern Digital. Jurnal El-Pustaka 02, no. 01 (2021): 59–74..

Kosanke, Robert M. Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Nusantara. 2019, 1–9.

Mabrur. Era Digital Dan Tafsir Al Qur ’ an Nusantara : Studi Penafsiran Nadirsyah Hosen Di Media Sosial. Prosiding Konferensi Integrasi Interkoneksi Islam dan Sains 2 (2020): 207–13.

Putri, Sagnofa Nabila Ainiya, and Muhammad Endy Fadlullah. Wasathiyah (Moderasi Beragama) Dalam Perspektif Quraish Shihab. Incare 03, no. 01 (2022): 66–80.

Suntiah, Ratu, dan Maslani. Sejarah Peradaban Islam. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2017.

Syafrizal, Achmad. Sejarah Islam Nusantara. Islamuna: Jurnal Studi Islam 2, no. 2 (2015): 235–53.

Zubaidah, Siti. Sejarah Peradaban Islam.  Medan: Perdana Publishing, 2016.

Share:

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on pinterest
Pinterest
Share on linkedin
LinkedIn

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Related Posts