Politik Islam Jerman di Era Perang Dunia I dan II

Berbicara hubungan antara Islam dan Nazi Jerman merupakan pembicaraan yang begitu kontras dan terdengar aneh. Pasalnya kedua hal ini merupakan sesuatu yang bertentangan. Islam selalu mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan,  dan sebaliknya Nazi Jerman justru terang-terangan melenyapkan nilai-nilai kemanusiaan. Namun, apabila keduanya dikaitkan dalam dunia politik apalagi ketika sedang dalam perang, hubungan diantara keduanya dapat begitu intim bahkan saling mendukung satu sama lain. Hal ini sebagaimana terjadi dalam sejarah Jerman di era Perang Dunia I (PD II) dan berlanjut pada era Perang Dunia II (PD II). 

Oleh Dimas Sigit Cahyokusumo

Tidak seperti kebanyakan pemikiran yang  di Jerman Islam justru dilihat sebagai sebuah kesempatan dari kaisar Wilhelm II. Hal ini terlihat jelas dalam kunjungan sang kaisar ke Timur Tengah pada tahun 1898, ketika ia menyatakan dirinya sendiri sebagai seorang “sahabat” dari 300 juta orang pengikut Nabi Muhammad. Apa yang dilakukan oleh kaisar Wilhelm ini bukan tanpa alasan. Hal ini dilakukan sebagai bentuk usaha Jerman memobilisasi kaum Muslim demi tujuan politik selama Perang Dunia I. 

Bahkan sebelum Inggris menyatakan perang terhadap Jerman, salah seorang duta besar Jerman di wilayah Timur Tengah bernama Max von Oppenheim meyakinkan kaisar bahwa Islam adalah senjata rahasia Jerman. Max von Oppenheim percaya bahwa sebuah kampanye propaganda yang diatur dengan baik dapat mendorong kaum Muslim memberontak terhadap Inggris, Prancis, dan Rusia di wilayah jajahannya yang berpenduduk Muslim. Kaisar Wilhelm II menerima sarannya dan bersumpah “membakar seluruh dunia Muslim” untuk melawan Inggris. 

Pada tanggal 2 Agustus 1914 terjalin sebuah perjanjian rahasia antara Jerman dan Kesultanan Ottoman, yang menandai sebuah persekutuan politik antara kaisar Wilhelm II dan Sultan Mehmed V. Atas dorongan Jerman, pada tanggal 11 November 1914, Syekh Islam bernama Urguplu Hayri mengeluarkan fatwa atas nama Sultan Mehmed V sebagai amirul mukminin, yang menyerukan agar seluruh kaum Muslim termasuk yang hidup di wilayah musuh untuk bangkit melawan kekuatan sekutu. 

Hal yang menarik dari seruan ini adalah unsur jihadnya. Fatwa ini secara teologis tidak lazim karena menyerukan jihadnya bersenjata yang sifatnya selektif atau memilih lawan yang layak untuk diperangi. Perang tidak hanya ditujukan kepada Inggris, Prancis, dan Rusia tetapi tidak kepada sekutu Kristen Ottoman, yaitu Jerman dan Austria-Hongaria. Jadi, perang ini bukanlah perang mengatasnamakan agama dalam pengertian yang klasik, yang dilakukan antara “orang Muslim” dan orang tidak beriman atau “kafir”. Akibatnya di kalangan sekutu, jihad tersebut diolok-olok sebagai “jihad made in Berlin” (Oktorino, 2017). 

Jihad dalam Islam berdasarkan Al-Qur’an maupun Hadist sebenarnya memiliki makna yang luas. Namun dalam konteks Perang Dunia I maknanya menjadi dipersempit dan diterjemahkan menjadi “perang suci”. Pihak Jerman yang berafiliasi dengan Kesultanan Ottoman tahu bahwa jihad merupakan instrumen yang dapat dimainkan dalam perang, dan jika diperlakukan dengan tepat, maka ini dapat menjadi senjata yang menakutkan bagi lawan. Sebagaimana dikatakan oleh Max von Oppenheim, “siapkan medan perang dan memanfaatkan Sultan untuk mengobarkan jihad di wilayah kolonial dari potensi musuh. Jerman mungkin sangat membutuhkan fanatisme pan-Islam dan persaudaraan anti-Eropa” (Gana, 2018). 

Dari kenyataan di atas dapat dipahami bahwa dalam sejarah demi sebuah kekuasaan sesuatu yang tadinya terlihat kontras dan bahkan bertentangan, tetapi bisa menjadi satu dan bergandengan meski terlihat sangat ironis. Sejarah ini pun berlanjut hingga masa Perang Dunia II di bawah kekuasaan Nazi Jerman. 

Baca Juga :   Transportasi Pesawat Terbang

Politik Islam Jerman Era Perang Dunia II

Berbicara mengenai politik tidak lepas dari yang namanya kekuasaan. Meraih kekuasaan tidak semudah membalikkan telapak tangan. Ia butuh perjuangan dan sumber daya yang memadai. Sama seperti pengalaman di Perang Dunia I. Di Perang Dunia II, Jerman di bawah kekuasaan Adolf Hitler juga menggunakan taktik yang sama dalam meraih kekuasaan yaitu menggandeng kekuatan lain, dalam hal ini kekuatan Islam.

Sebagaimana diceritakan oleh David Motadel asisten profesor sejarah internasional di London School of Economics and Political Science dalam bukunya berjudul Islam and Nazi Germany’s War, mengatakan bahwa pada puncak perang tahun 1941-1942, ketika tentara Jerman memasuki wilayah berpenduduk Muslim di Balkan, Afrika Utara, Kremia, dan Kaukasus dan mendekati Timur Tengah serta Asia Tengah, Jerman mulai melihat Islam sebagai faktor signifikan secara politis. Nazi melakukan upaya besar untuk mempromosikan “aliansi dengan dunia Muslim” untuk melawan pihak yang dianggap musuh, yaitu Inggris, Uni Soviet, Amerika Serikat, dan Kaum Yahudi. 

Di zona perang, Jerman melakukan berbagai macam kebijakan keagamaan dan propaganda untuk mempromosikan Nazi kepada pemimpin Islam. Di awal tahun 1941, militer Jerman Wehrmacht membagikan buku pegangan tentang Islam bagi tentaranya. Mereka ingin tentaranya berperilaku baik terhadap populasi Muslim. Di front timur, Nazi memerintahkan pembangunan kembali Masjid, Mushala, dan Madrasah yang sebelumnya dihancurkan oleh Uni Soviet. 

Otoritas militer Jerman juga melakukan upaya serius untuk mengkooptasi pejabat Islam. Di Eropa Timur, Balkan, dan Afrika Utara Jerman mencoba melakukan propaganda dengan menggunakan retorika keagamaan, kosakata, dan ikonografi untuk memobilisasi umat Islam. Mereka mempolitisasi ayat suci Al-Quran, terutama konsep Jihad untuk memicu kekerasan agama bagi tujuan politik. Bahkan Nazi selalu menyerukan dalam setiap propagandanya sebagai “teman kaum Muslim” dan “pembela agama dan iman Islam”. 

Kenyataan kolaborasi “kepentingan” politik ini semakin diperkuat dengan sikap Adolf Hitler yang anti-Yahudi (anti-semitisme). Dalam konteks yang demikian, Hitler semakin menemukan kebijakan pragmatisnya. Bagaimana tidak? Pada waktu itu, teks-teks dan diskursus keislaman, seperti seruan jihad, perang, dan anti-Yahudi, dimanipulasi dan dipolitisasi sedemikian rupa sesuai dengan kepentingan politik Nazi. 

Memang tidak bisa dipungkiri bahwa persaingan ideologi sangat terlihat saat Perang Dunia II. Bangsa Arab menganggap Inggris dan Prancis yang menjadi penguasa di kawasan regional Arab pasca perjanjian Versailles sebagai penjajah. Sedangkan Nazi membenci liberalisme yang diusung Inggris dan Prancis. Mayoritas Arab maupun Nazi sama-sama anti-Yahudi. Tidak heran jika Hitler memanfaatkan kesempatan ini (Mukthi, 2010). 

Meski kedua sejarah yang berlangsung dalam periode Perang Dunia I dan II terlihat sangat ironis. Namun politik tetaplah politik yang selalu menggunakan berbagai cara dalam meraih kekuasaan. 

Referensi

DW. (2017, November 17). Bagaimana Hitler dan Nazi Menggunakan Isu Islam Selama PD II. Retrieved from dw.com.

Gana. (2018, Oktober 23). Islam dan Perang Dunia I (Max von Oppenheim, Pencetus Jihad dari Jerman). Retrieved from Gana Islamika (Mozaik Peradaban Islam).

Mukthi. (2010, September 7). Nazi Muslim. Retrieved from Historia.id.

Oktorino, N. (2017). Bulan Sabit dan Swastika (Kisah Legiun Muslim Soviet Hitler). Jakarta: PT Elex Media Komputindo.

Share:

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on pinterest
Pinterest
Share on linkedin
LinkedIn

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Related Posts