Pulau Buru dan Kehidupan Para Tapol Tahun 1969-1979

Pulau buru merupakan tempat yang dipilih oleh pemerintah Orde Baru untuk menjadi penjara bagi para tahanan politik (Tapol) terkait tragedi G30S 1965. Kehidupan di pulau terbesar di Kepulauan Maluku ini menjadi kisah yang pedih bagi para tahanan. Kisah ini sangat erat kaitannya dengan sejarah kelam PKI yang terus menjadi salah satu kasus yang terus dikaji oleh sejarawan.

Oleh Tamya Purnama

Penyebutan G30S/PKI berawal dari kalangan masyarakat untuk menggambarkan peristiwa kelam pada penculikan tujuh jenderal yang dipimpin oleh Letkol Untung pada tahun 1965. Tragedi bukan hanya terjadi di tanggal 30 September saja, pada tanggal 1 Oktober 1965, dinyatakan bahwa telah terjadi penyiksaan terhadap para jendral yang berujung kematian dan jasadnya dibuang ke sebuah sumur di daerah Lubang Buaya.

Istilah yang digunakan sangat mendoktrin bahwa PKI adalah dalang dibalik semua peristiwa itu. Namun setelahnya, istilah ini pun kemudian diganti menjadi G30S saja tanpa menggunakan kata PKI. Peristiwa G30S juga dimaknai sebagai perebutan tahta kekuasaan antar elit politik, persaingan antara TNI-AD dan PKI, konspirasi politik antara partai komunis dan Amerika Serikat dalam merebut kekuasaan, serta peristiwa perebutan kekuasaan Soekarno dengan ideologi yang dianutnya (Atmaja, 2012: 202). Akibat dari tuduhan-tuduhan yang mengatasnamakan PKI itu, maka terjadilah penumpasan anggota PKI beserta anggotanya.

Banyak anggota PKI yang ditangkap lalu disiksa dan dibunuh. Namun sebagian juga dibiarkan hidup dan dibawa ke pengasingan dengan tujuan meniadakan interaksi dengan masyarakat luar. Tidak hanya mereka saja yang ditangkap. Anggota Gerwani yang dituduh ikut terlibat dalam penyiksaan dan pembunuhan para jenderal pun juga turut ditangkap.  Namun satu hal yang perlu diketahui, bahwa tidak semua anggota PKI dan anggota Gerwani mengetahui rencana pembunuhan itu bahkan terlibat di dalamnya. Selain itu, mereka yang tidak merasa terlibat menjadi anggota PKI dan Gerwani harus terpaksa mengakui telah melakukan perbuatan keji itu. Pembelaan diri saat diinterogasi untuk mengatakan “tidak” tidak berhasil membawa mereka menuju pembebasan.

Berdasarkan pengakuan para eks tapol, mereka meyakini bahwa peristiwa pembunuhan para jenderal hanya dilakukan oleh elit-elit PKI dan bukan sebuah kebijakan yang ditetapkan oleh partai (Atmaja, 2012: 204). Kendatipun, rezim Orde Baru di bawah pimpinan Soeharto tetap teguh dengan tujuannya agar menghapus paham-paham komunis dan orang-orang berhaluan kiri dengan tuntas.

Pemberangkatan Para Tahanan ke Pulau Buru

Setelah terjadinya tragedi pembunuhan para jenderal tahun 1965, para tapol yang berada di pengasingan dipindahkan ke Pulau Buru. Lokasi pengasingan tersebar di berbagai daerah seperti Yogyakarta, Jakarta, Tangerang, Solo, dan Nusakambangan. Pemberangkatan para tapol dilakukan secara bertahap sejak tahun 1969 sampai 1979. Bulan Agustus 1969 sebanyak 850 tahanan, Desember 1969 sebanyak 1.650 dan selama bulan Juli sampai Desember 1979 sebanyak 5000 jiwa (Haryati, n.d: 686).

Awalnya para tapol diberangkatkan menggunakan kereta api. Para tahanan tidak mengetahui mereka akan dibawa ke pengasingan mana. Kereta api tersebut hanya memiliki ruangan kosong tertutup tanpa jendela satu pun. Mereka tidak diizinkan untuk melihat suasana di luar sana. Tidak luput pula para tapol mendapat perlakuan keras dari sejumlah pasukan bersenjata. Mereka dipukul, ditendang, dan diintimidasi. Selain itu, kereta tersebut hanya memiliki satu toilet saja, sedangkan dalam kereta terangkut ratusan orang. Toilet ini ternyata tidak berfungsi. Jatah makanan para tapol hanya lauk seadanya dan tidak layak. Banyak tapol yang kondisi fisiknya semakin memburuk (Haryati, n.d: 687).

Baca Juga :   Pencak Silat dalam Perjalanan Sejarah Indonesia 

Perjalanan selanjutnya mereka diangkut menggunakan kapal Tobelo. Di dalam kapal tersebut para tapol ditempatan pada palka paling bawah dengan kondisi kurang ventilasi sebagai sirkulasi udara, tidak ada tikar, apalagi bantal dan guling. Kendati demikian, selama di perjalanan mereka selalu mendapat perlakuan lebih manusiawi dibandingkan ketika berada di dalam kereta api. Hal tersebut nampak ketika para eks tapol diberi layanan terbaik dari pasukan penjaga, perawatan dari PMI, serta mendapat makanan lezat dan bergizi sehari tiga kali setelah menderita kekurangan makan selama tiga bulan (Suparman, 2006: 120).

Sesampai di Pulau Buru

Para tapol yang sampai di Pulau Buru tidak mendapat sambutan baik dari pasukan Kodam Pattimura. Para pasukan sudah siap untuk menodong senjata dan memberi berbagai siksaan. Mereka menganggap bahwa para tahanan tidak layak mendapat perlakuan baik, meskipun pada kenyataannya tidak semua dari mereka dinyatakan salah. Dari pelabuhan menuju lokasi pengasingan, para tapol dipaksa berlari sepanjang 3 kilometer.

Di pengasingan pertama yakni di Jikuk Kecil, para tapol diberi waktu 3 hari untuk beristirahat sejenak sebelum menuju pengasingan utama yang berada di Namlea. Kondisi pengasingan sangat sepi dan terisolasi jauh dari pemukiman penduduk. Tempat ini juga dikelilingi dengan pagar kawat setinggi kurang lebih tiga meter. Selama tiga hari mereka selalu dihantui rasa gelisah dan was-was. Hari demi hari hanya makan, minum, dan tidur saja. Apalagi setelah mereka mendapat menu makanan seperti di Nusakambangan yang hanya ala kadarnya.

Pulau buru dibagi menjadi 21 unit untuk menampung para tapol beserta keluarganya yang menyusul. Letaknya dekat dengan pesisir pantai, berbeda dengan penduduk asli yang bermukim di pedalaman. Unit 1-3 dihuni para tapol gelombang pertama, unit 4-13 dihuni para tapol gelombang kedua, unit 14-18 dihuni para tapol glombang ketiga, dan sisanya bagi keluarga tapol (Suparman, 2006: 129). Latar belakang para tapol sangat beragam mulai dari orang berstatus penting/tertinggi sampai orang biasa. Terdapat sastrawan besar pula yang terseret dalam pengasingan, yakni Pramoedya Ananta Toer. Beliau mengikuti pemberangkatan ke Pulau Buru pada gelombang pertama.

Selama di Pulau Buru, mereka harus mulai membangun untuk segala keberlangsungan hidupnya. Mereka membangun lahan pertanian, membabat rumput ilalang, menebang pohon, membuat bendungan, membangun jembatan penyebrangan, membangun jalan setapak, membuat saluran irigasi, membuat waduk, sampai membangun tempat peribadahan.

Berdasarkan penuturan para eks tapol dari berbagai sumber, kondisi pada waktu itu bisa dibilang kerja paksa yang kejamnya bahkan melebihi zaman kolonial dulu. Akan tetapi, tidak semua tapol bekerja keras di lapangan. Sebagian dari mereka yang memiliki profesi penting misalnya dokter, mereka hanya selalu dimintai untuk memeriksa kondisi para tapol dan merawat apabila ada yang sakit. Bagi yang bekerja di lapangan pagi hingga malam, mereka harus bekerja mati-matian untuk membangun lahan sawah dan ladang sebagai sumber pangan. Sedangkan peralatan yang disediakan pada waktu itu sangat terbatas seperti linggis, cangkul, parang, dan gergaji. Bahkan di antara mereka yang tidak kebagian alat terpaksa bekerja dengan tangan kosong. Selain itu, tapol tidak diizinkan untuk menggunakan kompas sebagai penunjuk arah ketika bekerja karena dikhawatirkan akan dimanfaatkan para tapol untuk kabur (Herdysta, 2014: 29).

Pekerjaan yang dijalankan secara terstruktur dan dibagi menjadi kelompok-kelompok untuk mengerjakan masing-masing pekerjaan. Singkatnya, Pulau Buru itu pun berhasil disulap dari tanah gersang menjadi lahan berbagai sumber pangan. Jalan-jalan penghubung antara unit satu ke unit lain telah terbangun dengan baik. Selain itu, setiap unit juga telah memiliki hewan ternak hingga puluhan ekor. Berbagai fasilitas publik telah selesai terbangun seperti tempat ibadah, rumah sakit, sampai gedung kesenian. Gedung kesenian inilah menjadi satu-satunya tempat untuk menampilkan berbagai pentas kesenian untuk menghibur para tapol waktu tertentu.

Baca Juga :   Enzo Ferrari Sebagai Simbol Kecepatan dan Rivalitas

Mereka memang dituntut untuk hidup mandiri. Seiring berjalannya waktu, para tapol sudah tidak memikirkan kapan mereka akan pulang dan bebas. Sebagian besar sudah berserah diri kepada sang Tuhan untuk hidup di Pulau Buru selamanya hingga ajal menjemput. Bahkan selama dalam pengasingan itu pun tidak pernah ada ketentuan dari rezim Orde Baru berapa lama mereka akan ditahan.

Pemulangan Eks Tapol ke Pangkuan Keluarga

Ketiadaan hukum Undang-Undang (UU) yang mengatur tahanan politik G30S menjadi salah satu alasan sulitnya pemulangan tapol. Penahanan ini pun dianggap sebagai pelanggaran HAM sebagaimana yang telah tercantum dalam UU No.26/2000 tentang pengadilan HAM (Husain, 2019: 42). Bentuk kekerasan fisik, tindak sewenang-wenang, membatasi gerak hidup para tapol selama di Pulau Buru menjadi alasan kuat atas pelanggaran yang terjadi.

Beberapa dari mereka merasa sedih dan khawatir, serta beberapa dari mereka juga merasa pesimis disebabkan sering dibungkam oleh segala kebohongan para penguasa. Hal pemindahan pengasingan dari satu tempat ke tempat lain. Sehingga, tidak ada lagi kata percaya tentang berita yang beredar tersebut. Selain itu, beberapa dari mereka juga memutuskan tidak akan ikut berangkat pembebasan. Mengingat bahwa KTP mereka tercap dengan tanda ET yang berarti eks tahanan politik. Cap seperti ini tentu saja memberatkan keberlangsungan hidup mereka terutama dalam mencari pekerjaan. Pada akhirnya, mereka yang telah nyaman tinggal di Pulau Buru tetap tinggal disana dan membaur bersama penduduk asli.

Terbukti telah terlaksananya pembebasan para tapol Pulau Buru gelombang pertama yang dilaksanakan pada 20 Desember 1977 (Husain, 2019: 43). Sebelum pemberangkatan dimulai, para tapol diminta untuk mengucapkan beberapa sumpah saat apel. Pemulangan para eks tapol pun dilakukan secara bertahap.

Daftar Pustaka

Baskara T. Wardaya. (2014). Luka Bangsa Luka Kita. Yogyakarta: Galang Pustaka.

Budi Irawanto. (Agustus 2016). Memento dari Pulau ‘Purgatorio’: Membaca sejarah Narasi Hak Asasi Manusia Melalui ‘Memoar Pulau Buru Karya Hersri Setiawan’. Jurnal Pemikiran Sosiologi, 3(2), 1-8.

Dimas Anom Hanang Agus Prakoso. (2015). Dampak Pemberontakan PKI di Jawa Tengah pada Tahun 1965. Skripsi.

H. Suparman. (2006). Sebuah Catatan Tragedi 1965: Dari Pulau Buru Sampai ke Mekah. Ujungberung, Bandung: Penerbit Nuansa Cendekia.

Hamdan Tri Atmaja. (Juli 2012). Tindakan Negara Terkait Peristiwa G30S: studi Makna Gadamerian pada Peselamat. Paramita 22(2), 131-248.

Naomi S.M Lesbatta, Widhi Handayani, dan Pamerdi Giri Wiloso. (2021, 7(1)). Yang Terbuang, Yang Membangun: Studi Perubahan Sosial di Kecamatan Waeapo Kabupaten Buru oleh Eks Orang-Orang Buangan 1969-1979. Anthtropos: Jurnal Antropologi Sosial dan Budaya (Journal of Social and Cultural Anthropology), 45-53.

Onie Herdysta. (2014). Makna Hidup Mantan Tahanan Politik Pulau Buru di Usia Lanjut. Skripsi.

Pusat Data dan Analisa Tempo. (n.d.). Pulau Buru: Tempat Pembuangan PKI. Tempo Publishing.

Sarkawi B. Husain. (2019). “Menjemput Kerinduan Keluarga” Penyelesaian dan Pengembalian Tahanan Politik Pulau Buru ke Masyarakat, 1965-1979. Lensa Budaya: Jurnal Ilmiah dan Budaya, 14(2), 35-50.

Tati Haryati. (3(2)). Tahanan Politik Pulau Buru Maluku (1969-1979). Jurnal Ilmiah IKIP Mataram, 685-690.

Share:

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on pinterest
Pinterest
Share on linkedin
LinkedIn

(1) Komentar

  1. M U Ginting menulis:

    G30 S PKI adalah pencerminan dari Kontradiksi Utama Dunia dalam bidang perpolitikan ketika itu yaitu BARAT demokrasi VS TIMUR sosialis/komunis.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Related Posts