Sang Raja Mutiara dari Pulau Pala Bernama Syekh Said Baadilla

Dahulu dijuluki sebagai “Raja Mutiara”, Syekh Said Baadilla adalah sebuah ikon kesuksesan besar bagi komunitas Arab dan pemerintah kolonial di timur Hindia Belanda.

“Tjong” Baadilla adalah panggilan akrab Letnan Arab dari Banda Neira kala itu. Bernama lengkap Syekh Said bin Abdullah Baadilla, dirinya juga seorang pengusaha dan tokoh terkemuka dari kepulauan Api Neira. Des Alwi, tokoh Indonesia yang menjadi anak angkat dari Hatta dan Sjahrir saat keduanya diasingkan, tidak lain adalah cucu Said Baadilla. Said Baadilla adalah ikon dari keunikan sejarah Indonesia Timur.  

Oleh Rangga Ardia Rasyid

Dikenal sebagai  “Raja Mutiara” karena kekayaan industri mutiaranya tetapi ketika Des Alwi terbang dari Banda pada tahun 1942, kekayaan “Tjong” Baadilla itu telah ditelan oleh Malaise ekonomi. Lalu bagaimana sang kakek dari tokoh Indonesia ini bisa merebut kembali tahta “Raja Mutiara” di Indonesia Timur?

Persaingan Belanda – Inggris di timur Indonesia

Said Baadilla lahir di Banda Neira pada tahun 1859. Keturunan Tionghoa dari sisi ibunya dan Arab-Hadrami dari bapaknya, ia bersama dengan kedua adiknya Abdul Rahim (Nana) dan Salim (Tjoto)– mendirikan firma Gebroeders Baadilla pada tahun 1880-an. Bermodal kapal bermotor, firma itu membawa penumpang dan kargo dari Gresik ke Banda. Des Alwi dalam buku Friends and Exiles A Memoir of the Nutmeg Isles and the Indonesian Nationalist Movement (2008) mencatat bahwa usaha ini telah dikembangkan sejak zaman buyut sang tokoh yakni Abdullah Baadilla anak dari Awad Baadilla keturunan Said bin Aidit, salah satu Arab-Hadrami yang telah tinggal di Banda sejak abad ke-18. 

Namun tanpa diketahui sang tiga bersaudara, pemerintah kolonial sedang beradu di perairan Maluku Selatan. Sejak tahun 1872, satu demi satu kapal Australia mulai menyelinap ke Kepulauan Aru dan mengambil mutiara yang dicari industri tekstil barat. Pemerintah kolonial menganggap hal itu sebagai “provokasi” dan meminta kapal Australia untuk segera keluar dari Aru. Namun kapal Australia terus aja kembali mengambil mutiara. Sampai pada tahun 1893, kapal asing dilarang memasuki wilayah 3 mil dari pulau Hindia Belanda. Sebuah kompromi yang memuaskan, mengutip sejarawan Australia Steve Mullins, dalam Australian pearl-shellers in the Moluccas: Confrontation and Compromise on a Maritime Frontier” (2001). Namun pemerintah kolonial ingin lebih dari sekadar garis pemisah. Mereka ingin menunjukkan Hindia Belanda punya industri mutiara yang sukses. Berdasarkan laporan koran Bataviaasch Nieuwsblad 1895, sekitar 30-50 permintaan pengambilan mutiara lokal mulai diberikan izin oleh pemerintah kolonial termasuk milik Said Baadilla. 

Naiknya Baadilla ke “Tahta” Mutiara

Said Baadilla memperluas operasi Gebroeders Baadilla ke industri mutiara pada tahun 1894. Zutpensche Courant tahun 1903 melaporkan bahwa banyak dari buruhnya berasal dari Buton dan Filipina. Pada masa  inilah, ia memulai hubungan hangat dengan pemerintah kolonial. Pada tanggal 2 Desember 1899, riset bawah laut kolonial di atas kapal Siboga berhenti di Dobo, pelabuhan utama Aru. Tertulis dalam Marineblad Vol. 15 No.4 tahun 1899, bahwa para ilmuan kolonial dibantu oleh Said Baadilla dan kapal mutiaranya untuk mendapatkan sampel-sampel biota laut Aru. Jasanya ini membuatnya semakin dikenal kalangan pejabat kolonial. 

Melalui kekayaan dari mutiara, ia juga semakin dekat dengan keluarga kerajaan Belanda. Contohnya, dalam kunjungan pertamanya ke Belanda pada tahun 1896, ia menghadiahi Ratu Emma sebuah mutiara sebesar telur burung. Pada kunjungannya pada tahun 1909, ia memberikan mutiara berwarna merah muda kepada Ratu Wilhelmina setelah ia dianugerahi gelar ksatria di Orde Oranje-Nassau. Sebelumnya, ia juga dihadiahi medali perak dari kerajaan Belanda untuk dukungannya selama Ekspedisi Siboga (R. Broersma, 1934). Tercatat juga dalam Regeerings-Almanaak 1894, ia telah diangkat sebagai Letnan Arab di Banda Neira sejak tahun 1889. 

Baca Juga :   Pengaruh Islam dalam Tradisi Sadranan

Salah satu kenangan yang diingat Des Alwi ketika masih kecil adalah orang-orang yang bergulir untuk datang memberikan hadiah kepada sang “Tuan Besar Baadilla”. Beberapa orang sekitar Banda bahkan mengirimkan anak-anaknya untuk membantu keseharian di rumah Said Baadilla, termasuk membetulkan mabel rumah dan membuat mainan kayu untuk cucu-cucunya. Rumah besar Baadilla di Banda Neira berisi hadiah-hadiah dari tokoh lokal hingga pejabat kolonial terlihat seperti museum pribadi. “Museum itu dibanggakan oleh orang-orang Banda, dan dilihat sebagai milik mereka juga”, tulis Des Alwi dalam bukunya tersebut.  

Kariernya dalam industri mutiara menjadikannya selebritas dan contoh keteladanan di Hindia Belanda. Namun lebih dari itu, ia menjadi ikon dari kesuksesan pemerintah kolonial. Pada tahun 1897 – 1905, ia mendapatkan konsesi untuk mengambil mutiara di Aru. Memperlihatkan kepada Australia bahwa Aru sudah dikuasai oleh bisnis lokal. Untuk sementara, sepertinya ujung timur Hindia Belanda bisa stabil. Namun daya tarik Aru tetap mendorong Australia untuk datang. 

Bertemunya dua raja mutiara, Baadilla dan Clark 

James Clark, seorang pengusaha mutiara dari Thursday Island, Queesnland Australia, telah melirik Aru cukup lama. Aru adalah wilayah yang belum tersentuh mesin industri Australia. Aru adalah impian dan hadiah terbesar yang bisa diraih. Namun sebelum itu, ia harus bisa menghadapi Said Baadilla; “Raja Mutiara” di Indonesia Timur.

Awalnya James Clark mendorong keponakannya, Victor Clark untuk mendirikan The Netherlands India Pearling Co. di Batavia. Namun Victor gagal mendapatkan konsesi karena Baadilla telah terlebih dahulu mendapatkan kontrak sampai 1905 di Kepulauan Aru. James Clark akhirnya membubarkan perusahaan tersebut, dan menggantinya dengan Celebes Trading Company (CTC) pada tahun 1904, sembari menunggu hingga konsesi Baadilla berakhir.

Ia mendapatkan kesempatannya pada 1905 ketika berhasil memenangkan lelang Kepulauan Aru di Ambon sebesar f 85,300. Pelelangan ini merupakan cara terbaru pemerintah kolonial untuk menyewakan wilayah berdasarkan Staatsblad voor Nederlandsch-Indie 1905. Berangsur-angsur pada 1905-1906, James Clark pindah dari Thursday Island menuju Aru. Steve Mullins dalam bukunya Octopus Crowd Maritime History and the Business of Australian Pearling in its Schooner Age (2019) menggambarkan bahwa proses masuknya CTC ditakutkan akan menghabiskan mutiara di Aru. Said Baadilla bahkan mengekspresikan kekecewaannya dalam sebuah wawancara dengan jurnalis Hindia Belanda, Tirto Adhi Suryo. 

Meski dengan sentimen tersebut, James Clark dengan cepat membangun jaringan bisnis barunya di Maluku. Salah satu mitra awal CTC tidak lain adalah Said Baadilla, yang tergabung dalam Konsortium CTC pada tahun 1906. Meski mereka kalah dalam konsesi Aru, tetapi CTC membuka pasar London dan New York ke Baadilla, sehingga mereka lebih memilih bergabung. Koran Australia The Brisbane Courier menyatakan bahwa pada 1905, gabungan kapal mutiara yang dimiliki oleh CTC berada di angka 120 dengan 1.000 buruh yang dipekerjakan. 

Masa inilah ketika sang “Raja Mutiara” benar-benar berada di atas angin. Said Baadilla dikenal mempunyai gestur hangat setiap kali ada tamu asing yang berkunjung ke Banda. Dalam surat kabar The Australasian tahun 1910, diceritakan bahwa sang “Tuan Besar” senang untuk mengajak tamu berkeliling dengan kapal motor pribadinya. Ia juga mengajak mereka melihat pengerjaan kebun pala. Hanya bermodal bahasa Inggris yang canggung, ia dengan mudah dapat menghibur tamu-tamunya. 

Malaise dan kebangkrutan Baadilla 

Industri mutiara Baadilla kian melemah mendekati tahun 1930 akibat Malaise ekonomi. Koran De Nieuwe Vorstenlanden melaporkan bahwa pada tahun 1928, aset Baadilla sudah dikategorikan bangkrut. Disebutkan juga bahwa anak-anak Baadilla tidak kompeten dalam meneruskan bisnisnya. Pernyataan Des Alwi dalam bukunya juga mendukung hal ini. Bahwasanya, beberapa pamannya seperti Oom Ding gagal untuk mengembangkan usaha Baadilla. Hal ini terjadi tidak lama setelah kematian Said Baadilla di tahun awal 1933 yang dilaporkan di Het Nieuws van de dag voor Nederlandsch-Indie.  

Baca Juga :   Kisah Hidup KH. Adlan Aly, Seorang Santri Kinasih Hadratussyaikh

Namun jauh sebelum Malaise, industri mutiara Aru telah lama surut, akibat Perang Dunia Pertama. James Clark bahkan pensiun dari CTC dan membubarkan konsorsiumnya. Ia pun kembali ke Australia pada tahun 1915 dengan industri Aru yang terpuruk. Tijdschrift de Visscherij pada tahun 1924 mencatat bahwa industri Aru telah diambil alih oleh perusahaan Compagnie Commerciale Schmid en Jeandel. Schmid & Jeandel sendiri adalah firma dari Makassar yang dahulu bergabung dengan konsorsium CTC. Kemungkinan besar aset Baadilla tergabung dengan Schmid en Jeandel.

Akhirnya perusahaan Baadilla secara resmi bangkrut pada tahun 1933, dengan aset-asetnya diambil para kreditur dari Batavia, Amsterdam, dan pengusaha Tionghoa lokal di Banda. Ketika Des Alwi berusia 6 tahun, kebesaran keluarganya hanya tersisa dalam ingatan “Rumah Besar”, serta koleksi yang tersimpan di dalamnya. 

Rumah Budaya Banda Neira yang terletak di sudut kota tersebut, serta rumah pengasingan Bung Hatta adalah sisa-sisa akhir dari kekayaan Baadilla. Namun kisah kesuksesannya terus diingat sebagai kebanggaan sejarah Banda hingga hari ini. 

Studioportret van sjeik Said bin Abdullah Baadilla, luitenant der Arabien, Banda, 30 Agustus 1909, Sumber: collectie.wereldculturen.nl.

Sumber

NMVW-collectie, TM-60038850

Bataviaasch Nieuwsblad, 20 November 1895

Broersma, R. (1934). Koopvaardij in de Molukken. (Batavia: P. Noordhoff N.V. Groningen).

De Nieuwe Vorstenlanden, 11 Agustus 1928

Des Alwi. (2008). Friends and Exiles A Memoir of the Nutmeg Isles and the Indonesian Nationalist Movement. (New York: Cornell University).

Petrik Matanasi, “Des Alwi, Anak Angkat Hatta & Sjahrir yang Menggoyang Rezim Sukarno”, 12 November 2010 (https://tirto.id/des-alwi-anak-angkat-hatta-sjahrir-yang-menggoyang-rezim-sukarno-elc1).

Marineblad Vol. 15 No.4, 1 Januari 1900

Het Nieuws van de dag voor Nederlandsch-Indie, 4 Februari 1933

Mullins, Steve. (2001). “Australian Pearl-Shellers in the Moluccas: Confrontation and Compromise on a Maritime Frontier”. The Great Circle. Vol. 23. (2).

Mullins, Steve (2019). Octopus Crowd Maritime History and the Business of Australian Pearling in Its Schooner Age, (Tuscaloosa: University of Alabama Press).

Regerings-alamanaak voor Nederladsch-Indie 1894, (Batavia: Landsdrukkerij, 1894).

Staatsblad van Nederlandsch-Indie over het jaar 1905, (Batavia: Landsdrukkerij, 1906).

The Brisbande Courier, 11 November 1905

The Australasian, 26 Maret 1910

Tijdschrift De Visscherij Vakblad Gewijd aan de Belangen van de Zee-, Kust-, en Binnenvisscherij No.11, 15 Juli 1924

Zutphensche Courant, 27 Juli 1903

Share:

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on pinterest
Pinterest
Share on linkedin
LinkedIn

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Related Posts