Dinamika Para Pekerja Perkebunan Tembakau Deli Akhir Abad 19

Menjelang akhir abad ke-19, industri perkebunan mulai diperluas dan dikembangkan di luar pulau Jawa, khususnya pulau Sumatera. Perluasan industri perkebunan itu nampaknya sejalan dengan proses ekspansi kekuasaan kolonial Belanda di wilayah Nusantara dalam rangka menerapkan kebijakan politik “Pax Nederlandica” yang menginginkan seluruh wilayah kepulauan Indonesia berada di dalam kekuasaan Belanda. Pada akhir abad ke-19, Sumatera Timur telah menjadi lokasi usaha paling intensif dan paling berhasil menarik perkebunan asing di dunia ketiga (Stoler, 2005). Sebelumnya, nama Sumatera Timur diketahui sebagai sebuah karesidenan di Hindia-Belanda yang pada awal abad ke-19

Oleh Frido Paulus Simbolon

Wilayah perkebunan di Sumatera Timur, mengalami perkembangan yang pesat. Selain tanahnya yang cocok untuk ditanami, tanaman seperti tembakau, karet, teh, kopi, dan kelapa sawit memiliki prospek yang sangat menguntungkan dalam pasar dunia. Tidak mengherankan jika pemerintah kolonial Belanda begitu antusias dalam mendukung para pengusaha swasta untuk membuka perkebunan dan menanamkan modalnya di daerah Sumatera Timur. Walaupun memang usaha-usaha perkebunan juga sebelumnya sudah berkembang di daerah-daerah lain seperti Kalimantan, Sulawesi, dan Sumatera Selatan. Namun kegiatan utama dari perkebunan di luar Jawa adalah daerah Sumatera Timur.

Perkembangan pesat ekonomi Sumatera Timur tidak lepas dari momentum populernya tembakau Deli di pasar tembakau Eropa sebagai pembungkus cerutu terbaik di dunia. Dengan hadirnya perusahaan-perusahaan di bidang perkebunan membuat mereka harus memiliki tenaga kerja atau buruh yang lebih besar untuk melaksanakan kegiatan industri perkebunan tersebut. Untuk mengatasi permasalahan sulitnya mendapatkan tenaga kerja, pemerintah kolonial Belanda mencari alternatif dengan mendatangkan kuli atau pekerja dari luar Sumatera dan luar negeri (Iqbal, 2011). Berbagai macam Proses perekrutan pun dilakukan, mulai dari menjalin kerjasama dengan para penyedia jasa, hingga membuat program kontrak kepada masyarakat luar Pulau Sumatera seperti Jawa, hingga luar negeri seperti dari Tiongkok.

Kepemilikan dan Penguasaan Tanah di Sumatera Timur Abad 19

Dalam administrasi era kolonial, Sumatera Timur merupakan sebuah keresidenan yang terdiri dari empat afdeeling, yakni Langkat, Deli dan Serdang, Asahan, Simalungun dan Karo yang masing-masing dipimpin oleh Asisten Residen. Wilayah afdeeling terbagi lagi ke dalam onder-afdeeling yang masing-masing dikepalai oleh seorang kontrolir. Wilayah onder-afdeeling dibagi lagi atas distrik-distrik di bawah kuasa ajudan distrik. Wilayah pemerintahan terendah disebut dengan onder-distrik atau negeri yang diperintah oleh kepala negeri. Mulai dari daerah distrik hingga yang di bawahnya. Pemerintah Belanda menempatkan tenaga-tenaga pribumi sebagai kepala pemerintahan atau dikenal sebagai Inlandse Bestuur Ambtenaren (pegawai pemerintah pribumi). Sementara untuk jabatan kontrolir ke atas dipegang oleh orang-orang Belanda atau Europese Bestuur Ambtenaren (pegawai pemerintah Eropa). Sebelumnya, ibukota Keresidenan Sumatera Timur berada di Bengkalis, namun pada 1887 ibukota dipindahkan ke Medan terkait dengan perkembangan perkebunan yang berada di Sumatera Timur.

Pada abad ke-19, Sumatra Timur sendiri berlaku dua macam sistem kepemilikan tanah. Yang pertama adalah sistem vorstdomein. Menurut sistem ini raja selaku kepala negara dianggap sebagai pemilik dari semua tanah dan menyerahkan kepada para kawulanya untuk digarap. Rakyat yang menggarap tanah tersebut wajib memberikan kepada raja sebagian besar hasilnya sebagai upeti, sedangkan sisanya mereka pergunakan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka masing-masing. Dalam hal ini raja atau sultan mempunyai hak untuk membagi-bagikan hak garap dan hak pakainya, namun tetap menguasai hak milik sepenuhnya atas tanah.  

Pada sisi lain, berlaku juga prinsip volksdomein. Menurut prinsip ini tanah merupakan hak milik dari individu yang membuka dan menggarapnya secara rutin. Selama dia menghuni dan mengerjakan tanah tersebut, maka dia masih memegang kepemilikannya yang diakui secara komunal oleh masyarakatnya. Perkembangan lebih lanjut menjadikan tanah-tanah semacam ini sebagai tanah bersama (tanah komunal) dan diakui sebagai tanah adat dengan hak ulayat yang berlaku. Penggunaan tanah tersebut disahkan selama kepentingan adat menuntutnya dan tidak ada pelanggaran atas aturan adat.

Sebelum pengusaha-pengusaha Barat datang untuk membuka lahan perkebunan, tanah vulkanik di sekitar Sumatera Timur yang subur telah dimanfaatkan oleh masyarakat di daerah sekitarnya, yaitu Batak Karo dan Melayu untuk menanam padi, cabai, dan tembakau secara berselang-seling. Petani-petani ladang telah melakukan pembukaan dan pembakaran hutan pada musim kering yang akan digunakan menanam umbi-umbian, sayur-mayur, tebu, dan pisang.

Munculnya perkebunan tembakau Deli di Sumatera Timur ini tentunya tidak terlepas dari kedatangan Jacobus Nienhuys, seorang pengusaha onderneming Belanda yang masih muda, telah diberi kuasa oleh perusahaan dagang Pieter van den Arend & Consortium, sebuah asosiasi yang dibentuk kurang dari seminggu sebelumnya oleh empat pedagang Rotterdam yang berminat memperoleh perkebunan tembakau di Jawa yang tiba di Deli pada tanggal 6 Juli 1863. Kedatangan para pengusaha onderneming tidak terlepas dari perannya Said Abdullah Ibnu Umar Bilsagih yang ketika itu berada di Surabaya. Ia menceritakan kepada Jacobus Nienhuys bahwa di wilayah Sumatera Timur dapat ditanam tembakau bermutu tinggi dalam jumlah yang besar. Karena itulah Jacobus Nienhuys beserta wakil-wakil perusahaan dagang lainnya datang ke Deli dan membuka perkebunan tembakau di Deli.

Dengan bantuan Said Abdullah yang mendapatkan kepercayaan dari Sultan Deli, Nienhujs berhasil mendapatkan konsesi tanah untuk membuka perkebunan tembakau di tanah Deli. Daerah konsesi untuk penanaman tembakau yang pertama letaknya di tepi Sungai Deli dengan luas 4.000 bau. Perjanjian konsesi diberikan selama 20 tahun. Selama 5 tahun pertama dia dibebaskan dari pembayaran pajak dan sesudah itu baru membayar 200 gulden setahun. Para pengusaha perkebunan besar hanya mengakui raja sebagai kepala negara atau penguasa tanah semuanya. Oleh karena itu negosiasi dan kontrak dibuat dengan Sultan yang akan menyerahkan lahan wewenangnya untuk dieksploitasi. Mengingat di wilayah Kesultanan Melayu berlaku juga prinsip vorstdomein maka kontrak sewa yang dibuat oleh sultan dengan para pengusaha perkebunan dianggap sah. Pengusaha perkebunan juga berhak melakukan pengusiran terhadap penduduk yang menggarap dan menghuni tanah-tanah yang ditunjuk oleh sultan untuk disewakan. Sebagai gantinya mereka menggunakan lahan tersebut untuk kepentingan pemukiman kolonisasi kuli kontrak yang didatangkannya dari Jawa sebagai tenaga kerja perkebunan.

Baca Juga :   Menelisik Peninggalan Zaman Purba di Rumah Fosil Banjarejo Grobogan
Sumber: Tropen Museum

Meningkatnya jumlah perusahaan perkebunan di wilayah Deli maupun Serdang, secara langsung membuat campur tangan pemerintah Hindia Belanda dikedua wilayah tersebut semakin kuat. Keberhasilan dalam menarik asing untuk menanamkan modal untuk pengembangan perkebunan tembakau, tidak hanya disebabkan oleh keuntungan yang besar, namun juga disebabkan karena kemudahan yang diberikan oleh Sultan untuk memperoleh hak konsesi tanah. Pengusaha-pengusaha asing diberikan konsesi tanah yang mudah dan murah oleh Sultan, bahkan Sultan tanpa izin rakyat telah mengkonsensikan tanah rakyatnya. Beberapa konsesi tanah berlaku untuk 99 tahun, yang lain untuk 70 atau 75 tahun. Pada kontrak-kontrak pertama Sultan memberikan bebas sewa terhadap konsesi-konsesi tanah, karena Sultan menganggap bea ekspor dan impor lebih menguntungkan dan mengutip pajak tahunan per buruh yang dipekerjakan oleh pihak perkebunan.

Perkembangan yang didukung dan disertai dengan penegakan kekuasaan kolonial Belanda di Sumatra Timur ini semakin dipicu oleh keluarnya Agrarische Wet tahun 1870 yang mengatur tentang kepemilikan tanah. Meskipun pada mulanya ditujukan bagi Jawa dan Madura, namun kemudian Undang-Undang ini diterapkan juga dengan peraturan lokal di Sumatera Timur. Kemudahan diperoleh setelah adanya kejelasan tentang status kepemilikan tanah oleh penduduk yang memperlancar persewaan lahan.

Tenaga Kerja di Perkebunan Tembakau Deli

Sejak hadirnya Politik Etis atau politik pintu terbuka, Pemerintah Kolonial Belanda menerapkan kebijakan paket liberal, wujud dari paket liberal berupa dilakukannya pembukaan lahan perkebunan, pendirian pabrik, pembangunan infrastruktur, serta mengundang para investor asing untuk menanamkan modalnya di Nusantara. Kebijakan tersebut berdampak pada eksodus tenaga kerja untuk bekerja pada proyek-proyek pertanian, perkebunan dan infrastruktur.

Pemerintah dan pengusaha membuat sebuah sistem yang namanya adalah kuli kontrak. Sistem perekrutan buruh pada masa kolonial Belanda melalui agen-agen pencarian kuli kontrak, dan para agen ini disebut dengan werek. Alternatif lain dari tuan tanah adalah melalui mendatangkan buruh yang berasal dari Jawa, karena di Jawa sendiri semakin meningkatnya pertumbuhan penduduk mengakibatkan penduduk Jawa bersedia untuk menjadi buruh atau pekerja di Perkebunan Deli.

Dalam mencari pekerja, para werek tersebut melakukan berbagai upaya, dengan cara tipuan ataupun membujuk calon pekerja yang diincarnya. Sebagai contoh, para calon pekerja diajak oleh werek pergi menonton wayang, kemudian mereka disandera dan dikirim ke Sumatra Timur. Para werek rela melakukan berbagi upaya yang buruk seperti penyandraan karena dorongan bayaran yang tinggi. Para werek menerima bayaran sebesar 266 hari gaji para pekerja di Jawa. Para pekerja saat itu menerima gaji sebesar 30 sen gulden sehari.

Sumber: KITLV

Meskipun demikian, usaha mendatangkan pekerja melalui jasa dinilai membutuhkan biaya yang mahal oleh pemerintah Kolonial Belanda. Akibat kesulitan tersebut para pengusaha di Deli memiliki alternatif untuk mencari pekerja langsung ke negeri Cina. Sejak tahun 1879 para pengusaha kebun di Sumatra Timur telah bergabung dengan perkumpulan pengusaha-pengusaha perkebunan Deli (DPV atau Deli Planters Vereniging). Tujuan dibentuknya perkumpulan para pengusaha perkebunan untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi oleh para pengusaha, salah satunya tenaga kerja.

Pekerja perkebunan industri perkebunan yang didatangkan dari luar Sumatera Timur bekerja dengan sistem kontrak. Sistem kerja kontrak merupakan “suatu sistem dimana pihak majikan membayar biaya pengangkutan pekerja-pekerja dari tempat asal mereka ke tempat pekerjaan, sedangkan para pekerja mengikat diri bekerja untuk masa beberapa tahun dengan upah tertentu”. Melihat mahalnya biaya yang harus dikeluarkan oleh para pengusaha untuk mendatangkan para pekerja ke Sumatra Timur membuat organisasi perkebunan mengeluarkan kebijakan jika calon-calon pekerja diwajibkan untuk menandatangani kontrak kerja terlebih dahulu sebelum resmi dipekerjakan di perkebunan, hal ini dilakukan untuk menjamin rasa aman para pekerja dapat bekerja sesuai waktu yang telah ditentukan.

Pada tahun 1888, pemerintah Belanda mengeluarkan peraturan. Dalam peraturan tersebut yang mana termuat mengenai persyaratan hubungan antara kerja kuli kontrak di Sumatra Timur yang dikenal dengan koeli ordonnantie. koeli ordonantie merupakan bentuk aturan yang menyangkut hubungan majikan dengan kuli kontrak. Implemetasi dari aturan tersebut mengikat di antara kedua belah pihak. Pada sisi majikan, memberikan jaminan-jaminan tertentu apabila pekerja melarikan diri sebelum kontraknya habis. Sementara pada sisi kuli (pekerja) melindunginya dari tindakan sewenang wenang majikan. Dalam prakteknya aturan ini lebih memihak pada majikan. Para pekerja tetap yang paling banyak menerima hukuman.

Penerapan koeli ordonatie diikuti dengan ancaman hukuman yang diarahkan kepada para pekerja yang melanggar ketentuan kontrak kerja lebih dikenal istilah poenalie sanctie. Bagi para pekerja yang melarikan diri akan dicari oleh polisi. Nama-nama para pekerja juga dicantumkan dalam pamflet untuk disebarkan dan mereka masuk sebagai daftar pencarian orang. Para pekerja yang berhasil ditangkap mereka akan dikembalikan di tempat kerjanya. Pekerja yang berani melakukan perlawanan akan diberi kekerasan oleh polisi. Hukuman lain yang biasa diterima berupa perpanjangan masa kerja tetapi mereka tidak diberi upah. 

Penerapan sanksi hukuman tersebut pada awalnya hanya di Sumatra Timur. Perkembangan berikutnya adalah aturan tersebut di terapkan untuk semua perkebunan yang terletak di luar pulau Jawa. Pemberian sanksi hukuman sangat memperkuat kedudukan para pengusaha perkebunan. Keberadaan para pengusaha tidak ada yang mengawasi, membuat keadaan para pekerja menjadi sangat menyedihkan. Untuk menahan para pekerja selain pemberlakuan poenalie sanctie, para majikan memberikan kesempatan kepada pekerja-pekerja tersebut untuk bermain judi saat menerima gaji. Para pekerja yang kalah dalam judi mereka akan terjerat dalam hutang yang besar. Guna melunasi hutangnya para pekerja harus bekerja untuk mendapatkan uang. Konsekuensinya bagi para pekerja harus menandatangani kontrak baru dengan para pengusaha.

Semakin luasnya Ekspansi perkebunan kerap menimbulkan konflik-konflik perkebunan yang menyebabkan bangsal-bangsal perkebunan dan rumah-rumah milik Belanda dibakar oleh pejuang rakyat Sunggal sehingga produksi tembakau terhenti. Konflik ini dikenal dengan peristiwa Perang Sunggal. Timbulnya perang ini disebabkan karena para datuk-datuk tidak merasa senang mengenai cara Sultan membagikan tanah kepada pihak Belanda tanpa menghiraukan datuk-datuk kepala Urung. Selain itu, keuntungan juga tidak dibagikan kepada rakyat.

Baca Juga :   Organisasi Para Pemuda Sunda Bernama Sekar Rukun

Pada tahun 1876 terjadi penyerangan yang dilakukan oleh kuli-kuli perkebunan maupun rakyat yang masih berjuang pada pemberontakan peristiwa Perang Sunggal. Pada awal tahun 1877 konflik-konflik di wilayah Afdeeling Deli semakin ricuh terutama di perkebunan. Berdasarkan hal tersebut, Belanda menambah kekuatan polisi dan militer untuk melawan pejuang-pejuang Sunggal. Para kontrolir diberi kewenangan untuk menangani peradilan yang dinamakan “residentiegerecht” atas perintah Residen dan Asisten Residen Deli.

Kuli kontrak yang dianggap sebagai pendatang diperlakukan secara tidak layak. Peraturan tentang perekrutan, perumahan, dan bentuk-bentuk upah yang tidak layak dilaksanakan dengan cara kekerasan dan harus dipatuhi oleh para kuli kontrak itu. Perbedaan perlakuan antara kulit putih, para staf, dan mandor dengan pekerja terlihat sangat menyolok. Kekerasan yang dilakukan merambah ke bentuk-bentuk sosial lainnya seperti maraknya pemerkosaan, prostitusi, ikatan perkawinan yang rapuh serta beberapa perusahaan perkebunan dan pemerintah kolonial memaksa kontrol dan otoritas mereka atas kehidupan intim laki-laki dan perempuan.

Kebijakan-kebijakan yang dilakukan oleh pihak Belanda, tentunya mengakibatkan sebagian masayarakat merasa keberatan terhadap sistem dan tata cara yang dilakukan oleh pemerintah kolonial. Hal ini berdampak dengan munculnya gerakan-gerakan yang dilakukan oleh para masyarakat khususnya kaum pekerja atau kuli.

Kesimpulan.

Dengan dibukanya perkebunan tembakau Deli di Sumatera Timur sudah telah membuat beberapa perubahan, baik dalam penyewaan tanah maupun dalam hal ketenagakerjaan. Pada paruh kedua abad ke-19, Sumatera Timur merupakan wilayah yang penting dalam perkembangan perekonomian Hindia Belanda di pulau Sumatera. Dalam waktu kurang dari satu abad Sumatera Timur yang sebelumnya hutan belantara telah menjelma menjadi wilayah menjadi wilayah perkebunan yang makmur. Dalam perkembangan ekonomi perkebunan, Sumatera Timur mengalami eksploitasi secara besar-besaran. 

Eksploitasi tersebut diantaranya adalah pembukaan lahan-lahan hutan, penanaman tanaman komoditas, mengalirnya investasi swasta dalam jumlah besar, serta masuknya tenaga kerja dari luar wilayah ini semakin mendukung eksploitasi terhadap wilayah ini sehingga mengalami perkembangan yang sangat pesat. Keberhasilan budidaya perkebunan tembakau telah menarik para investor asing untuk menanamkan modalnya dengan membuka perusahaan-perusahaan perkebunan di Sumatera Timur. Kualitas tembakau yang amat baik membuat para investor tersebut tidak ragu untuk mengalirkan dana mereka ke wilayah ini. Hal ini menyebabkan arus investasi di bidang perkebunan mengalir dengan sangat deras ke wilayah perkebunan. Dari situ mulailah era kapitalisasi ekonomi di Sumatera Timur dengan banyaknya perusahaan-perusahaan perkebunan asing.

Kapitalisasi ekonomi perkebunan di Sumatera Timur membawa beberapa dampak yang signifikan bagi perkembangan ekonomi di Sumatera Utara. Di antaranya adalah: Pertama, ekonomi perkebunan membawa perubahan gaya hidup di kalangan sultan dan bangsawan Melayu di Sumatera Timur. Kekayaan ini mereka dapatkan dari hasil konsesi lahan perkebunan yang disewakan kepada para pengusaha asing.

Kedua, terjadinya jurang sosial akibat dari perkembangan ekonomi yang terjadi. Di satu sisi kalangan elite mengalami peningkatan kekayaan yang masif, sementara kalangan rakyat kecil yang didominasi oleh buruh perkebunan tidak mengalami peningkatan kekayaan yang berarti.

Medan merupakan contoh paling nyata dari kemunculan kota-kota akibat perkebunan. Sebagai penutup, pada akhirnya kehadiran bangsa Belanda sebagai yang kemudian diikuti oleh pihak pengusaha swasta dari daratan Eropa dan Amerika yang mengembangkan usaha perkebunan, pertambangan, dan industri lainnya hingga dekade 1940-an di Sumatera Timur sama sekali tidak berdampak positif terhadap kesejahteraan bagi masyarakat pribumi kebanyakan. Kuasa ekonomi yang mereka miliki hanya bertujuan untuk menciptakan aktivitas ekonomi yang semata-mata hanya untuk memperkaya diri sendiri.

Daftar Pustaka

Ann Laura Stoler. (2005). Kapitalisme dan Konfrontasi di Sabuk Perkebunan Sumatera, 1870-1979. Jakarta: Karsa.

Anthony Reid. (2010). Sumatera Tempo Doeloe: Dari Marco Polo sampai Tan Malaka. Jakarta: Komunitas Bambu.

Daliman, A. (2012). Sejarah Indonesia Abad IX sampai Awal Abad XX. Yogyakarta: Ombak.

Gaetano Mosca. (1939). The Ruling Class. New York: McGraw Hill Book Company. 

Ismain, K. (1999). Marginalisasi Golongan Bumiputra Dalam Kemunculan Fenomena Golongan Menengah Timur Asing Di Indonesia Sejak Abad 17. Malang, Indonesia.

Iqbal, S. (2011). Pekerja dan Politik. Jurnal Sosial Demokrasi, 10(4) Januari-Maret.

Karl J. Pelzer. (1985). Tuan Keboen dan Petani Politik Kolonial dan Perjuangan Agraria. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Mr. B. Ter Haar. (1958). Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, terjemahan K. Ng. Soebakti Poeponoto. Jakarta: Prajnya Paramita. 

Sairin, S. (1993). Kebijaksanaan Perburuhan di Perkebunan Sumatra Timur pada masa Kolonial. Simposium Internasional Ilmu-Ilmu Humaniora II Yang Diselenggarakan Oleh Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada 26-27 April 1993. Yogyakarta.

Thee Kian Wie. (1977). Plantation Agriculture and Export Growth an Economic History of East Sumatra 1863-1942. Jakarta: National of Institute of Economic and Social Research LEKNAS – LIPI.

Tim Nasional Penulisan Sejarah, I. (2010a). Sejarah Nasional Indonesia IV (Kemunculan Penjajahan di Indonesia) (Soedjono&R.Leirissa, Eds.). Jakarta: Balai Pustaka.

Tim Pengumpulan, Penelitian Data dan Penulisan Sejarah Pemerintahan Departemen Dalam Negeri Propinsi Daerah Tingkat I Sumatera Utara, (1991). Sejarah Perkembangan Pemerintahan Departemen Dalam Negeri di Propinsi Daerah Tingkat I Sumatera Utara ( Masa Pemerintahan Pendudukan Kolonial dan Jepang ), Medan: Tanpa Penerbit.

T. Keizerina Devi Azwar, Poenale Sanctie. (2004). Studi Tentang Globalisasi Ekonomi dan Perubahan Hukum di Sumatera Timur (1870-1950).  Medan: Program Pasca Sarjana USU. 

Usman Pelly, Rata. R, dan Soenyata Kartadarmadja. (1984). Sejarah Sosial Daerah Sumatra Utara Kotamadya Medan. Jakarta: Depdikbud. 

W.H.M Schadee. 1919. Geschiedenis van Sumatra’s Oostkust Deel II. Amsterdam:Oostkust Van Sumatra-Instituut.

Share:

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on pinterest
Pinterest
Share on linkedin
LinkedIn

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Related Posts