Tradisi Bau Nyale Terhadap Nilai Multikultural Suku 

Tradisi Bau Nyale dapat memengaruhi masyarakat karena setelah menangkap Nyale dapat menambah perekonomian masyarakat, dapat dimakan, upacara kesuburan tanah pertanian, dan dijual. Masyarakat selalu menyelenggarakan tradisi tersebut secara sistematis. Secara sistematis yang dimaksudkan adalah melakukan acara rapat warga, acara yang dibahas dalam rapat tersebut yaitu membahas tentang firasat yang dirasakan oleh pemangku. Penentuan waktu yang tepat dengan merujuk pada tanda-tanda alam, peristiwa atau bahkan kejadian yang terjadi di masyarakat dan siapa saja orang yang akan dilibatkan dalam acara tersebut.

 Oleh Afina Dereya

Gambar 1: Pantai Kuta Mandalika (https://www.google.com/search?q=gambar+pantai+kuta+lombok&sxsrf=APq-WBv_W_E-DD09MMvrjcGG5YbsayHQcA:1647355969887&tbm=isch&source=iu&i

Fungsi tradisi Bau Nyale terhadap masyarakat Suku Sasak Lombok Tengah yaitu sebagai berikut:

  1. Fungsi Historis 

Tradisi Bau Nyale mengajak seluruh masyarakat Lombok untuk mengenang dan menghargai kembali sejarah para leluhur dan para pemimpin lainnya yang sudah berjasa terhadap tradisi Bau Nyale. Dalam tradisi Bau Nyale, diselenggarakan sebuah drama Putri Mandalika yang sudah diperlihatkan sejak pertama kali dipertunjukkan. Masyarakat Suku Sasak meyakini bahwa Nyale itu berasal dari Putri Mandalika. Putri Mandalika merupakan seorang tokoh sentral dan tokoh figur yang rela mengorbankan dirinya sendiri untuk kesejahteraan masyarakat Lombok. Tradisi Bau Nyale itu diselenggarakan setiap tanggal 19 dan 20 pada bulan sepuluh dan tepatnya di pantai selatan kuta.

  1. Fungsi Rekreasi

 Penangkapan nyale selalu bertepatan dengan selesainya proses menanam padi di sawah. Pekerjaan masyarakat di rumah maupun di sawah sudah kosong. Menangkap nyale atau Bau Nyale bagi masyarakat memiliki makna dan arti tersendiri karena dapat melepaskan rasa lelah yang selama ini mereka pikul. Menurut informasi para karma adat, pada zaman dahulu sebelum masuknya aliran listrik ke desa, pemuda dan pemudi menyalakan api unggun dengan obor dan didampingi oleh orang tua masing-masing. Kemudian pemuda pemudi melakukan sahut-sahutan dengan pantun dan isi pantunnya masih dengan batas kesopanan. Hal itu merupakan hiburan menarik untuk masyarakat Lombok. Bahkan pada tahun-tahun ini perayaan tradisi bau nyale di hadiri oleh turis-turis mancanegara yang cukup banyak, sehingga suasana dalam perayaan tradisi Bau Nyale orang-orang seperti berada dalam pasar malam. 

  1. Sebagai Event Pariwisata 

Masyarakat Suku Sasak di Lombok Tengah bagian selatan tepatnya di pantai kuta adalah masyarakat yang dulunya tidak pernah berpikir tentang tradisi Bau Nyale yang mereka lakukan akan menjadi demikian terkenalnya. Masyarakat melakukannya hanya sebagai perwujudan rasa bakti kepada leluhurnya dan kepercayaan yang telah tertanam dalam diri mereka yang telah diyakini. Mereka meyakini bahwa tradisi Bau Nyale berpengaruh terhadap keselamatan, keberhasilan panen, kesejahteraan hidup, dan menyambut Putri Mandalika. Adapun pengaruh lain yang dapat memengaruhi masyarakat misalnya setelah menangkap nyale dapat menambah perekonomian masyarakat, dapat dimakan, upacara kesuburan tanah pertanian, dan dijual.

Gambar 2: perayaan Bau Nyale  
  1. Sebagai Wadah Ekspresi Nilai Budaya 

Tradisi Bau Nyale telah memiliki nilai budaya yang telah memberikan identitas pada Suku Sasak pada umumnya dan khususnya kaum perempuan. Adapun nilai-nilai budaya yang terdapat dalam tradisi Bau nyale yang terkandung dalam mitos Putri Mandalika sebagai berikut: (1) nilai spiritual atau nilai ketuhanan, (2) nilai solidaritas, (3) nilai emansipasi, (4) nilai pengorbanan, (5) nilai keadilan, (6) nilai kebesaran, dan (7) nilai patriotisme ( Yakum, 2009).

  1. Sebagai Penggerak Ekonomi Masyarakat 

Bau Nyale atau penangkapan Nyale membutuhkan waktu sekitar dua jam bahkan lebih untuk awalnya saja, akan tetapi sebelum puncak penangkapan nyale terhitung lama dan masyarakat membutuhkan waktu untuk begadang. Pada saat itulah pedagang-pedagang berjejeran di pinggir pantai untuk menjajakan dagangannya dan gerakan ekonomi pada saat Bau Nyale sangat tinggi karena yang hadir dalam tradisi Bau Nyale itu melebihi ratusan orang. Tidak mungkin jika semua orang yang hadir tidak membeli sesuatu yang dapat dimakan.

  1. Sebagai Wadah Enkulturasi Budaya Masyarakat yang hadir dalam tradisi Bau Nyale bukanlah orang Kute atau orang Kecamatan Pujut saja akan tetapi orang yang datang dari berbagai kecamatan lain, bahkan orang yang berasal dari kota Mataram. Kedatangan mereka kesana hanya sebagai penonton dan menyaksikan segala acara tradisi tradisional yang ada disana baik dari cara berpakaian, sikap, dan perkataannya dapat memberikan pengaruh atau sebaliknya. Secara tidak langsung tradisi yang dianut menjadi sebuah proses enkulturasi karena yang hadir dalam acara tersebut bukanlah orang dewasa saja akan tetapi anak kecil juga. Dalam hal ini, proses enkulturasi dapat diajarkan tentang bagaimana bersabar dalam menunggu nyale keluar dan dapat digunakan sebagai pementasan drama tentang kisah Putri Mandalika.
Baca Juga :   Pemberantasan Anjing Ras di Bali, 1983
Gambar 3: Karnaval Perayaan Bau Nyale
Gambar 4 : Nyale (cacing laut yang dipercaya sebagai jelmaan Putri Mandalika)

Nilai-nilai Budaya yang Terkandung dalam Tradisi Bau Nyale

Masyarakat Suku Sasak telah memperkuat tradisi Bau Nyale dengan memberikan nilai-nilai budaya yaitu harapan masyarakat Suku Sasak tentang hal-hal yang lebih baik dan sesuatu yang dapat diagungkan oleh sebagian besar anggota masyarakat Lombok sebagai suatu sistem etika. Sistem etika yang dimakaksud tersebut dijadikan sebagai pola bagi sasaran yang akan dituju ataupun merupakan acuan untuk mewujudkan tindakan bagi individu masyarakat Lombok. Nilai-nilai budaya dapat diartikan sebagai “pendapat-pendapat” atau “pandangan-pandangan” yang digunakan oleh masyarakat Suku Sasak untuk menilai, menentukan baik-buruknya, bermanfaat atau tidaknya sebuah peristiwa yang ada dalam sebuah fenomena kehidupan sebuah masyarakat (Ahimsa Putra, 2006).

Nilai-nilai budaya yang ada di Bau Nyale dapat dijadikan alat ukur, alat penilai yang terkandung dalam sistem pengetahuan budaya Suku Sasak. Adapun nilai budaya yang terkandung dalam tradisi Bau Nyale juga seperti kisah kesabaran, pengorbanan karena Putri Mandalika yang rela mengorbankan dirinya untuk kesejahteraan masyarakat, nilai moral seperti ini harus ditanamkan kepada seluruh masyarakat Lombok karena berkembangnya zaman sekarang ini mengakibatkan terkikisnya keberpihakan terhadap nilai-nilai moral, akibat dari cara berfikir yang rasionalistik-materialistik. Segala sesuatu dalam hidup ini diukur hanya sebatas materi, sehingga nilai-nilai moral seperti tolong menolong, gotong royong, dan kebersamaan seakan memudar. Menurut Suarsana (2001) mengungkapkan nilai budaya yang terkandung dalam tradisi Bau Nyale yaitu sebagai berikut: (1) nilai spiritual atau nilai Ketuhanan, (2) nilai integrasi atau sebuah pembaharuan, dan (3) nilai solidaritas.

Nilai-nilai budaya yang terkandung dalam tradisi Bau Nyale yang telah terkandung dalam Putri Mandalika telah dibuat naskah Lontar Sasak seperti: (1) Naskah Lontar Kotaragama yang lebih kepada mengamanatkan bahwa bagi seorang perempuan yang memiliki kepribadian yang utuh, memiliki sopan santun, dan selalu berbuat baik kepada semua orang. (2) Naskah Lontar Rengganis, mengamanatkan tentang seorang perempuan tidak boleh mangkir dari janji-janjinya, (3) Naskah Lontar Megantara yang mengamanatkan bahwa Perempuan Sasak harus pemberani dan harus selalu setia kepada suaminya, disiplin dan tegas (Wirata, 2016: 264- 269)

Daftar Pustaka

Koentjaraningrat. 2015. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.

Purna, I Made. Sinkretisme Agama Hindu dan Islam pada Masyarakat Sasak di Lombok” dalam jurnal Penelitian FON ; Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Volume 13 Nomor 2 Tahun 2018 ISSN Elektronik : 2614-7718 | 171 ISSN Cetak : 2086-0609 Sejarah dan Nilai Tradisional Edisi Kesebelas Nomor 11/III/2003.

Daliman, A. 2012. Metode Penelitian Sejarah. Yogyakarta: Ombak.

Ahimsa-Putra, Heddy Sahri. 2006. Strukturalisme Levi-Strauss Mitos dan Karya Sastra. Yogyakarta: Kepel Press.

Parekh. 1997. National Culture and Multiculturalism. In Kenneth Thompson (ed) Media and Cultural Regulation. London-Thousand Oaks, Calif: Sage Publications in association with the open University.

Wirata I Wayan. Perempuan dalam Cerita Naskah Islam Lokal (Suku Sasak) di Lombok (Pendekatan Sosiologi)” dalam Jurnal Mudra Pusat Penerbitan LPPM ISI Denpasar Vol. 31 no. 2. Mei 2016.

Budi Agus Riswandi dan M. Syamsudin, Hak Kekayaan Intelektual dan Budaya Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, hlm. 39-40.

Suarsana, I Made. “Kajian Nilai-nilai Budaya pada Tradisi Bau Nyale di Lombok dalam Rangka Sosialisasi dan Integrasi” dalam Jurnal Jnana Budaya Media Informasi Sejarah, Sosial, dan Budaya Edisi Kelima No. 05/V/2001.

Yakum, H.Moh. 2009. “Kisah Putri Mandalike Nyale, Cerita Rakyat Nusantara Suku Sasak”. Makalah.

Blum, A Laurence. 2001. Antirarisme, Multikulturalisme, dan komunitas Antar Ras, Tiga Nilai yang Bersifat Mendidik bagi sebuah masyarakat Multikultural, dalam Larry May, dan Shari Colinn-Chobanian, Etika Terapan; Sebuah Pendekatan Multikultural. Terjemahan; Sinta Carolina dan Dadang Rusbiantoro. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Baca Juga :   Tradisi Lokal “SELAMETAN MALEMAN” Pada Bulan Ramadhan Masyarakat Ambulu

Share:

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on pinterest
Pinterest
Share on linkedin
LinkedIn

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Related Posts