Waljinah, Si Walang Kekek dari Surakarta dan Ratu Keroncong Indonesia

Walang kekek menclok nang tenggok

Mabur maneh menclok nang pari

Ojo ngenyek yo Mas, karo wong wedok

Yen ditinggal lungo setengah mati

Penggalan lirik di atas terdapat dalam lagu keroncong Walang Kekek yang dirilis tahun 1968 silam. Lagu berbahasa Jawa yang berisi pesan kepada lelaki untuk tidak memandang sebelah mata para kaum hawa. Setiap isinya merupakan sindiran yang dibalut dengan penggunaan diksi yang jenaka. Lagu yang diambil dari kenyataan dalam pergaulan hidup sehari-hari masyarakat. Waljinah menjadi orang yang namanya melambung setelah mempopulerkan tembang ini. Gaya bernyanyi yang khas membuat nya tersohor sebagai salah satu ikon besar di belantika musik keroncong Indonesia. Sosoknya pantas disejajarkan dengan legenda keroncong mendiang Gesang Martohartono. 

Oleh Muhammad Luthfi Lazuardi

Waljinah lahir di Kampung Mangkuyudan, 7 November 1945 dari pasangan Sri Hadjid Wirjo Rahardjo dan Kamini. Bungsu dari sepuluh bersaudara ini tumbuh besar di salah satu kawasan yang menjadi pusat perkembangan budaya Jawa yakni Surakarta. Ayah Waljinah bekerja di salah satu perusahaan pembuat batik di Laweyan, sedangkan Ibunya bekerja sebagai pedagang nasi. Bakat menyanyi Waljinah muncul sejak ia masih anak-anak karena faktor keluarga. Sang ibu sering menyanyikan tembang-tembang macapat pengantar tidur untuknya ketika kecil. Pembiasaan itulah yang membuat ia mengenal tembang-tembang Jawa. Ketika duduk di kelas empat SD, Waljinah berhasil meraih juara satu lomba nembang di Surakarta.

Pada awalnya, ketertarikan Waljinah dalam bidang tarik suara sempat  ditentang oleh Munadi, kakak Waljinah. Orang tuanya pun menentang ia terjun di dunia keroncong. Mereka menganggap bahwa penyanyi adalah profesi yang berkonotasi rendah. Lambat laun, Waljinah mulai mendapat restu untuk menyanyi keroncong. Kemampuan bernyanyinya makin terasah berkat bantuan sang kakak yang merupakan penyanyi keroncong. 

Oleh Munadi, Waljinah diajak untuk latihan bersama dengan beberapa kelompok orkes keroncong di kampung-kampung. Selain dari bimbingan sang kakak, Waljinah juga belajar melalui siaran radio RRI Solo dengan mendengarkan dua penyanyi idolanya, yaitu Maryati dan Suyekti. Cengkok Jawa yang sudah ia dapat dari kebiasaan menembang macapat sejak kecil makin dipoles setelah belajar dari salah satu vokalis karawitan ternama di RRI Solo, Nyi Podang. 

Tahun 1958 menjadi penanda awal perjalanan karir Waljinah. Pada masa tersebut, ia yang masih berusia 13 tahun merebut juara Festival Ratu Kembang Kacang yang diselenggarakan oleh RRI dan Perfini (Perusahaan Film Nasional Indonesia). Statusnya sebagai juara membuat Waljinah mendapat kesempatan untuk merilis album perdana sebagai penyanyi keroncong bersama dengan S. Bekti dan S. Harti, dibantu oleh grup orkes Keroncong Bintang yang dirilis oleh label rekaman Lokananta. Pada saat proses perekaman, Waljinah mendapat kesempatan untuk berkenalan dengan maestro keroncong Indonesia,Gesang Martohartono. Waljinah meminta Gesang untuk mengimbuhi gerong dalam nyanyian lagu Kembang Kacang yang ia lantunkan. Lagu tersebut kemudian diputar setiap hari melalui siaran RRI di beberapa kota.

Foto Album Ratu Kembang Kacang Tahun 1958

Sumber : Wikipedia

Prestasi tersebut menjadikan Waljinah terus meningkatkan kualitasnya dalam bermusik. Hasilnya, berbagai kejuaraan Bintang Radio untuk bidang seni keroncong berhasil diraih mulai dari tingkat Surakarta sampai dengan nasional di stasiun radio RRI. Waljinah memperoleh juara pertama Bintang Radio Tingkat Nasional untuk jenis keroncong. Presiden Soekarno bahkan menganugerahkan penghargaan sebagai Pengabdi Seni Nasional pada tahun 1965. Sejak saat itu, Waljinah akrab di kalangan penikmat musik dengan sebutan “Ratu Keroncong”. 

Baca Juga :   Buruh Perempuan dalam Industri Gula di Surakarta 1860-an hingga 1930

Presiden Soekarno memberikan penghargaan Bintang Radio pada Waljinah Tahun 1965

Sumber : digilib.uns.ac.id

Perlahan nama Waljinah mendapat banyak apresiasi dan perhatian dari masyarakat. Ia meraih kesuksesan setelah membawakan  lagu yang berjudul Walang Kekek. Lagu ini pertama kali muncul ketika Waljinah mengadakan pertunjukan di Surabaya dan Malang. Lagu Walang Kekek  termasuk lagu rakyat yang sangat populer dan dikenal sejak lama di kalangan rakyat Jawa Timur, terutama di daerah Surabaya dan sekitarnya. 

Tahun 1968 Waljinah mendapat tawaran rekaman untuk lagu Walang Kekek dari Studio Irama, Jakarta. Tidak disangka lagu ini berhasil terkenal di pasaran dan disukai banyak kalangan, sehingga membawa Waljinah ke puncak ketenaran. Berkat kesuksesan lagu tersebut, Ia lantas mendapat julukan “Waljinah Si Walang Kekek” dari para penggemar.

Melejitnya nama Waljinah saat itu juga dibarengi dengan semakin populernya musik keroncong langgam Jawa. Era tahun 1960-1970 dapat dikatakan sebagai masa emas dari industri musik keroncong. Hal itu ditandai dengan maraknya produksi rekaman lagu-lagu langgam Jawa dari studio musik, terutama Lokananta. Bersama Gesang, Waljinah menjadi bintang panggung yang sering kali tampil di berbagai acara musik. Ia bahkan pernah menggelar pertunjukan untuk promosi album keliling Jawa. Masyarakat memberikan sambutan yang meriah di setiap kota yang disinggahi Waljinah. 

Sosok Waljinah tak hanya tersohor lewat satu lagu saja. Berbagai lagu tercatat pernah dipopulerkan oleh wanita asli Surakarta ini sepanjang karir bermusik. Mulai dari Yen Ing Tawang Ana Lintang, Gethuk, hingga Jangkrik Genggong adalah deretan diskografi dari Waljinah. Ia sering membawakan lagu ciptaan Gesang, Andjar Any, dan Ismail Marzuki. Masyarakat penggemar keroncong juga pernah dihibur dengan duet Waljinah dengan musisi berjuluk Buaya Keroncong Dari Surabaya yaitu Mus Mulyadi pada era 1980-an.

Tidak hanya manggung di dalam negeri, Waljinah juga pernah mengadakan beberapa pertunjukan di negeri orang. Ia pernah membawakan tembang keroncong di Suriname, Singapura, Belanda, dan banyak negara lain. Selain untuk menyanyikan lagu-lagu berlanggam Jawa, kedatangan Waljinah ke negara-negara tersebut juga untuk melakukan misi kesenian demi memperkenalkan musik keroncong hingga kancah internasional. Waljinah juga mendapatkan sambutan yang luar biasa dari publik lokal setiap kali tampil di luar negeri. Ia mulai mendapat peran sebagai Duta Keroncong Indonesia yang mempromosikan lagu-lagu keroncong yang ia bawakan maupun oleh musisi lain.

Gaya Penampilan Khas Waljinah

Sumber : DPAD Yogyakarta

Kecintaannya pada keroncong membuat Waljinah turut mendirikan orkes keroncong bernama Bintang Surakarta. Orkes tersebut merupakan yang ternama di kota kelahiran Waljinah yaitu Surakarta dan pernah melakukan rekaman di dapur musik milik Lokananta. Grup orkes inilah yang mengiringi penampilan Waljinah dalam membawakan lagu-lagu keroncong di dalam maupun di luar negeri. Waljinah dan grup Bintang Surakarta juga pernah diminta oleh Golkar untuk membantu proses kampanye pada pemilu tahun 1971 dengan melakukan rekaman lagu Pohon Beringin di Surakarta. Lagu tersebut rupanya berhasil menaikkan elektabilitas suara Golkar hingga akhirnya keluar sebagai juara pemilu.

Waljinah dan keroncong sudah menjadi hal yang tak terpisahkan. Dedikasinya sangat tak perlu untuk diragukan. Beragam album sudah dirilis selama menggeluti seni tarik suara dan sukses laris di pasaran. Penghargaan dari dalam maupun luar negeri pernah direngkuh oleh putri daerah Surakarta ini. Sang Ratu Keroncong telah melintasi banyak zaman dan lagu-lagunya terus terngiang di telinga masyarakat hingga kini. 

Baca Juga :   Potret Lasem Dulu dan Masa Kini

Referensi

Adinda.(2014). Waldjinah dan Perkembangan Musik Keroncong Surakarta Tahun 1965-2013. Universitas Sebelas Maret.

Noryuliyanti, N., Isawati, I., & Abidin, N. F. (2021). Perkembangan Musik Keroncong Langgam di Solo (1950-1991). Diakronika, 21(2), 136-156.

Sari, D. R. (2015). Perkembangan musik keroncong di Surakarta tahun 1960-1990. Avatara, 3(2).

Share:

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on pinterest
Pinterest
Share on linkedin
LinkedIn

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Related Posts