Romantika Perjuangan Bunda Kemerdekaan

Soekarno pada masa pergerakan kemerdekaan selalu berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain, karena untuk menghindari pemerintahan Kolonial Belanda pada masa itu. Tak heran jika Soekarno dan keluarganya seringkali mengalami masa-masa sulit dalam membina rumah tangganya pada masa pergerakan kemerdekaan. Bagi kita pasti sudah tahu bahwa Soekarno adalah presiden pertama sekaligus yang dijuluki sebagai bapak proklamator. Karena atas kegigihan dan perjuangan Soekarno dan rekan-rekannya lah akhirnya bangsa Indonesia berhasil lepas dari jeratan Belanda. Lalu kita pasti tau bahwa Fatmawati sangat berjasa karena telah menjahit bendera merah putih untuk bangsa Indonesia. Tetapi, di lain hal ada sosok yang tak kalah penting dengan Fatmawati, namanya adalah Inggit Garnasih.

Oleh Aditya Billy Y Susanto

“Aku pun terdiri dari darah dan daging, manusia biasa yang luluh oleh kesepian dan mushan oleh pijak sinar cinta yang meluap” – Inggit Garnasih

nama beliau adalah Inggit Garnasih. Inggit Garnasih adalah salah satu istri Bung Karno yang kurang dikenal. Padahal cerita kehidupan Inggit dapat menginspirasi perempuan-perempuan diluaran sana, khususnya perempuan Indonesia. Inggit adalah istri yang setia dengan Bung Karno dalam suka maupun duka. Walaupun bukan istri pertama, tetapi Inggit selalu memberikan semangat dan selalu menemani Bung Karno dalam titik terendahnya. Menurut buku Perempuan-perempuan Pengukir Sejarah karya Mulyano Atmosiswartoputra, Inggit Garnasih dan Bung Karno menikah pada 24 Maret 1923. Selama menjalin rumah tangga, Inggit Garnasih selalu membantu Bung Karno dengan tulus dan penuh keikhlasan demi cita-cita kemerdekaan. Bahkan pada tahun 1927, Inggit Garnasih menjadikan rumahnya sebagai tempat deklarasi berdirinya organisasi politik Perserikatan Nasional Indonesia (PNI). 

Cinta Terlarang Soekarno-Inggit

Ada banyak nama wanita yang tercatat mendampingi kehidupan perjuangan dari Bung Karno namun nama Inggit Garnasih memiliki kisah yang sangat istimewa dan sekaligus memilukan. Wanita ini lahir di desa Kamasan, Banjaran, Bandung pada 17 Februari 1888. Nama Garnasih berasal dari kata Hegar yang berarti segar menghidupkan dan Asih yang berarti kasih sayang. Nama ini sesuai ia sandang dan terbukti bahwa Inggit banyak sekali melakukan pengorbanan dan perjuangan yang ia berikan dalam mendampingi perjalanan hidup Kusno yang sulit dan berliku. 

Perkenalan dua tokoh bersejarah ini terjadi di rumah Inggit dan Suaminya, H. Sanusi. Ketika H.O.S Tjokroaminoto menitipkan Kusno di rumah H. Sanusi yang merupakan anggota pergerakan Syarikat Islam Indonesia. Saat itu juga Kusno sudah beristerikan Oetari, putri dari H.O.S Tjokroaminoto. Sebelum menikah dengan Inggit, Kusno sudah menikah dengan putri H.O.S Tjokroaminoto pada 1921 di Surabaya, yaitu Oetari. Namun kala itu, Kusno menikah dengan Oetari hanya untuk meringankan beban keluarga Tjokro. Sementara itu, Inggit juga berstatus sebagai istri sah dari seorang pengusaha yang aktif berorganisasi Syarikat Islam, yaitu Haji Sanusi. 

Kala itu, Soekarno adalah mahasiswa di Technische Hoogeschool te Bandoeng, cikal bakal Institut Teknologi Bandung (ITB). Soekarno menganggap Inggit Garnasih seperti sosok ibu, karena kerap mendengarkan buah pikirannya, memperhatikan pakaiannya, menyiapkan masakan, hingga membereskan makanan. Satu tahun Soekarno muda tinggal bersama Sanusi dan Inggit dalam suatu rumah kecil dengan 7 ruangan khusus, akhirnya, bibit cinta terlarang pun tumbuh di antara Soekarno dan Inggit. Hubungan mereka disebut terlarang karena Soekarno mencintai istri orang lain. Lebih dari itu, usia Inggit pada saat itu sudah menginjak ke 35 tahun terpaut cukup jauh dengan usia Soekarno yang saat itu masih berusia 22 tahun. Hubungan dari kedua pasangan itupun akhirnya mulai tercium oleh Sanusi, suami sah Inggit. Hingga pada akhirnya di tahun 1922, Sanusi pun menceraikan Inggit dan merelakannya untuk dinikahi oleh Soekarno muda.

Sebelum Inggit menikah dengan Soekarno, Sanusi menunjukan kemuliaan hatinya lewat dialog yang dikatakannya, “Terimalah dulu lamaran Kusno (panggilan akrab Soekarno selain Engkus) itu. Setelah begitu, Akang jatuhkan talak. Tetapi, jangan kemudian kau berdiri sendiri segala. Jadikanlah nikah dengan Kusno. Jadikanlah ia orang penting. Eulis pasti bisa mendorongnya sampai ia menjadi orang penting. Kalau tidak begitu, bakal banyak saudagar yang mendekati Eulis, melamar Eulis, dan Akang tidak sudi” Ujar Sanusi, mantan suami Inggit. 

Sanusi memberikan secarik kertas perjanjian untuk Soekarno yang isinya; bahwasanya Soekarno tidak akan menyakiti Inggit. Setahun kemudian, pada tanggal 24 Maret 1923 di Bandung, Soekarno secara resmi akhirnya menikahi Inggit secara sah. Rumah tangga Soekarno dan Inggit akhirnya berjalan harmonis. Setelah menjadi suami sah Inggit Garnasih, Soekarno sebenarnya tidak mempunyai profesi tetap, atau tidak berpenghasilan tetap. Tetapi, Soekarno aktif dalam berorganisasi dan berpolitik semenjak masih duduk di bangku sekolah. Karena berangkat dari rumah H.O.S Tjokroaminoto lah Soekarno sering sekali berdiskusi mengenai politik, dan perjuangan. Dari sanalah akhirnya ia mulai belajar berorganisasi dan berorasi bagaimana menjadi seorang pemimpin yang pandai memikat hati rakyatnya. Inggitlah yang menjadi tulang punggung keluarga, menyokong roda ekonomi keluarganya dengan Soekarno. Inggit bukan hanya menjadi istri dari Kusno, tetapi Inggit juga menghidupi keluarga kecilnya dengan Kusno, yang rela ikhlas menjadi tulang punggung dengan berjualan jamu, bedak, lalu rokok dan menjadi penjahit. Segala usaha yang dilakukan Inggit semata-mata karena beliau tau keadaan sang suaminya dan demi tercapainya cita-cita kemerdekaan Soekarno yang dipanggil Engkus. 

Baca Juga :   Kompetisi Sepakbola GALATAMA (1979-1994) Sebagai Cikal Bakal Kompetisi Profesional di Indonesia

Kuantar Kau Ke Gerbang

Inggit adalah sosok wanita sederhana yang tidak bisa membaca ataupun menulis,  namuan dengan keterbatasan dan kesederhanaannya itulah justru membuatnya menjadi sosok pembangkit semangat Soekarno hingga menjadikannya sosok perjuang tangguh bagi Indonesia. Inggit bukan hanya menjadi istri, ibu dan pendamping Soekarno, tetapi Inggit juga menjadi pembimbing Soekarno dalam jatuh bangun di hidupnya. 

Lambat laun setelah Kusno tamat sekolah pada tahun 1926, membuat Inggit begitu bahagia karena kesuksesan Soekarno dalam menyelesaikan pendidikannya itu, yang berarti juga buah dari kesabarannya berhasil mendampingi sang suami dengan setia. Meski begitu, gelar yang diraih Soekarno dengan mempredikati seorang Insinyur, tidak dimanfaatkan Soekarno untuk memperoleh pekerjaan tetap. Tetapi justru sebaliknya, Soekarno justru terus aktif di organisasi dan perpolitikan hingga akhirnya Soekarno mendirikan Perserikatan Nasional Indonesia (PNI). Dengan langkah yang diambil Soekarno inilah kenyataan hidup dari sepasang suami istri ini harus tetap hidup miskin. Dengan langkah yang diambil Soekarno dengan mendirikan PNI tidak membuat Inggit berpaling, tetapi ia tetap mendukung penuh langkah sang suaminya, hingga pada akhirnya PNI semakin berkembang pesat. 

Dengan berani mengambil langkah dengan menjadi tulang punggung dari keluarganya sendiri, Inggit tetap bersemangat menghadapi tantangan hidup dengan Soekarno, yang kerap kali menghadapi kesulitan dan tetap menyediakan kebutuhan Soekarno agar tetap berjuang di jalannya. Meski memiliki keterbatasan dalam membaca dan menulis, Inggit ternyata paham betul bahasa sunda dan aksaranya, kerap kali Inggit menerjemahkan pidato-pidato Soekarno ke dalam bahasa sunda. 

“Setiap kekalahan, ia memerlukan hati yang lembut, tetapi sekaigus memerlukan dorongan lagi yang besar yang mencambuknya, membesarkan hatinya. Istirahat, dielus, dipuaskan, diberi semangat lagi, dipuji dan didorong lagi” Ucap Inggit. 

Potret Inggit dan Soekarno. Sumber Pikiran Rakyat

Sambil memegang bahu Soekarno, Inggit juga mengatakan, “Kus, ieu baju teh pamere ti Rakyat. Kahade Kus kudu innget, jeung  kudu bisa ngajagana, ulah sampe mopoho keun kanu merana” Jika di Indonesiakan “Kus, ini baju adalah pemberian dari Rakyat. Kus harus ingat, dan harus bisa menjaganya, jangan sampai melupakan mereka”.

Meski secara intelektual Inggit tidak bisa dijadikan kawan berdialog, tetapi Inggit masih bisa memberikan masukan serta saran kepada Soekarno dalam langkah pergerakan perjuangan Soekarno. Langkah demi langkah Inggit untuk tetap memuliakan sang suami akhirnya berhasil mengantarkan Soekarno menuju gerbangnya. 

Setia di Tanah Pembuangan

Soekarno adalah salah satu tokoh yang sangat berpengaruh dalam masa pergerakan kemerdekaan Indonesia. Buah dari pemikirannya hingga hari ini masih tetap dilestarikan dan dikembangkan terhadap keadaan sosial. Selain aktif berdiskusi dan berdialog, Soekarno juga aktif di PNI dengan rela mengorbankan gelar akademiknya demi keutamaan pergerakan kemerdekaan yang dicita-citakannya. Perjalanan hidup Soekarno tidak akan berarti jika tidak ada Inggit di sampingnya.

Jika Soekarno diibaratkan nyala api, maka Inggit Garnasih adalah kayu bakarnya. Kisah mereka berdua adalah romantisme dalam sejarah yang tidak akan bisa diulang kembali. Kesabaran dan ketabahan Inggit diuji ketika sang suami ditangkap dan dipenjara di Banceuy Bandung. Perjuangan itu berlanjut selama di Bandung, rekan-rekan Soekarno pun turut membantu Inggit, termasuk Mas Mansyur teman akrab Soekarno. Tak jarang uang dari hasil keringatnya digunakan untuk berbagai kegiatan sosial dan organisasi demi untuk membangun relasi politik untuk kemerdekaan. 

Tidak hanya soal ekonomi, Inggit juga pernah berpuasa selama tiga hari, dengan bertujuan agar badanya agak mengecil dan kemudian ia menyelinap masuk ke penjara dengan mengenakan pakaian tebal, yang di dalam pakaian itu berisikan secarik naskah-naskah dan buku-buku. Selama Soekarno berada di dalam penjara, Inggit lah yang menggantikan posisi Soekarno dengan mengambil alih sebagai penyambung lidah rakyat kepada para pejuang. Bisa dibilang bahwa Inggit lah yang menjadi penopang dan membentuk Soekarno menjadi pemimpin besar. Bagi Soekarno sendiri, Inggit bukan cuma istri, tetapi juga ibu dan sahabat.

Baca Juga :   Perjuangan Perkebunan Teh Gunung Mas Mempertahankan Eksistensinya

Pada 1938 Soekarno dipindahkan ke pengasingan Bengkulu yang lebih jauh, karena Soekarno mengalami sakit Malaria yang sangat parah. Tentu Inggit pun ikut berpindah ke Bengkulu dan dengan setia merawat sang suami yang sedang mengalami sakitnya. Selama berada di Bengkulu lah Inggit menghadapi lagi ujian batin yang sangat hebat pada saat Soekarno sembuh dari penyakitnya, dan akhirnya aktif kembali berorganisasi dengan partai-partai pergerakan disana yang akhirnya membawa Soekarno bertemu dengan Fatmawati. 

Kubur Memisahkan

Ketika Soekarno menjadi tahanan politik di Bengkulu ia bertemu dan mengenal Fatmawati yang merupakan anak gadis dari salah satu tokoh Muhammadiyah di sana. Ketika tahun 1942 ketika kedudukan kekuasaan Belanda kalah dan Jepang berkuasa di Indonesia akhirnya Soekarno bebas dan kembali ke Jakarta. Ketika kembali di Jakarta Soekarno berniat ingin poligami kepada Inggit untuk menikahi Fatmawati. Alasannya bukan karena Soekarno tak cinta lagi kepada Inggit, tetapi karena Soekarno ingin mendapatkan keturunan. Karena perjalanan kisah cinta Soekarno dan Inggit selama 20 tahun menikah, Inggit tidak bisa memberikan anak kepada Soekarno.

Ketika niat poligami itu Soekarno utarakan kepada Inggit, Inggit justru menolak dengan keras, karena ia tidak mau dimadu meski cintanya sangat besar kepada Soekarno. Hingga pada akhirnya Inggit dan Soekarno resmi bercerai pada awal tahun 1943, dan mengantarkan Inggit ke rumah H. Sanusi.

Dalam kesempatan itu, perjanjian yang sudah dibuatkan H. Sanusi kepada Soekarno sudah tidak berlaku lagi, karena sudah lewat lebih dari 10 bulan. Namun dengan kemuliaan H. Sanusi lah akhirnya Inggit diterima kembali, tetapi bukan untuk dinikahinya kembali. Karena pada saat itu juga H. Sanusi justru sudah beristri dan menjadi suami sah wanita lain. 

Perceraian yang terjadi antara Soekarno dan Inggit sesungguhnya banyak yang tidak bisa menerimanya, terlebih Inggit adalah sosok wanita yang sangat setia menemani Soekarno dari perjuangan, pembuangan dan pengasingan. Orang tua angkat Soekarno, Raden Mas Soemosewoyo juga marah mendengar Soekarno ingin menceraikan Inggit karena berasalan Inggit tidak bisa memberikan anak kepada Soekarno, sampai-sampai marahnya orang tua angkat Soekarno itu pergi meninggalkan Soekarno ke Kediri. 

Selama Inggit kembali tinggal di rumah H. Sanusi ia hanya sementara dan tidak selamanya. ia berpindah tempat beberapa kali hingga akhirnya menetap di rumah yang dihuninya di Jl. Ciateul, Bandung. Lalu tepat pada 1 Juni 1943, Soekarno menikahi Fatmawati, dan tepat dua tahun setelah pernikahan dengan Fatmawati akhirnya Soekarno memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. 

Potret Inggit Garnasih menangis saat menghadiri pemakaman Bung Karno. Sumber Inews Jabar

Dalam surat cerai mereka berdua antara Inggit dan Soekarno, dituliskan bahwa Soekarno menyerahkan sebuah rumah beserta isinya kepada Inggit di kota Bandung, dan hingga wafatnya, Inggit berhak menerima nafkah dari Soekarno. Surat cerai tersebut juga ditandatangani oleh Drs. Mohammad Hatta, Ki Hadjar Dewantara dan KH. Mas Mansyur, yang semuanya adalah teman-teman seperjuangan Soekarno. 

Pada tahun 1960, ketika saat itu Inggit berusia 72 tahun, yang sedang mengalami sakit-sakitan, akhirnya Soekarno menjenguknya di Bandung itu. Tetapi hal ini adalah pertemuan terakhir Inggit dengan Soekarno selama 20 tahun membina rumah tangga dan menemani Soekarno menuju ke puncak cita-citanya. Pertemuan terakhir ini adalah pertemuan dimana sebelum Soekarno wafat setelah 10 tahun kedepannya, ketika pada tanggal 21 Juni 1970 Soekarno wafat. Di usianya yang sangat renta dan sedang mengalami sakit-sakitan, Inggit bergegas menuju ke wisma Yaso rumah duka tempat pria kesayangannya itu di semayamkan. Pada 13 April 1984, Inggit menyusul pria kesayangannya itu Soekarno di alam keabadian dengan usia yang menginjak ke 96 tahun.

“Selamat jalan Inggit, Selamat jalan Soekarno, dalam genggaman tangan dan cahaya Tuhan. Kalian dipertemukan kembali dengan Cinta” –Fatmawati 

DAFTAR PUSTAKA

Atmosiswortoputra, Mulyono. 2018. Perempuan-perempuan Pengukir Sejarah. Jakarta: Bhuana Ilmu Populer 

De Struers, Cora Vreede. 2008. Sejarah Perempuan Indonesia: Gerakan dan Pencapaian. Jakarta: Komunitas Bambu

K.H, Ramadhan. 2014. Kuantar ke Gerbang : Kisah cinta Ibu Inggit dengan Bung Karno. Yogyakarta: Pustaka PT Bentang

Deras, Roso. 2018. Total Bung Karno : Serpihan sejarah yang tercecer. Jakarta: edifikasi Media Indonesia

Adams, Cindy. 2018. Bung Karno : Penyambung lidah rakyat Indonesia. Yogyakarta: PT Media Pressindo

Share:

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on pinterest
Pinterest
Share on linkedin
LinkedIn

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Related Posts