Fasisme dan Trend Fashion Wanita di Era Nazi Jerman

Sejak Nazi Jerman berkuasa di tahun 1930-an, Adolf Hitler bukan saja terus berusaha membangun karier politiknya hingga menjadi penguasa tunggal Jerman. Hitler juga membangun segala institusi pemerintahan, gedung-gedung, maupun hal-hal kecil seperti pakaian. Hal itu dilakukan bukan tanpa alasan. Hitler ingin menunjukkan citra kekuasaanya. 

Oleh Dimas Sigit Cahyokusumo

Pembangunan manusia dalam hal pakaian yang dilakukan oleh Hitler merupakan sesuatu yang unik. Pasalnya selain sebagai penguasa yang otoriter, Hitler adalah seorang fashionista yang tidak biasa. Seseorang yang dikenal kejam ternyata peduli dengan yang namanya soal pakaian. Maka dari itu, salah satu aspek yang mengejutkan dari berkuasanya Hitler di Jerman adalah pendirian Institut Mode Jerman atau yang dikenal dengan Deutsches Modeamt. Sebuah institusi atau upaya Nazi Jerman untuk mengontrol setiap aspek kehidupan perempuan, termasuk yang mereka kenakan (Thynne, 2013). 

Selain itu, pendirian institut mode ini bukan bebas nilai, melainkan ada kepentingan propaganda dibaliknya.  Deutsches Modeamt yang didirikan dengan dukungan penuh pemerintah, ada untuk menempatkan kaum fasis ke dalam mode. Wanita hanya akan mengenakan pakaian yang dibuat oleh desainer Jerman pakaian yang dijahit hanya disentuh oleh tangan ras Arya (Thynne, 2013). Menurut Hitler, wanita Berlin harus menjadi wanita ideal berbusana terbaik di Eropa. Adapun wanita ideal berbusana terbaik menurut Hitler adalah rok tebal berpinggul seksi, tidak memakai lipstik, tidak merokok, dan wanita ideal tidak mencabut alis, mengecat kuku, atau mewarnai rambutnya (Thynne, Secrets of Hitler’s Fashion Bureau, n.d.). 

Sebelum Nazi Jerman berkuasa, fesyen wanita telah menjadi tempat perdebatan kontroversial di Jerman. Perdebatan itu ditimbulkan atas reaksi terhadap gaya “Garconne” yang telah popular pasca perang dunia I. Para kritikus konservatif mencerca gaya model pakaian “Garconne” yang mereka anggap sebagai pakaian yang merosot atau digambarkan sebagai jewified maskullinized yang didominasi Perancis dan beracun. 

Komentar-komentar para kritikus konservatif mengklaim bahwa mode Perancis tidak sehat bagi wanita Jerman secara moral maupun fisik dan sangat penting bagi desainer Jerman untuk membangun kebebasan penuh dari pengaruh Perancis yang jahat pada mode wanita. Selain itu, para kritikus konservatif ini ini juga mencerca bahaya dari citra bergaya Hollywood yang dengan bodohnya ditiru oleh wanita muda Jerman dengan alis pensil, mulut merah dicat atau berlipstik, dan berpakaian provokatif. 

Kecaman-kecaman reaksioner dan nasionalis fanatik ini terus berlanjut sepanjang tahun 1920-an sampai awal 1930-an. Hingga pada saat partai Nazi berkuasa argumennya menjadi jelas, yakni hanya pakaian Jerman, yang dirancang dan diproduksi secara khusus oleh ras Arya, yang cukup baik untuk wanita di Third Reich. Pakaian yang pantas secara rasial bergantung pada penghapusan pengaruh Perancis dan khususnya pengaruh Yahudi dari industri mode di Jerman. 

Untuk itu, sebuah organisasi Aryanisasi bernama Arbeitsgemeinschaft Deutsch Arischer Fabrikante der Bekleidungsindustrie atau Adefa yang didirikan pada Mei 1933 oleh beberapa produsen pakaian lama Jerman. Adapun tujuan didirikannya organisasi ini adalah untuk membersihkan orang Yahudi dari semua bidang industri mode melalui boikot, sanksi ekonomi, dan penganiayaan (Guenther, n.d.). 

Selain itu, di bawah kepemimpinan Adolf Hitler, Nazi Jerman juga berusaha untuk membangun penampilan perempuan yang akan mencerminkan ideologi resmi yang menjunjung tinggi kebijakan ekonomi pemerintah dan menciptakan rasa kepemilikan nasional yang besar. Citra perempuan yang diusulkan sebagai perempuan-perempuan terbaik ini perlu dikorelasikan dengan ideologi gender Nazi yang mendesak perempuan untuk kembali ke peran asli mereka sebagai istri dan ibu. 

Baca Juga :   Sejarah Propaganda Nazi Jerman Melalui Film Titanic

Sebagai “Mothers of the German Volk”, perempuan ditugaskan untuk memperbaiki angka kelahiran, menjamin kemurnian ras generasi mendatang, dan memperkuat ekonomi dengan hanya membeli produk buatan Jerman. Dalam pandangan rezim Nazi, kecantikan bukan berasal dari kosmetik atau pakaian yang trendi, melainkan dari kebahagiaan batin yang diperoleh dari pengabdiannya kepada anak-anaknya, suaminya, rumahnya, dan negaranya (Guenther, n.d.). 

Gambar yang paling sering ditampilkan dalam bentuk propaganda visual adalah istri petani dengan kostum rakyat. Biasanya disebut tracht atau dirndl. Istri petani yang dibeli “ibu Jerman” digambarkan sebagai wanita ideal. Disebut ideal dikarenakan dirinya merupakan penghubung antara ikatan darah dan tanah Jerman. Penampilannya alami, tidak ternodai oleh kosmetik modern, kesediaannya untuk bekerja keras mengingatkan masa lalu Jerman yang besar dan tidak ternodai. 

Dalam foto-foto propaganda, wanita pedesaan biasanya ditampilkan dengan rambut dikepang, tanpa kosmetik, dikelilingi oleh anak-anak, dan berseri-seri (sebagaimana gambar di atas). Busana yang dikenakan oleh istri petani yang ideal menurut Nazi Jerman harus mengenakan pakaian Trachten Kleidung, kostum rakyat yang mencerminkan kekayaan warisan budaya Jerman. Dipromosikan sebagai ekspresi dari karakter Jerman-Arya yang sesungguhnya (Guenther, n.d.). 

Cerminan pakaian atau fesyen yang tidak bebas nilai alias penuh dengan propaganda fasisme bukan saja terjadi pada kaum perempuan. Melainkan terjadi juga pada para perwira dan serdadu Nazi Jerman. Sebab bagaimanapun pakaian telah memainkan peran yang begitu besar untuk memengaruhi seseorang. Sebagaimana dikatakan oleh Menteri Propaganda Nazi Jerman, Joseph Goebbels yang mengatakan bahwa pakaian tempur yang biasa-biasa saja tidak akan menanamkan rasa takut pada orang-orang. Sebaliknya, seragam yang dirancang untuk membuat pemakainya terlihat lebih tinggi, besar, dan berkharisma akan memiliki dampak yang kuat kepada mereka yang melihatnya (Pradana, 2020). 

Maka tidak heran jika Alif Rafik pemerhati sejarah militer Nazi Jerman mengatakan bahwa kalau saya lihat secara objektif, orang yang mengenakan seragam Jerman itu lebih tampak gagah dibandingkan seragam militer Amerika, Inggris, dan Perancis. Pertama, mungkin karena desainnya. Kedua, karena reputasi militer mereka juga. Kalau seragam Jerman sekeren itu tapi reputasi militernya acak-acakan seperti Italia, tidak akan heboh sampai sekarang (Wirayudha, 2020). 

Daftar Pustaka

Guenther, I. (n.d.). Fascist and Nazi Dress. Retrieved from fashion.lovetoknow.com.

Pradana, S. (2020, Oktober 26). 7 Hal yang Dilakukan Nazi untuk Memengaruhi Dunia Mode di Masanya. Retrieved from idntimes.com.

Thynne, J. (2013, Maret 12). Fashion and the Third Reich. Retrieved from historytoday.com.

Thynne, J. (n.d.). Secrets of Hitler’s Fashion Bureau. Retrieved from lady.co.uk.

Wirayudha, R. (2020, Juli 17). Seragam Jerman Nazi Buatan Hugo Boss. Retrieved from historia.id.

Share:

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on pinterest
Pinterest
Share on linkedin
LinkedIn

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Related Posts