Biografi Singkat Empat Imam Madzab 

Bernama lengkap Nu’man bin Tsabit bin Zutha dan lahir pada tahun 80-150H/ 699-767M. Ayahnya Tsabit berkebangsaan Persia. Abu Hanifah sendiri tergolong Atba’ut Tabi’in dan semasa dengan empat orang sahabat yaitu Annas ketika di Basrah, Abdullah bin Abi Aufa di Kufah, Sahal bin Sa’ad As-Sa’di di Madinah, Abu Thufail ‘Amir bin Wailah di Makkah. Akan tetapi apakah beliau pernah bertemu dengan mereka atau tidak Masih diperselisihkan. Menurut Ad-Dzahabi yang merujuk pada pendapat Al-Khatib dalam karanganya Tarikh Al-Baghdad mengatakan beliau pernah bertemu dengan sahabat Anas bin Malik, versi lain menyebut bahwa beliau pernah bertemu dengan beberapa sahabat

 
Oleh Afifulmi 

Abu Hanifah lahir di masa kekuasaan dinasti Umayyah dibawah kepemimpinan Abdul Malik bin Marwan. Abu Hanifah (699-767M/80-150H) sempat merasakan masa kepemimpinan Hajjaj At-Tsaqafi (661 M/ 40 H – 714 M/ 95 H), gubernur Irak yang dikenal sebagai sosok politisi yang kejam. Abu Hanifah tumbuh dewasa di masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz yang dikenal sebagai Khalifah yang adil dan mampu mengembalikan masa kejayaan dinasti Umayyah walaupun kemudian seiring berjalannya waktu mulai melemah. Sedangkan di penghujung usianya, beliau hidup di masa pemerintahan dinasti Abbasiyah dibawah kepemimpinan Khalifah Al-Mansur pada tahun 150H.

Abu Hanifah besar sebagai pebisnis kain di salah satu pasar kota Kufah. Akan tetapi hal ini tidak lantas membuat beliau menjauh dari dunia keilmuan. Di sela-sela waktu berjualan, beliau tidak pernah ketinggalan untuk hadir di majelis ilmu para ulama terkemuka hingga berhasil menjadi seorang imam dengan kredibilitas tinggi di bidang logika. Berkat banyaknya hasil ijtihad, dan qiyas yang dihasilkan, beliau sekaligus para pengikutnya kelak dikenal sebagai Ahli rayi (logika). 

Beliau berguru kepada Syekh Hammad bin Abi Sulaiman seorang ulama Fiqih terkemuka di Irak. Dari beliaulah mayoritas pemikiran sang imam terilhami. Beliau juga berguru kepada Ibrahim An-Nakho’i, salah satu guru dalam disiplin ilmu logika, serta banyak ulama lainya, seperti imam ‘Atho bin Abi Rabah, ‘Ikrimah maula (seorang budak yang telah dimerdekakan ) Sayyidina Abbas Ra.

       Semasa hidup beliau, Daulah Islamiyah tengah berada di masa keemasaan. Wilayah kekuasaan di bagian barat tersebar hampir seluruh samudera Atlantik. Sedangkan di bagian timur, kekuasaannya meliputi sampai ke Tiongkok (Cina), juga tidak sedikit beberapa kota di benua Eropa dengan menaklukkan kota Alexandria (Andalusia, Spanyol) yang dahulu daerah kekuasaannya meliputi Persia, Roma, Turki, India, dan Mesir. 

    Pada masa ini juga, ilmu pengetahuan berkembang begitu pesat. Banyak karya tulis mulai dibukukan secara sistematik dan banyak buku-buku non-Arab yang berhasil diterjemahkan. Secara tidak langsung, kondisi ini memengaruhi pola pikir umat Islam kala itu yang mengadopsi logika filsafat Yunani dan Persia.

      Abu Hanifah pernah mendapat hukuman cambuk dan diarak keliling pasar Madinah karena pro dengan Ibrahim bin Abdullah. Ibrahim Abdullah dianggap membelot dari pemerintahan dan menolak tawaran untuk diangkat sebagai Qadhi (hakim).

Malik bin Anas

Bernama lengkap Malik bin Anas bin Malik bin Amir Al-Asbahi dari suku Dzi Asbah dan lahir pada tahun 93-179 H. Buyutnya Amir datang ke kota Madinah pasca perang Badar usai, kemudian beliau berdomisili di sana sekaligus menjadi sahabat setia Rasulullah SAW yang turut andil dalam setiap peperangan islam selain Perang Badar. Namun para ulama belum menuai kesepakatan atas tahun dan tempat kelahirannya. Namun pendapat yang paling populer adalah  beliau lahir pada tahun 93 H, di kota Madinah. Tidak heran apabila beliau bisa dikatakan fanatik dengan kota kelahirannya itu. Terlalu fanatiknya terhadap kota kelahirannya membuat beliau menjadikan tradisi masyarakat Madinah sebagai referensi istinbathnya..

Beliau tumbuh di sosial sistem yang sangat positif. Keluarga beliau adalah pecinta ilmu. Lingkungan beliau adalah kota ilmu yang diliputi dengan keberkahan, juga kota destinasi para pencari ilmu. Sejak dini benih-benih keilmuan beliau sudah mulai tampak. Beliau gemar mengikuti halaqah keilmuan para ulama dan mulai menghafalkan Al-Quran, lalu Hadis.

Diriwayatkan bahwa suatu ketika beliau pernah bercerita; “Aku punya saudara laki-laki sepantaran bernama Ibnu Syihab, suatu ketika ayahku mengajukan pertanyaan kepada kami, dan jawaban saudaraku itu benar. Sedangkan jawabanku ternyata keliru sehingga ayahku berkata; ‘Apakah seekor merpati mengganggu proses belajarmu?’ Lantas akupun merasa panas (tersindir) mendengarnya, dan aku bertekad untuk mendatangi Abdurrahman bin Hurmuz dan kursus kepadanya selama tujuh tahun, sambil mengantongi kurma untuk diberikan kepada putra beliau.  Dan Aku berpesan kepada mereka ‘Ketika ada yang mencari beliau (ayahmu), bilang saja beliau sedang sibuk!’ Maka keesokan harinya beliau bertanya kepada budak wanitanya; ‘Di depan pintu ada siapa saja?’ Lantas dijawab ‘Hanya ada seorang laki-laki berambut pirang itu (Malik). ‘Ya sudah, biarkanlah dia disana!, karena kelak dia akan menjadi seorang ulama.'” 

Oleh karena itu, beliau cukup memengaruhi hukum yang dirumuskan oleh sang imam. Kemudian beliau berguru kepada Naf’i Maula (budak pemerdekaan) Ibn Umar, Ibnu Syihab AZ-Zuhri (Hadis), dan Rabi’ah bin Abdurrahman (Fiqih), Yahya bin Sa’id Al-Ansori dari suku Najjar yang menjabat sebagai Qadhi (Hakim) Madinah saat itu, dan lainya.

Banyak peristiwa penting yang terjadi di masa hidup beliau. Hampir semua sama dengan yang terjadi di masa Abu Hanifah. Hanya saja beliau lebih lama bahkan sampai purna era kekhalifahan Abbasiyah. Beliau lahir disaat Walid bin Abdul Malik Al-Umawi naik tahta kekhalifahan, dan wafat diera kepemimpinan Rasyid Al-Abbasi.

Baca Juga :   Perkembangan Pendidikan Islam Modern di Indonesia

Menurut riwayat ulama mutaakhirin, Imam Malik juga pernah mendapat siksaan dari pemerintahan pada tahun 146 H. Beliau dicambuk dengan cemeti, sampai tulang belikatnya patah (geser). Walaupun mengenai penyebabnya masih didebatkan. Satu versi yang paling unggul menyebut bahwa penyebabnya adalah karena beliau mengajarkan sebuah Hadis  tentang talak dari seorang yang dipaksa (intimidasi), tidak dianggap valid. Hal ini dikarenakan pemerintahan Abbasiyah membuat fatwa bahwa semua penduduk harus taat terhadap para aparatur negara. Bagi mereka yang membangkang, maka pemerintah akan menjatuhkan talak atas istrinya sebagai bentuk hukumannya.

Imam Syafi’i

Bernama lengkap Muhammad bin Idris bin Abbas bin Utsman bin Syafi bin Saib bin Abid bin Abdi Yazid bin Hasyim bin Abdil Muthalib bin Abdil Manaf. Lahir pada tahun 150-204 H, di kota Gaza, Palestina, tepat di tahun Imam Abu Hanifah meninggal. Nasabnya dari jalur ayah  bertemu dengan Rasulullah SAW di Sayyid Abdul Manaf.

Mengawali rihlah ilmiah dengan menuntut ilmu dari para fuqaha dan muHadisin di Mekah, lalu berdomisili di pelosok desa suku Hudzail selama 17 tahun. Dari mereka beliau mempelajari sastra Arab fushoha (fasih/baku), seperti yang diceritakan oleh imam Fakhrurrazi dalam manaqib as-Syafi’i; “Aku berangkat dari Mekah menuju desa suku Hudzail, dan menetap di sana untuk mempelajari bahasa, sastra, dan kebudayaan mereka, karena (Bahasa Arab) merekalah yang paling fasih, lalu aku kembali ke Mekah, dan mulai merangkai untaian syair tentang etika, dan kisah-kisah terdahulu.” Kemudian melalui rekomendasi dari seorang dari Bani Zubair yang ia temui, akhirnya beliau tertarik kepada Imam Malik yang tersohor sebagai pakar Fiqih sekaligus Hadis setelah membacakan kitab monumental karangannya Al-Muwatho di hadapannya. Beliau berguru kepada Imam Malik hingga wafat di tahun 179 H. Antusiasme belajarnya amat tinggi. Berkilo jarak yang harus ditempuh tidak sedikitpun mengendurkan semangatnya. Bahkan rutinitas mengunjungi sang ibunda tidak lantas jadi penghalang untuk turut hadir di majelis gurunya itu.

Di Baghdad, beliau berguru kepada Muhammad bin Hasan-yang merupakan salah satu tokoh madzab Hanifah untuk belajar Fiqih Iraqi (Fiqih yang dianut mayoritas penduduk Irak), Beliau membaca karangan gurunya sehingga beliau berhasil  mengkolaborasikan antara Fiqih penduduk Irak yang beraliran logika (Aqli), dan Fiqih penduduk Madinah yang beraliran Hadis (Naqli). Seperti komentar dari imam Ibnu Hajar; “Fiqih beraliran Naqli yang berkembang di Madinah (Hijaz) dipelopori oleh Malik bin Anas, maka ia (Syafi’i) berkelana kesana untuk mempelajarinya. Sementara di sisi lain Fiqih Aqli di Irak yang dipelopori oleh imam Hanifah juga berkembang pesat. Maka ia pun pergi kesana untuk mendalaminya, hingga jadilah beliau seperti itu (mengkolaborasikan antara Aqli dan Naqli). Beliau membuat rumusan Ushul, kaidah-kaidah Fiqih versinya. Atas inilah namanya kian masyhur dan keberadaannya dipertimbangkan.

Uniknya walaupun beliau cukup lama dengan Muhammad bin Hasan di Baghdad, beliau lebih suka dianggap sebagai bagian dari Ashabul Malik. Walaupun begitu, beliau juga tetap aktif mengkritik dan mengkritisi kedua madzab ini, mulai dari metodologi Istimbath yang mereka tempuh, sampai dengan dalil-dalil rujukan mereka. Bahkan Imam Syafi’i sendiri tidak sepakat dengan gurunya Muhammad bin Hasan dalam beberapa kasus seperti dalam masalah persaksian (Syahadah), dan sumpah (Yamin).

Imam Syafi’i lahir pada masa kepemimpinan dinasti Abbasiyah. Dirinya terlahir sebagai yatim dari keluarga yang fakir. Namin alih-alih sibuk mencari uang, Syafi’i kecil justru memiliki ambisi tinggi dalam menuntut ilmu. Sejak kecil beliau telah menampakkan prestasinya. Beliau berhasil menghafalkan Al-quran saat beliau berumur 7 tahun. Kemudian saat usianya 10 tahun, beliau telah menghafal Hadis Al-Muwatho karya Imam Malik sang pakar Fiqih dan Hadis yang kelak menjadi guru utamanya yang cukup berkontribusi dalam merumuskan hukum-hukum Fiqihnya.

Kematian Imam Malik sendiri bertepatan dengan kedatangan gubernur Yaman. Lantas beberapa penduduk Qarsyi berinisiatif mengusulkan agar menemui Imam Syafi’i untuk diangkat sebagai Qadhi di kota Najran. Dari sinilah kelebihan dan kecerdasan beliau mulai dikenal seantero kota. Di samping itu, beliau adalah cerminan hakim yang adil dan anti suap sehingga tidak ada seorang pun yang sanggup memengaruhi dan merubah keteguhan prinsipnya.

Tatkala pengaruh beliau semakin kuat di kota tersebut, gubernur Yaman tadi menjadi hasud kepada beliau. Ia mulai memprovokasi sang raja Harun Ar-Rasyid dengan melontarkan tuduhan bahwa Imam Syafi’i adalah bagian dari Alawiyyin (Keturunan Sayyidina Ali) yang berencana untuk mengkudeta kursi pemerintahan. Sedangkan sudah kita ketahui bahwa seiring perselisihan (tahkim) yang terjadi antara Sayyidina Ali dan Mu’awiyah bin Abi Sufyan (Umayyah), kaum Syiah yang pro-Ali sering berseberangan dan dianggap ancaman bagi pemerintahan, sehingga beliau dibawa ke hadapan sang raja bersama dengan sembilan orang Alawiyin lainya. Di sana mereka disiksa dan dipenjara. Namun karena kelihaian beliau dalam berargumentasi, akhirnya beliau pun bisa terbebas dari hukuman. Kejadian ini terjadi saat beliau berusia 34 tahun. Karena pengalaman inilah akhirnya beliau memutuskan untuk meninggalkan dunia pemerintahan dan fokus untuk berkhidmat dan mempelajari ilmu agama.

Di era beliau ini, banyak bermunculan pakar teologi (Ahli Kalam) yang ajarannya dianggap   bid’ah. Seperti komentar beliau di satu kesempatan; “Tidak dapat disangkal bahwa ahli kalam tidak lebih baik dari dosa syirik. Siapa yang memiliki ilmu kalam tidak akan beruntung dan hukuman untuk mereka adalah dicambuk. Itulah hukuman dari orang yang meninggalkan kitab dan sunnah lalu memilih ilmu kalam.”

Baca Juga :   Membaca Ulang Posisi MUI Pada Masa Orde Baru

Perlu diketahui bahwa yang ditolak keras oleh Imam Syafi’i dan para ulama salaf pada dasarnya bukan ilmu teolog itu sendiri, melainkan ilmu teologi yang telah terkontaminasi dengan pemikiran filsafat Yunani  karena menghasilkan kesimpulan yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadis. Sebagaimana dinukil oleh Imam Ibnu Asakir (571 H), berikut,  دخل حَفْص الْفَرد على الشَّافِعِي فَقَالَ لنَا لِأَن يلقِي اللَّه العَبْد بذنوب مثل جبال تهَامَة خير لَهُ من أَن يلقاه باعتقاد حرف مِمَّا عَلَيْهِ هَذَا الرجل وَأَصْحَابه وَكَانَ يَقُول بِخلق الْقُرْآن  

 “Hafs al-Fard datang menemui Imam Syafi’i, kemudian Imam berkata pada kami: ‘Seorang hamba yang menemui Allah dengan membawa dosa sebesar Gunung Tuhamah masih lebih baik daripada meyakini adanya huruf (bagi kalamullah) yang diyakini lelaki ini dan kawan-kawannya’. Hafsh al-Fard berpendapat bahwa al-Qur’an itu makhluk”

Imam Ahmad 

Lahir pada tahun 164 H bulan Rabi’ul Awal, di kota Baghdad dan magkat di bulan yang sama tahun 241 H. Beliau merupakan keturunan Arab murni. Ayahnya bernama Muhammad bin Hambal, kakeknya bernama Hambal bin Hilal, keluarga besarnya berada di Kota Basrah, Irak. Hanya saja kakeknya memilih untuk bermigrasi ke Khurasan, Persia. Pada masa  pemerintahan dinasti Umayyah kakek beliau diangkat sebagai walikota Sarakhs, Turkmenistan, lalu bergabung dengan aliansi pemerintahan Abbasiyah. Namun kakeknya tidak mendapat perlakuan yang layak, sehingga beliau memutuskan untuk membawa keluarganya pindah ke Baghdad, tempat Imam Ahmad bin Hambal dilahirkan.

Menurut pendapat yang lebih unggul, Ayahnya meninggal saat beliau masih kecil, sehingga dengan terpaksa sang ibunda lah yang menggantikan posisi sang ayah. Sang ibunda membiayai pendidikan Ahmad bin Hambal dari harta warisan peninggalan ayahnya yang berupa tanah di kota Baghdad. 

Baghdad sendiri kala itu merupakan pusat keilmuan. Ulama-ulama yang besar di sana  banyak madrasah-madrasah dengan berbagai disiplin ilmu sehingga beliau tumbuh menjadi seorang ulama mutafannin (multidisiplin ilmu). Sedari dulu keluarganya telah punya niatan agar imam Ahmad dibentuk sebagai pelayan agama. Sejak kecil beliau sudah mulai diperkenalkan dengan Al-Quran, dan ilmu agama lainya. Maka tidak heran jika di usianya yang masih belia, beliau sudah hafal Al-Quran dan mengungguli mayoritas teman sebayanya. Beliau juga dikenal sebagai pribadi yang ramah, lembut, belas kasih, agamais, dan sopan. Saat beliau mulai memasuki usia remaja, di depan rumahnya dibangun dua madrasah baru. Pertama adalah Madrasah Fiqih dan kedua madrasah Hadis. Maka mulailah beliau belajar ilmu Fiqih ahli Rayi (Aqli) dari seorang ulama madzhab Hanifah yang bernama Qadhi Abu Yusuf. Kemudian dilanjutkan dengan Fiqih ahli Hadis (Naqli), baru setelah itu beliau belajar ilmu Hadis. Dinukil dari kitab Tarikh Ad-Dzahabi, Imam Al-Khollal pernah berkata “(Sebenarnya) Imam Ahmad bin Hambal itu memiliki banyak tulisan tentang fiqh ahli Ra’yi, tetapi lantas ia biarkan begitu saja”.

Beliau belajar ilmu Hadis kepada para imam tersohor dari berbagai penjuru kota mulai dari Baghdad, Kufah, Syam, Yaman, Mekah, dan Madinah. Hal ini bisa dilihat dari runtutan sanad Hadis yang diriwayatkan. Perjalanannya dimulai sejak tahun 186 H. Di Baghdad selama kurang lebih 20 tahun beliau bertemu dan belajar kepada banyak ulama Hadis, seperti Hasyim bin Basyir atau juga dikenal sebagai Abu Khazim Al-Wasathi (w.183) selama kurang lebih empat tahun. Dari Abi Khazim beliau mendapat sekitar 1000 Hadis tentang Haji, kitab tentang pengadilan (Qadha), ilmu tafsir, dan beberapa kitab kecil lainnya. Pasca wafatnya Abi Khazim beliau berguru lagi kepada beberapa ulama Hadis lain di Baghdad, lalu pulang-pergi ke Basrah sebanyak lima kali, kemudian ke Hijaz juga sebanyak lima kali. Di sanalah beliau bertemu dengan gurunya Imam Syafi’i di tahun 187 H.

Beliau dilahirkan pada saat pemerintahan Abbasiyah pulih setelah sebelumnya banyak mendapat serangan dari pihak luar seperti kaum Khawarij dan Alawiyyin. Di era ini mulai banyak bermunculan fitnah agama entah itu zindiq yang getol melakukan pembaharuan hukum islam dan mengkampanyekan hukum ala Persia. Kaum Mu’tazilahlah yang pertama kali terdoktrin oleh pemikiran mereka. Padahal saat itu paham Ahlus Sunnah yang merujuk pada imam Asy’ari di bidang teologi merupakan paham mayoritas fuqaha, dan muHadditsin yang cenderung skriptualis pada nash Al-Quran dan Hadis serta mengesampingkan nalar. Hal ini sangat kontras dengan kaum Mu’tazilah yang filosofis. Sayangnya Harun Ar-Rasyid yang saat itu tengah menjabat sebagai Khalifah dan para aparatur negara lainya telah termakan oleh doktrin mereka sehingga mereka berambisi agar para ulama bersedia menerima pendapat yang ditawarkan oleh kaum Mu’tazilah, antara lain tentang ke-makhlukan Al-Quran.

Di era ini juga sering terjadi gesekan internal antar sesama fuqaha  antar mutakallimin, fuqaha dan mutakallimin (teolog), kubu Mu’tazilah dan Asy’ariah,  Asy’ariah dengan sekte Jahmiyah dan Murji’ah, serta perselisihan antar kelompok Islam. Kondisi ini pun membuat beliau sendiri pun sempat ikut terlibat dalam perdebatan ini, sebelum akhirnya memutuskan untuk meninggalkanya dan memilih fokus mendalami ilmu Hadis, Fatwa para sahabat, dan ulama-ulama besar pendahulunya.

Referensi

At-Tasyri’ al-Islami, T. (1990). Manna’ Al-Qathan. Muassasah ar-Risalah. 

https://www.nu.or.id/

Share:

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on pinterest
Pinterest
Share on linkedin
LinkedIn

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Related Posts