Legalisme Han Fei dengan Kerajaan Qin Serta Filosofi Pemerintahan Tiongkok  

Han Fei adalah bapak filsafat Legalisme. Dia lahir dan hidup pada tahun 280-233 SM. Pada zaman tersebut sedang terjadi perang tujuh negara di Tiongkok yaitu Qin, Zhao, Qi, Han, Chu, Yan, dan Wei. Han Fei adalah  pangeran kerajaan Han. Di akhir masa tersebut, Kerajaan Qin menguasai seluruh Tiongkok. Qin Shi Huang, kaisar dari Qin merupakan salah satu orang yang memegang filosofi tersebut. 

Oleh Jethro Johansson

Pada masa perang tujuh negara, semua negara ingin menunjukkan keunggulan mulai dari teknologi perang, taktik, logistik, pasokan, dan juga ide-ide baru. Dari masa ini filosofi-filosofi baru juga diterima, salah satunya legalisme. Tokoh penting dalam filosofi ini adalah  Li si dan juga Han Fei. Li si dan Han Fei adalah murid dari sekolah legalisme tertinggi di masa tersebut. Li si adalah tokoh yang pertama kali membawa ligalisme ke kerajaan Qin. Dalam legalisme, mitokrasi sangat penting, oleh karena itu Li si mulainya juga dari bawah.

Sebelum Qin Shi Huang naik takta, ada pewaris yang bernama Lu Buwei. Pada tahun 239 SM Lu Buwei ingin mencari orang-orang intelektual untuk menulis bukunya yang berjudul Lüshi Chunqiu tentang ringkasan ensiklopedia dari ide-ide. Disinilah Li Si datang ke kerajaan Qin dan Lu Buwei menyambutnya dengan baik. Meskipun Lu Buwei mengakui bahwa Li si itu mahir, filsafat mereka saling bertentangan. Dikarenakan Lu Buwei sangat menghargai Li Si, Ia akhirnya memberi Li Si jabatan di istana. Setelah beberapa tahun Li Si menjadi tangan kanan Qin Shi Huang. 

Saat Li Si menjadi tangan kanan Qin Shi Huang, ideologi Qin Shi Huang berubah menjadi legalisme. Kaisar tersebut memilih filsafat legalisme karena pengalaman pribadinya. Sebelum Qin Shi Huang benar-benar menguasai takta, Ada sebuah skandal yang akhirnya menjatuhkan Lu Buwei dan juga Queen Dowager. Skandal tersebut disebabkan oleh orang kasim bohongan di dalam kalangan Queen Dowager.

Lao Ai adalah kasim tersebut. Melalui koneksinya, ia bisa mendekati Queen Dowager. Disana Lao Ai memiliki dua anak bersama Queen Dowager dan mereka menyembunyikannya dari Qin Shi Huang. Saat situasi semakin panas, Lao Ai merancang pemberontakan dengan bantuan dari negara luar dan mencuri segel dari Queen Dowager. Disinilah Qin Shi Huang hampir mati dan Lao Ai hampir berhasil menguasai Qin. Di akhir pemberontakan Qin Shi Huang memenangkan perlawanan dan menghukum Lao Ai dengan ditarik lima kuda. Sedangkan untuk konspirator lainnya dibelah dua serta menghukum mati dua anak Lao Ai dan Queen Dowager. Anak tersebut hidup akan membahayakan takta Qin Shi Huang. Lu Buwei akhirnya diasingkan dan mengakhirinya dengan bunuh diri. Setelah revolusi ini, Qin Shi Huang menguasai semua otoritas dan hal ini menjadi pelajaran bagi hidupnya.

Selama situasi revolusi terjadi, Li Si mendekati Qin Shi Huang dengan filsafat legalisme yang membuat kaisar berdecak kagum dengannya. Li Si juga mempunyai teman yang ia akui jauh lebih ahli legalisme dan orang tersebut adalah Han Fei. Pertemuan Han Fei dengan Qin Shi Huang adalah kisah paling penting dalam biografi ini.

Percakapan antara Qin Shi Huang dan Han Fei itu tidak tercatat, tetapi Han Fei menulis buku Han Feizi yang isinya penuh dengan cara pemikirannya dan kutipannya. Dari sinilah mungkin kita bisa membuat sebuah rekonstruksi. Pertama adalah “Berbahaya bagi seorang penguasa untuk mempercayai orang lain. dia yang mempercayai orang lain dapat dimanipulasi oleh orang lain.” Melalui pengalaman Qin Shi Huang dengan Lu Buwei dan Queen Dowager, kutipan ini sangat benar, karena Qin Shi Huang telah dimanipulasi kedua orang tersebut. Kedua adalah  “Dalam batas-batas suatu negara, tidak lebih dari sepuluh orang yang berbuat baik bagi diri mereka sendiri, sedangkan jika satu orang  membuatnya agar rakyat tidak berbuat salah, seluruh negara dapat tetap damai.” Sebagai Kaisar, kewajiban Qin Shi Huang untuk menjaga kedamaian. Ketiga adalah “Jalan seorang penguasa yang tercerahkan adalah membuatnya sehingga tidak ada menteri yang dapat membuat proposal dan kemudian gagal mencocokkannya dengan tindakan dan hasil.” Qin Shi Huang ingin menguasai seluruh Tiongkok sehingga kutipan ini sangat penting bagi kompetensi dan tujuan negara. Tentunya filsafat inilah sangat cocok dengan tujuan dan pengalaman Qin Shi Huang sehingga ia memegang filsafat tersebut dengan kuat.

Baca Juga :    Pertahanan Kaum Muslimin Kuomintang pada Perang Saudara Tiongkok

Sayangnya kehidupan Han Fei berakhir setelah pertemuan ini. Dia terlalu loyal dengan kerajaan Han, sehingga Qin Shi Huang terpaksa memenjarai Han Fei meskipun filsafatnya sangat menekan keras Qin Shi Huang. Han Fei di dalam penjara meninggal karena bunuh diri dengan racun. Ada juga rumor yang mengatakan, Qin Shi Huang mengubah hati dan coba membebaskan Han Fei, tetapi ia telah diracuni Li Si. Warisan Han Fei terakhir adalah buku yang bernama Han Feizi. Han Fei adalah tokoh yang menyempurnakan legalisme.

Hasil kerja Han Fei terus bergerak dalam diri Qin Shi Huang. Kekaisaran Qin meraih tujuan-tujuan hebat melalui filosofi legalisme. Sebelum Qin menaklukan enam negara lain, ia membangun sebuah kanal untuk mengairi areal pertanian yang menjadi sumber pangan prajurit dan juga orang Qin. Shi Lu adalah orang dari kerajaan Han yang memberi proposal membuat kanal yang menghubungkan sungai Xiang dan Li. Kanal tersebut bernama Ling Qu dan sekarang merupakan salah satu warisan dunia. Melalui irigasi yang bertumbuh, bahan pangan Qin melimpah dan rakyat bisa hidup sejahtera. Caranya yang tidak mendiskriminasi orang melalui asal lahirnya dan juga menilai tinggi hasil kerja, pemerintahan Qin penuh orang kompeten seperti Shi Lu, Li si, Jenderal-jenderal Qin, dan masih banyak lagi. Selain kan Ling Qu , Qin juga mencapai masa keemasan dengan memulai pembangunan Tembok Besar Tiongkok, Prajurit Terakota, Pemakaman Qin Shi Huang, dan menguasai seluruh Tiongkok. 

Meskipun di zaman Han Wudi legalisme diganti dengan Konghucu sebagai filosofi negara, legalisme tetap memengaruhi konstitusi di masa depan. Dinasti Han menggantikan Qin, tetapi sistem pemerintahan legalis tetap sama. Dinasti Sui mengadopsi sistem dari Han, lalu Dinasti Tang mengadopsi sistem dari Sui. Warisan paling penting dari legalisme bukanlah moralnya, karena legalisme kurang dalam hal moral. Warisan terpenting adalah sistem pemerintahannya, semua konstitusi pasti hukumnya punya filsafat ini. PRC yang sekarang menguasai Tiongkok adalah contoh sistem pemerintahan legalisme yang bagus. PRC membangun tidak kurang dari 37.900 kilometer (sekitar 23.500 mil) jalan kereta cepat menghubungkan semua klaster mega-kota utama, dan semuanya telah selesai sejak 2008. Setengah dari total itu telah diselesaikan dalam lima tahun terakhir saja, dengan selanjutnya 3.700 kilometer akan dibuka dalam beberapa bulan mendatang di tahun 2021 berdasarkan artikel yang dimuat di CNN edisi 9 februari 2022. Sedangkan di Amerika Serikat tepatnya di California, jalan kereta cepat disetujui bertahun-tahun, lalu sekarang anggarannya berubah dari 33 miliar ke 100 miliar USD.

Tanpa filsafat legalisme, Tiongkok tidak akan pernah menjadi negara yang bisa maju dan mencapai hal-hal mustahil dari dinasti Qin hingga PRC sekarang. Meskipun Han Fei meninggal pada 233 SM, semua argumentasi dalam bukunya masih berlaku hingga sekarang. Perbedaannya adalah kata penguasa diganti dengan negara. Filosofi legalisme Han Fei tidak terkalahkan, karena itu ia memiliki julukan Bapak Legalisme. Beberapa hal-hal baik dalam filsafat legalisme dapat diadopsi di Indoneisa. Perkataan Han Fei yang menyatakan “Jika ada satu orang berbuat baik/membenarkan jalur masa depan, negara akan lebih damai.” Perkataan ini bisa menjadi pelajaran bagi negara Indonesia agar lebih tegas menghukum koruptor, memastikan otoritas utama dalam demokrasi adalah kesejahteraan masyarakat, dan juga memberi kesempatan berbakat untuk membangun sesuatu baru dengan kompeten dan berhasil seperti Shi Lu dengan Kanal Ling Qunya. Sayangnya negara Indonesia kurang mempunyai budaya menulis sehingga kita sebagai orang Indonesia kurang mempelajari sejarah Indonesia sangat sedikit, tidak seperti negara Eropa, Arab, dan juga Tiongkok. Dalam masa digital semua yang terjadi pasti terekam, karena itu kita harus tetap mencari untuk menemukan lagi sejarah-sejarah lama kita seperti Majapahit, Sriwijaya, dan lain-lain.

Baca Juga :   Nasionalisme Cina di Indonesia: Doktrin Sun Yat Sen dalam Gerakan Anti Jepang Etnis Tionghoa di Makassar

References

Goldin, P. R. (2011). Persistent Misconceptions about Chinese “Legalism”. Journal of Chinese Philosophy, 38(1), 88-104.

HanFei. (2003). HanFeiZi (B. Watson, Trans.). Columbia University Press.

http://www.chinaknowledge.de/History/Zhou/personslaoai.html

https://edition.cnn.com/travel/article/china-high-speed-rail-cmd/index.html

https://www.britannica.com/biography/Lu-Buwei

https://whc.unesco.org/en/tentativelists/5814/

https://www.britannica.com/biography/Qin-Shi-Huang

https://www.worldhistory.org/Warring_States_Period/

Share:

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on pinterest
Pinterest
Share on linkedin
LinkedIn

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Related Posts