Pengaruh Konferensi Asia – Afrika (KAA) 1955
Terhadap Kondisi Nasional Tahun 1985

Provinsi Jawa Barat mempunyai kota yang menyandang status sebagai kota terbesar ketiga di Indonesia, yaitu Bandung. Kota ini terletak di daratan berbentuk mangkok nasi sekitar 2.400 kaki di atas permukaan laut. Bentuk wilayahnya oval dengan panjang 25 mil dan lebar 10 mil. Kota ini dikelilingi pegunungan indah yang tingginya mencapai 7.500 kaki. Kota Bandung tidak dapat dipisahkan dari Sungai Citarum karena sangat berdekatan. Tempat yang kini dikenal sebagai wilayah Dayeuh Kolot (Kota Tua). Pada tahun 1810-an, Gubernur Jendral Herman Willem Daendels mengusulkan pemindahan kota ke lokasi sekarang ini yang letaknya agak lebih tinggi dan tidak berawan. Lokasi baru ini berada di ujung kota yang berdekatan dengan Gunung Tangkuban Perahu serta pusat pemerintahan di jalan Asia-Afrika sekarang (Zaenuddin HM, 2014). Maka tak heran apabila sekarang ini banyak dijumpai bangunan-bangunan peninggalan kolonial di jalan Asia-Afrika, seperti Hotel Savoy Homan, Hotel Preanger, Gedung Merdeka, Gedung Swarha dan banguna-bangunan lain yang sekarang digunakan untuk pertokoan, bank, dan lain-lainnya.

Oleh Iwang Adil Waroto

Adapun bangunan-bangunan peninggalan kolonial di atas memiliki nilai sejarah yang cukup besar, terutama bagi perjalanan bangsa Indonesia. Kelima bangunan tersebut pernah digunakan untuk kepentingan berjalannya Konferensi Asia-Afrika. Hotel Savoy Homan, Hotel Preanger dan Gedung Swarha pernah digunakan sebagai tempat penginapan para delegasi, wartawan, peninjau dan orang-orang yang terlibat di Konferensi Asia-Afrika. Sementara Gedung Merdeka dan Gedung Dwiwarna merupakan tempat dilaksanakanya sidang-sidang Konferensi Asia-Afrika. (Zaenuddin HM, 2014).

Alasan kuat atas terselenggaranya Konferensi Asia-Afrika di Bandung pada tahun 1955, karena presiden Soekarno ingin menunjukan kepada dunia bahwa dari Bandung awal gerakan kemerdekaan yang dipimpin melalui perlawanan terhadap kolonialisme dan imperialisme di persada Nusantara. Bandung juga dijadikan Soekarno sebagai awal pergerakan ia dalam menyusun perjuangannya untuk mencapai kemerdekaan Indonesia, dengan mendirikan Perserikatan Nasional Indonesia pada tahun 1927, dan seakan menjadikan Bandung sebagai kiblat perjuangan kemerdekaan Indonesia (Priatna P.L.E, 2005).

Sejarah Konferensi Asia-Afrika tahun 1955

Berakhirnya Perang Dunia II membawa perubahan besar terhadap negara Asia dan Afrika untuk mendapatkan kemerdekaan dan menjaga kemerdekaan itu sendiri. Perubahan tersebut ditandai dengan lahirnya dua kekuatan ideologis, politis, dan militer termasuk pengelolaan senjata nuklir. 

    Dalam menyelenggarakan kehidupan bermasyarakat dan bernegara, Republik Indonesia selalu berlandaskan pada Pancasila dan UUD 1945. Menjalin kerja sama dengan negara lain merupakan salah satu langkah penyelenggaraan kehidupan bernegara. Kebijakan yang menyangkut hubungan dengan negara lain terangkum dalam kebijakan politik luar negeri. Dengan demikian, pelaksanaan politik luar negeri Indonesia juga harus berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Indonesia mencetuskan gagasannya untuk menggalang kerja sama dan solidaritas antarbangsa dengan menyelenggarakan KAA.

Politik luar negeri Indonesia yang berlandasan asas bebas aktif, dengan artian bangsa Indonesia tidak memihak pada salah satu blok yang ada di dunia. Dengan hal ini, bangsa Indonesia mempunyai kebebasan bersahabat dengan negara manapun tanpa ada unsur ikatan tertentu. Bebas juga berarti bahwa bangsa Indonesia mempunyai caranya sendiri dalam menghadapi permasalahan internasional. Dalam pengertian lain bahwa bangsa Indonesia selalu aktif ikut mengusahakan terwujudnya perdamaian dunia. Negara Indonesia memilih sifat politik luar negerinya bebas aktif sebab setelah Perang Dunia II berakhir di dunia telah muncul dua kekuatan adidaya baru yang saling berhadapan.

Dalam upaya meredupkan suasana ketegangan dan untuk mewujudkan perdamaian dunia, negara Indonesia menjadi tuan rumah dalam menyelenggarakan Konferensi Asia Afrika (KAA). Upaya ini mendapatkan dukungan penuh dari negara-negara di Asia dan Afrika. Pada umumnya bangsa- bangsa di Asia-Afrika pernah menjadi korban kolonialisme dan penindasan imperialis Barat. Persamaan nasib ini menimbulkan rasa persahabatan. Setelah Perang Dunia II berakhir, banyak negara di Asia dan Afrika yang berhasil mencapai kemerdekaan, di antaranya adalah India, Indonesia, Vietnam, Pakistan, Burma (Myanmar), Sri Lanka, Filipina dan lainnya. Sementara itu, masih banyak pula negara yang berada di kawasan Asia dan Afrika belum dapat mencapai kemerdekaan. Bangsa-bangsa di Asia dan Afrika yang telah merdeka tidak melupakan masa lampaunya. Mereka tetap merasa senasib dan sependeritaan. Lebih-lebih apabila mengingat masih banyak negara di Asia dan Afrika yang belum merdeka. Rasa setia kawan itu dicetuskan dalam Konferensi Asia Afrika. Sebagai cetusan rasa setia kawan dan sebagai usaha untuk menjaga perdamaian dunia, pelaksanaan Konferensi Asia Afrika mempunyai arti penting, baik bagi bangsa-bangsa di Asia dan Afrika pada khususnya maupun dunia pada  umumnya. (Roeslan Abdulgani, 2015).

Baca Juga :   Jejak Persebaran dan Pengaruh Austronesia di Indonesia

Proses Pelaksanaan Konferensi Asia Afrika tahun 1955

Konferensi Asia Afrika     (KAA) di Bandung dilaksanakan pada tanggal 18-14 April 1955. Kegiatan ini dihadiri oleh wakil-wakil dari 29 negara yang terdiri atas negara pengundang dan negara yang diundang. Negara pengundang meliputi : Indonesia, India, Pakistan, Sri Lanka, dan Burma (Myanmar). Negara yang diundang sebanyak 24 negara terdiri atas 6 negara Afrika yaitu Mesir, Sudan, Etiopia, Liberia, Libia, dan Pantai Emas/Gold Coast dan 18 negara Asia yaitu Filipina, Thailand, Kampuchea, Laos, RRC, Jepang, Vietnam Utara, Vietnam Selatan, Nepal, Afghanistan, Iran, Irak, Saudi Arabia, Syria (Suriah), Yordania, Lebanon, Turki, Yaman. Semua persidangan Konferensi Asia Afrika diselenggarakan di Gedung Merdeka, Bandung (Roeslan Abdulgani, 2015).

Konferensi Asia Afrika di Bandung pada saat itu membicarakan hal-hal yang menyangkut kepentingan bersama negara-negara di Asia dan Afrika, terutama kerja sama ekonomi dan kebudayaan, serta masalah kolonialisme dan perdamaian dunia. Kerja sama ekonomi dalam lingkungan bangsa-bangsa Asia dan Afrika dilakukan dengan saling memberikan bantuan teknik dan tenaga ahli. Konferensi berpendapat bahwa negara-negara di Asia dan Afrika perlu memperluas perdagangan dan pertukaran delegasi dagang. Dalam konferensi tersebut ditegaskan juga pentingnya masalah hubungan antarnegara karena kelancaran hubungan dapat memajukan ekonomi. Konferensi juga menyetujui penggunaan beberapa organisasi internasional yang telah ada untuk memajukan ekonomi.

   Setelah membicarakan beberapa masalah menyangkut kepentingan negara-negara Asia-Afrika dan negara-negara di dunia pada umumnya, segera diambil beberapa keputusan penting, antara lain:

  1. Kerja sama dengan negara-negara Asia-Afrika di bidang ekonomi, sosial, dan budaya.
  2. Mendukung tuntutan Indonesia atas Irian Barat.
  3. Menuntut kemerdekaan bagi Aljazair, Tunisia, dan Maroko.
  4. Menentang diskriminasi ras dan kolonialisme.
  5. Selalu aktif mengusahakan perdamaian dunia.

Pengaruh konferensi Asia-Afrika terhadap kondisi nasional tahun 1985

Bandung menjadi kota yang tiba-tiba menjadi buah bibir pasca Konferensi Asia-Afrika. Tepatnya pada peringatan ke-30 KAA,  mengangkat kembali wajah Bandung ke tengah panggung perhatian dunia Internasional. Setelah 30 tahun istilah semangat Bandung memang tak banyak lagi bergema di dunia Internasional, kecuali mungkin di Indonesia. Kelompok Asia-Afrika, yang kemudian tumbuh menjadi gerakan non blok, kini terasa semakin pudar dan terpencar.

Pada tanggal 27 April 1985, Konferensi Asia Afrika diperingati lagi secara besar- besaran. Atas antusias dan solidaritas masyarakat Bandung pada saat itu mampu membangkitkan lagi peranan Indonesia, dalam solidaritas Asia Afrika. Peringatan ke-30 ini memang paling besar dari pada sebelumnya, sebab bersamaan dengan konferensi badan konsultatif hukum Asia Afrika di Jakarta. Hal ini dapat dilihat dari 80 negara yang telah mengirim wakilnya ke Bandung. Selain itu, juga hadir delegasi tiga organisasi, tiga negara peninjau, dan utusan PBB. (Adjat Suradjat, 27 April 1985).

Para delegasi dan perwakilan negara, hampir semuanya berangkat dari Jakarta menuju Bandung naik kereta api khusus. Mereka disambut meriah oleh masyarakat Bandung dengan taburan bunga melati. Para delegasi ini hadir pada tanggal 24 April pagi menuju Gedung Merdeka dengan berjalan kaki dari Hotel Homann.

Peringatan Konferensi Asia Afrika perlu diperingati besar-besaran. “Peringatan KAA ke-30 mempunyai sikap yang khidmat. Murah, dan meriah. Untuk keperluan ini Pemerintah Daerah Jawa Barat menyubsidi beberapa instansinya sebesar Rp. 220 juta yang diambil dari APBD, sedangkan dana dari Deplu sebesar Rp. 230 juta,” ujar Wagub Jabar Suhud Warnaen. (Adjat Suradjat, 27 April 1985).

Baca Juga :   Sejarah Pendudukan Jepang di Indonesia dalam Buku Pelajaran Sejarah di Jepang

Peringatan 30 tahun Konferensi Asia Afrika pada saat rapat sidang di Gedung Merdeka mendapatkan perhatian khusus bagi para hadirin. Delegasi Arab Saudi Sheikh Mohammad Ibrahim Masoud, dalam pidatonya menyatakan dukungan terhadap Afganistan. Dia menganggap bahwa rakyat Afganistan kini sedang berjihad melawan penjajahan Uni Soviet. Karena itu perlu adanya dukungan. Dengan hal ini para hadirin menganggap bahwa Arab Saudi telah melanggar Dasasila Bandung (prinsip urusan dalam negeri negara lain).

Suasa panas di meja konferensi tampaknya memelopori semangat pidato wakil RRC, yaitu Wu Xuaqian. Dalam pidatonya ia menekankan, menghormati kemerdekaan negara lain dan kedaulatannya. Khususnya dalam menjaga hubungan baik dengan Republik Indonesia, Wu Xuaqian menekankan untuk selalu memperbaiki hubungannya. Hubungan ini semakin kuat dengan apa yang terjadi di Istana kepresidenan RI, ia memanfaatkan bertemu dengan presiden Soeharto untuk berbincang-bincang. Selama di Indonesia Wu memanfaatkan momen ini untuk berbicara dengan pak Harto.

DAFTAR PUSTAKA

Adjat Suradjat. Asia Afrika : Apa Yang Tersisa. (27 April 1985). Tempo (pp. 12-13). Bandung: Majalah Berita Mingguan.

Ibnu Burdah. (2014). In Islam Kontemporer, Revolusi Dan Demokrasi: Sejarah Revolusi (pp. 23-24). Malang: Intrans Publishing.

Priatna P.L.E. (2005). Perayaan Emas 50 Tahun: Indonesia Dan Konferensi AsiaAfrika. Departemen Luar Negeri Republik Indonesia , 5.

Roeslan Abdulgani. (2015). In The Bandung Connection: Konferensi Asia-Afrika Di Bandung Tahun 1955 (pp. 53-54). Bandung: MKAA-Dirjen Diplik Kemenlu I.

Siti Meiningsih dan Freddy H. Tulung. (2015). Dalam Buku Infografis: Gelorakan “Semangat Bandung”, Teknologi Bergeliat, Ekonomi Bergerak, Enam Paket Kebijakan (hal. 22). Jakarata: Dit PPI Kementerian Komunikasi dan Informatika.

Zaenuddin HM. (2014). Asal-Usul Kota-Kota Di Indonesia Tempo Doeloe. Jakarta: Change.

Share:

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on pinterest
Pinterest
Share on linkedin
LinkedIn

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Related Posts