Kebangkitan Ekonomi Nasional Masa Hindia-Belanda Abad XX : Sebuah Studi Gerakan Ekonomi Nahdlatut Tujjar

Kebangkitan ekonomi di kalangan pribumi dimulai dari sebuah gerakan-gerakan yang terstruktur. Imperialisme  dalam bentuk kuno atau modern dijadikan sebagai pasar dari produksinya menimbulkan resistensi yang sangat kuat dari kalangan pribumi khususnya umat Islam. Perlawanan-perlawanan dalam bentuk fisik dalam skala kecil maupun besar terjadi di berbagai wilayah Nusantara. Perlawanan tidak hanya lewat fisik, perlawanan juga dalam dalam bentuk diplomasi-diplomasi dengan berdirinya gerakan di berbagai bidang, salah satunya ekonomi.  Banyak gerakan-gerakan lokal yang muncul dalam menyuarakan perjuangan ekonomi, terutama gerakan pribumi Islam Nahdlatut Tujjar sebagai gerakan kaum santri yang nantinya menjadi cikal bakal berdirinya Nahdlatul Ulama.

Oleh Ahmad Zainuri

Resistensi dalam bidang ekonomi tidak hanya dilakukan oleh para pengusaha atau mereka di kalangan “Islam Modernis”, tetapi juga di kalangan pesantren. Kalangan pesantren dalam sejarah awal imperialisme Belanda merupakan institusi terdepan dalam melakukan perlawanan. Tidak hanya dalam bentuk fisik, tapi juga dalam bentuk pendidikan, ekonomi dan budaya. Namun, juga tidak menutup diri dalam mengadopsi hal-hal yang bisa diambil sebagai pengembang pesantren, misalnya bahasa Belanda yang diajarkan di pesantren Tebu Ireng masa Kh. Hasyim Asyari.

Nahdlatut Tujjar merupakan organisasi perhimpunan pedagang yang dicetuskan oleh KH. Wahab Chasbullah pada tahun 1918. Nahdlatut Tujjar ini merupakan rangkaian menuju cikal bakal berdirinya Nahdlatul Ulama (NU). Nahdlatut Tujjar ini berisi perkumpulan jaringan niaga pedagang Muslim di tiga wilayah jalur strategis (Jombang, Kediri, Surabaya), yang mana KH. Hasyim Asyari sebagai ketuanya dan KH. Wahab sebagai bendaharanya sekaligus penasehat hukum. Adapun latar belakang berdirinya Nahdlatut Tujjar menurut Greag Fealy adalah sebagai respon atas wilayah-wilayah ekonomi para Kiai yang direbut para kelompok modernis. 

Dalam penjelasan lain bahwa Nahdlatut Tujjar memiliki peran penting bagi umat Islam agar tidak selalu menggantungkan perekonomiannya di bawah tekanan kekuasaan kaum kolonialisme. Di samping itu,  umat Islam dari kalangan pesantren juga bisa mandiri dalam hal perekonomian, mengingat kekayaan Nusantara yang harus dinikmati dan dimanfaatkan dengan sepenuhnya. Namun, ketika melihat rakyat pribumi diperbudak secara halus oleh kolonial menjadikan keadaan begitu memprihatinkan kala itu. Para pedagang maupun pengusaha dijadikan alat bagi kolonial untuk memenuhi kebutuhannya setiap hari. Sedangkan rakyat tidak mendapatkan apa-apa. Dari beberapa program seperti VOC, Cultuurstelsel, Politik Etis, semua tidak ada janji yang bisa memberikan kesejahteraan bagi rakyat pribumi.

C:\Users\Administrator\Downloads\hipwee-DJ4keqRUMAAuGhZ.jpg-large-750x471.jpeg
Sumber :https://cdn-image.hipwee.com/

Melihat persoalan tersebut, di kawasan  Jawa Timur tepatnya di daerah Cukir Jombang para pedagang mendirikan Nahdlatut Tujjar. Dorongan secara bersama-sama dalam bentuk wadah Nahdlatut Tujjar ini menjadi salah satu cara untuk menyelesaikan kesengsaraan rakyat pribumi. Nahdlatut Tujjar pada saat itu, berdiri di sekitar para pedagang gula karena pada saat itu di pulau Jawa sangat didominasi oleh hasil-hasil pertanian yaitu tebu, kopi, nila dan juga pabrik gula. Selain itu, kolonial Hindia Belanda juga memfokuskan gula di wilayah Jawa dan beberapa tanaman lainnya. Adapun tujuan berdirinya Nahdlatut Tujjar adalah meningkatkan kepedulian bumiputera untuk bangkit kembali setelah semakin berkurangnya orang pribumi yang belajar syariat Islam. Di sisi lain sekolah-sekolah yang didirikan oleh Belanda tidak menghargai orang beragama artinya di dalam pelajaran sekolah tidak diajarkan tentang Keislaman.

Di sisi lain, berdrinya Nahdlatut Tujjar sesuai Jarkom Fatwa, Nahdlatut Tujjar bahwa berdirinya Nahdlatut Tujjar sebagai respon atas masalah sosial yang semakin akut, seperti malasnya Muslim, merosotnya kepedulian anak muda untuk masa depan bangsa, turunnya minat belajar, tindakan tajarrut kepada para ulama serta kurangnya kepedulian ulama terhadap peningkatan kesejahteraan ekonomi, dan perbudakan diri orang-orang kaya yang bodoh atau penguasa yang dzalim. Jadi, berdirinya Nahdlatut Tujjar tidak semata-mata dikarenakan reaksi dari gerakan ulam, tetapi adalah jawaban atas multikomplek persoalan yang dihadapi oleh umat Islam. Terutama pada mindset kebanyakan umat Islam, dalam hal ini para ulama pesantren yang cenderung abai dalam urusan ekonomi. 

Berdirinya Nahdlatut Tujjar adalah sebuah seruan agar umat Islam tradisi bangkit dalam bidang ekonomi. Tercatat ada 45 anggota yang bergabung dalam Nahdlatut Tujjar. Dari masing-masing anggota terkumpul modal  1.175 gulden. Dari modal yang terkumpul, atas seruan KH. Hasyim Asyari agar usaha yang dijalankan berkutat di bidang pertanian. Selain karena faktor kompetensi para anggota yang lebih memiliki pengalaman di bidang pertanian, pertanian dipilih karena bisnis yang dikembangkan dalam bidang tersebut tidak terpengaruh dengan pasar dunia. Namun, dalam perkembangannya, Nahdlatut Tujjar bergerak juga dalam bidang perkebunan, perdagangan komoditas sandang seperti menjual buah-buahan, kopi, minyak goreng dan lainnya. 

Baca Juga :   Malang Bumi Hangus: Kolaborasi TNI dan Rakyat Dalam Eksistensi Perjuangan di Wilayah Malang

Organisasi ini sudah menerapkan manajemen pengelolaan seperti organisasi modern. Ada pembagian struktur organisasi dan pembagian kerja layaknya sebuah perusahaan. Selain itu, konsep investasi usaha juga telah dikenal dalam bentuk sederhana, yang di era sekarang dikenal sebagai profit share. Dalam evaluasi perkembangan bisnis, Nahdlatut Tujjar mendirikan Darun Nadwah atau semacam balai pertemuan. Di forum tersebut para anggota Nahdlatut Tujjar melaksanakan pertemuan empat kali dalam setahun.

Kemudian muncul sebuah persoalan, kota Jombang, Kediri, dan Surabaya yang menjadi pusat perkembangan bagi Nahdlatut Tujjar mengingat ketiga wilayah tersebut disebut sebagai segitiga emas. Pertama, kondisi Kota Surabaya saat itu merupakan kota perindustrian. Selain itu, Surabaya merupakan kota minyak yang kaya sehingga merupakan pusat perdagangan dunia yang telah menerapkan teknologi paling canggih produk revolusi industri. 

Dalam penjelasan lain, Kota Surabaya  disebut sebagai kota industri yang maju di masa Hindia Belanda dengan banyak pabrik dan perkebunan, terutama pabrik dan kebun gula. Perkebunan tebu untuk pertama kali di Jawa Timur terdapat di Pasuruan ditanami pada akhir abad ke-18 dan berlanjut ke beberapa daerah lainnya dengan berdirinya pabrik-pabrik gula misalnya Buduran, Waru, Karang Bong, dan Ketegan pada tahun 1835. Kemunculan pabrik gula di beberapa tempat tentu menciptakan kesempatan kerja baru di bidang produksi maupun di gudang-gudang penyimpanan gula sehingga menarik tenaga kerja untuk pergi ke Surabaya terutama para kaum pribumi yang beragama Islam. Tidak sedikit pula para kiai pesantren di kota Surabaya banyak terlibat dalam berbagai perdagangan baik antar kota, antar pulau bahkan antar benua. Tidak heran jika KH. Wahab dan KH. Hasyim menggerakkan Nahdlatut Tujjar, karena kestrategisan Surabaya sebagai kota dagang dan industri.

Selain itu juga, Kota Surabaya terdapat beragam etnis yang kaya akan budaya tentunya, seperti Melayu,Tionghoa, India, Arab, dan Eropa. Adapun etnis-etnis di Nusantara seperti, Madura, Jawa, Batak, Bali, Sunda juga turut menghiasi Kota Surabaya. Dari beragamnya etnis itulah Surabaya memiliki beragam bentuk budaya yang saling bertemu dan berbenturan dalam realitas sosial-budaya masyarakat Surabaya. Bahkan dalam realitas sosial ekonomi masyarakat Surabaya yang membentuk karakter dagang etnis Arab di kawasan kota dan dekat dengan pelabuhan, hingga terbentuknya perkampungan Arab, yang dapat ditemui di kawasan Ampel, Surabaya. Di sisi lain, etnis Tionghoa juga turut menghiasi perekonomi di Kota Surabaya.

Kedua, Kota Kediri yang termasuk kota tertua di Jawa Timur dengan berdirinya Kerajaan Kediri yang sekitar abad ke-12 M. Selain itu, dalam perkembangannya setelah ditaklukkan oleh Sunan Giri, Islam pun masuk di Kediri hingga dalam peradabannya Kediri menjelma menjadi kota santri dengan berdirinya lembaga pesantren-pesantren besar termasuk Lirboyo, Ploso yang turut menyimpan kisah sejarah pendidikan klasik Islam di Indonesia. Tidak heran jika banyak ulama dijadikan sebagai panutan masyarakat Kediri dalam belajar dunia agama hingga saat ini

Di masa kolonial, Kediri merupakan wilayah di pedalaman Jawa Timur yang mengalami dinamika perekonomian yang menarik dari kurun waktu yang panjang. Wilayah ini juga memberi kontribusi penting bagi pertumbuhan perekonomian Jawa Timur masa kolonial dan pascakolonial. Demikian pula sebaliknya, perekonomian Kediri juga merasakan pahit getir dan kesukaran yang ditimbulkan oleh guncangan-guncangan eksternal akibat integrasi wilayah ini dalam sistem produksi komersial berorientasi pada jaringan pasar global. Selain itu, peluang-peluang besar yang ditawarkan untuk ikut meraup keuntungan dari perkembangan permintaan pasar global sebagai sumber penopang kemakmurannya.

Ketiga, Kota Jombang yang merupakan kota bersejarah di era abad ke-20, tepatnya tahun 1899 telah berdiri sebuah pesantren yang bernama Tebu Ireng. Pesantren yang didirikan oleh KH. Hasyim Asyari yang nantinya di tahun 1926 dengan beberapa sahabat kiai Jawa mendirikan sebuah perkumpulan yang disebut Nahdlatul Ulama. Jombang disebut juga sebagai kota santri, karena jumlah pesantrennya yang cukup banyak. Di sisi lain, Jombang merupakan kota tidak lepas dari dampak kebijakan liberalisasi ekonomi yang diterapkan Hindia-Belanda sejak terbitnya Undang-Undang Gula tahun 1870. 

Berdirinya dua belas industri gula di Jombang menyebabkan kota ini semakin penuh sesak oleh aktivitas penduduk. Dalam buku Het Nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie menjelaskan bahwa Djombang (ejaan lama) merupakan sebagai kabupaten yang sulit dikendalikan. Dampaknya  tak main-main, kriminalitas semakin merajalela di penjuru kota. Dalam keterangan lain terdapat pembunuhan kepada seseorang sopir gerobak di Pabrik Gula Tjoekir. Kriminalitas yang semakin marak di Jombang membuat Jenderal Hindia-Belanda untuk memutuskan Mojokerto menjadi afdeeling yaitu Mojokerto dan Jombang.

Baca Juga :   Eksistensi Dukun di Hindia Belanda: Persaingan dan Praktiknya

Di desa yang sama yaitu Tjoekir atau Cukir, berdirilah sebuah pesantren pada tahun 1899 oleh KH. Hasyim Asyari. Pada penghujung abad ke-19, di sekitar Tebuireng bermunculan pabrik-pabrik milik Hindia Belanda, terutama pabrik gula. Dari adanya pabrik-pabrik tersebut akan banyak membuka lapangan kerja sehingga banyak kaum pribumi yang dipekerjakan di pabrik gula tersebut. Namun, karena belum siapnya kaum pribumi yang terbiasa dengan upah pertanian kini harus mendapat upah pabrik. Malahan, dari upah pabrik tersebut tidak sedikit di antara mereka menggunakannya sebagai kegiatan yang bersifat konsumtif-hedonis, misalnya budaya judi, minum-minuman keras. Maka, dengan memberanikan diri, KH. Hasyim membeli tanah dan mendirikan tempat belajar. Seiring perkembangannya, dengan berdirinya Nahdlatut Tujjar salah satunya sebagai wilayah yang dilintasi ialah Jombang, kemungkinan besar terdapat alasan kenapa dengan Jombang, yaitu karena manusianya yang selalu membuat kriminal, beragamanya yang rendah, sehingga berindikasi pada sikap dan akhak yang kurang baik. Di sisi lain, terdapatnya pabrik-pabrik gula, merupakan sisi startegis bagi para kiai/ulama seperti KH. Wahab dan KH. Hasyim dalam menyatukan para pedagang Muslim khususnya para kalangan santri dalam membangun ekonomi dengan berdagang. Maka, dengan inisiatif dan realitas tersebut, KH. Wahab di tahun 1918 mendirikan Nahdlatut Tujjar (perhimpunan pedagang) yang diketuai oleh KH. Hasyim Asyari sebagai salah satu wadah dalam membangun ekonomi masyarakat Muslim santri (tradisi) yang waktu itu turut tertinggal dari kelompok Islam modern terutama berfokus di Jawa Timur (Jombang, Kediri dan Surabaya). Selain itu, Jombang sebagai kota yang cukup berlimpah pada sektor pertanian, misalnya padi, palawija, dan ubi-ubian, sekaligus hasil dari kerajinan tangan yang kemudian membuat para Kiai tadi membuat jalur dagang antar kota.

Terhubungnya ketiga kota tersebut merupakan jalur strategis bagi para kiai pada waktu itu dalam mendirikan himpunan dagang tersebut. perspektif ini bertolak dari kondisi para Kiai dalam membangun wadah tersebut, bukan pada umumnya masyarakat di Jawa. DIkarenakan pengagas Nahdlatut Tujjar ialah kalangan kiai, maka dengan lokalitas tertentu dan wilayah/kota tertentu telah menjadi proses perkembangan ekonomi bagi Nahdlatut Tujjar di Jawa Timur. 

Meski demikian, dalam perkembangannya Nahdlatut Tujjar mengalami pasang surut. Pada era pra-berdirinya Nahdlatul Ulama, Nahdlatut Tujjar mengalami kerugian dalam perdagangannya. Hal ini menurut Jarkom Fatwa, karena sebab di tahun berdirinya, ia berada dalam himpitan jatuhnya pertanian di satu sisi dan sisi lain tumbuhnya diversifikasi lahan pertanian menjadi perkebunan. Hal ini diperparah dengan kondisi kota Surabaya yang menunjukkan penurunan pada ekonomi makronya. Meningkatnya Batavia sebagai kota industri meninggalkan kota Surabaya yang menjadi penyebab lainnya. Pun halnya perubahan keseimbangan industri, yang tidak hanya berpusat di Jawa Timur tetapi telah beralih ke Jawa Barat dan Sumatra. Diperkirakan usia Nahdlatut Tujjar bertahan dari 1918 hingga 1926 atau sekitar delapan tahun sebagai organisasi yang menghimpun para pedagang Muslim untuk memperkuat ekonomi umat. Selain menggunakan strategi Nahdlatut Tujjar, para Kiai mendirikan koperasi dari unit pesantren sebagai bentuk strategi membangun ekonomi umat Islam dan membantu bagi masyarakat kalangan bawah. 

Referensi 

Aris Lukman Hakim, Relasi Sosial-Ekonomi Komunitas Arab dan Cina Di Surabaya Tahun 1906-1919, Tesis, (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2020).

Het Nieus van den dag voor Nederlandsch-Indie dalam https://www.delpher.nl/ (02/10/2022).

Hilman Latief & Mukhlis Rahmanto (ed), Genealogi Pemikiran dan Gerakan Ekonomi Islam di Indonesia: Konsepsi Keadilan dan Proyeksi Kebangsaan, (Yogyakarta: PT. Litera Cahaya Bangsa, 2021).

Isno el Kayyis, Masyarakat Islam Nusantara vs Kolonialisme: Sejarah Pribumi dan Kaum Santri Melawan Hegemoni, (Yogyakarta: Pustaka Ilmu, 2018).

Jarkom Fatwa, Sekilas Nahdlatut Tujjar, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2004).

Samidi, “Surabaya sebagai Kota Kolonial Modern pada Akhir Abad ke-19 Industri, Transportasi, Permukiman, dan Kemajemukan Masyarakat”, Jurnal Mozaik Humaniora, Vol. 17, No. 1, 2017.

Sejarah Tebuireng, dalam https://tebuireng.online/sejarah/ (02/10/2022).

Soffy Amaliyah Solihah, Sejarah Nahdlatut Tujjar dalam Membangun Perekonomian Umat Islam Awal Abad 20, Skripsi, (Surabaya: UIN Sunan Ampel, 2019).

Tim Penyusun, Membangun Kemakmuran di Pedalaman: Bank Indonesia dalam Perkembangan Ekonomi Kediri, (Jakarta:Bank Indonesia Institut, 2022).

Share:

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on pinterest
Pinterest
Share on linkedin
LinkedIn

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Related Posts