Kisah Kolonel Irfan, Perwira Bernasib sama dengan Ferdy Sambo

Sebelum Ferdy Sambo, ada perwira Angkatan Laut yang dihukum mati atas kasus pembunuhan  berencana. Dia adalah Kolonel (Laut) M Irfan Djumroni  yang dijatuhi hukuman mati atas kasus pembunuhan terhadap istrinya.

Oleh Yakhin Maufa

Pada senin 13 Februari 2021, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menjatuhi hukuman mati terhadap mantan Kadiv Propam Polri, Irjen Pol Ferdy Sambo. Ferdy Sambo dijatuhi hukuman mati setelah terbukti menjadi dalang pembunuhan berencana terhadap ajudannya, Brigadir Polisi Nofriansyah Joshua Hutabarat pada tanggal 8 Juni 2022. Putusan hakim ini menjadi jawaban kepada publik yang telah lama dibuat heboh dengan kasus ini.

Ferdy Sambo dinyatakan bersalah setelah melanggar Pasal 340 KUHP juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP mengenai pembunuhan berencana dan Pasal 49 juncto Pasal 33 Undang-Undang nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Salah satu poin yang memberatkan vonis Ferdy sambo adalah tindakannya yang mencoreng institusi Polri di mata Indonesia maupun dunia. Vonis hukuman mati terhadap Ferdy Sambo ini menambah satu daftar perwira angkatan bersenjata yang mendapat hukuman mati atas kasus pembunuhan berencana yang mencoreng nama institusi atau kesatuan.

Sebelumnya ada perwira angkatan laut yang dihukum mati atas kasus pembunuhan  berencana. Perwira angkatan bersenjata ini bukanlah perwira tinggi di lingkungan TNI namun kasus pembunuhan berencana yang dilakukannya sangat mencoreng nama TNI. Dia adalah Kolonel (Laut) M Irfan Djumroni  yang dijatuhi hukuman mati oleh Pengadilan Militer Tinggi (Dilmilti) III-Surabaya atas kasus pembunuhan terhadap istrinya, Ny. Eka Suhartini dan seorang hakim Pengadilan Agama Sidoarjo bernama Ahmad Taufiq, S.H. 

Pembunuhan keji yang dilakukan oleh Kolonel Irfan terjadi pada tanggal 21 September 2005 ketika sidang putusan gono gini di Pengadilan Negeri Sidoarjo. Sebelumnya, diketahui bahwa rumah tangga Kolonel Irfan dan istrinya yang telah dibina selama 20 tahun diterpa prahara yang berakhir pada sidang perceraian. Menurut berita yang dikeluarkan harian Tempo edisi 22/09/2005, sidang pembagian gono gini tersebut dimenangkan oleh Eka dengan putusan bagi dua harta berupa rumah seluas 390 meter persegi beserta isinya senilai 1 miliar Rupiah serta mobil Toyota Kijang, Honda Accord, dan Suzuki Escudo yang ditaksir bernilai 240 juta Rupiah.

Selepas hakim membacakan putusan sidang sekitar pukul 15:00, terdakwa keluar mengambil sangkur dan langsung menghampiri istri serta menikamnya sebanyak tiga tikaman. Isterinya langsung jatuh bersimbah darah dan meregang nyawa di tempat. Selain isterinya, Kolonel Irfan juga menghabisi hakim ketua Ahmad Taufiq yang pada saat kejadian ingin menolong korban. Hakim Ahmad Taufiq yang berjalan ke arah korban lantas ditendang di bagian kaki dan terjatuh. Tiga tikaman sangkur langsung dihujani di bagian belakang sang hakim hingga menembus rongga dada yang berujung kematian.

Dilansir dari Antara News edisi 2 Maret 2006, Sidang putusan yang dipimpin ketua Majelis Hakim Dilmilti III-Surabaya Kolonel (CHK) Burhan Dahlan menghasilkan putusan hukuman mati dan pemecatan dari kesatuan terhadap Kolonel Irfan. Terdakwa terbukti melakukan pembunuhan yang disengaja dan terencana pada saat sidang putusan gono gini di Pengadilan Agama Sidoarjo.

Selain dikarenakan pembunuhan berencana yang dilakukannya, sikap Kolonel Irfan  pada saat sidang menjadi alasan hakim memberikan vonis hukuman mati. Menurut majelis hakim, terdakwa berbelit-belit dalam persidangan dengan menyangkal apabila tindakan pembunuhan tersebut dilakukannya dalam keadaan tidak sadar. Dilansir Detik News 22/09/2005, perwira yang berpangkat Kolonel tersebut sempat menjalani tes  psiakiatrik di RS AL Dr. Ranmelan Surabaya. Namun hasil tes tersebut membuktikan tidak adanya masalah kejiwaan sehingga majelis hakim tetap memberikannya vonis hukuman mati. 

Baca Juga :   Kerajaan Mataram Islam, Awal Berdiri Kejayaan, Hingga Keruntuhan

Saat ini, Kolonel (Laut) M Irfan Djumroni sedang menunggu eksekusi mati yang akan dilaksanakan. Hukuman mati Kolonel Irfan dan Ferdy Sambo menunjukkan bahwa tidak ada hukuman ringan bagi tindakan mencoreng nama baik oleh pemangku jabatan. Sebesar apapun jasa seorang “berpangkat” bagi sebuah institusi maupun kesatuan, menjaga nama baik dengan menegakan keadilan adalah hal terutama dan terpenting. Tidak ada yang dapat membenarkan bahkan meringankan tindakan mencoreng nama baik institusi. Selain menegakkan keadilan, menjaga kepercayaan masyarakat terhadap sebuah institusi adalah alasan utamanya. Seperti yang dikatakan Slamet Riyadi dalam buku Julius Pour buku Ign Slamet Rijadi, dari Mengusir Kampetai sampai Menumpas RMS, “Tidak boleh dan tidak dapat rakyat dipecahkan. Maka setiap usaha yang melukai hati rakyat, harus segera diambil tindak tegas.” Dapatkah hal yang sama dilakukan oleh institusi negara lainnya?

Daftar Referensi

Person, P. (Ed.). (2006, March 2). Kolonel Irfan Divonis mati. Antara News. Retrieved February 13, 2023

Pour, J. (2008). Ignatius Slamet Rijadi: Dari Mengusir Kempeitai Sampai menumpas RMS. Gramedia Pustaka Utama. 

Wibowo, K. S. (2005, September 22). Harta Yang Disengketakan Kolonel Irfan senilai rp 1 miliar Lebih. Tempo. Retrieved February 13, 2023

Share:

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on pinterest
Pinterest
Share on linkedin
LinkedIn

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Related Posts