Menggugat Hegemoni Amerika Serikat

Tidak dapat dipungkiri bahwa eksistensi Amerika Serikat memiliki signifikansi pengaruh bukan hanya menyangkut jalannya sistem ekonomi-politik dunia, tetapi juga kelangsungan hidup umat manusia. Amerika Serikat selalu menjadi suatu topik bahasan yang menarik dan tidak pernah absen dalam diskusi serta dialektika diskursus politik, terutama bahasan geopolitik dan geoekonomi. Hal ini tidak mengherankan, mengingat Amerika Serikat adalah negara dengan kekuatan ekonomi dan politik-pertahanan yang amat superior dibandingkan dengan negara lainnya, atau disebut juga super power country. 

Oleh Adrian Aulia Rahman

Untuk mengerti dan memahami secara lebih holistik dan komprehensif kemunculan Amerika Serikat sebagai suatu negara yang memiliki kekuatan tak tertandingi dalam kancah politik dunia, kita harus mempelajari sejarahnya. Negara yang baru merdeka dari imperialisme Inggris pada 1776 ini, tidak tiba-tiba atau secara instan menjadi negara super power seperti sekarang. Perjalanan Amerika Serikat dalam mengukir sejarahnya melewati jalan yang terjal dan penuh dengan rintangan bahkan konflik. Mulai dari perang revolusi kemerdekaan melawan Inggris, Perang Sipil (1861-1965), hingga keterlibatannya dalam great war yaitu Perang dunia I (1914-1918) dan Perang Dunia II (1939-1945), serta  konflik lainnya.

Dari sekian banyaknya rongrongan dalam perjalanan sejarahnya, Amerika Serikat masih mempertahankan eksistensinya sebagai negara demokrasi yang berdaulat di dunia. Untuk lebih memahami Amerika, tentu kita perlu mempelajari sejarah lengkapnya dari mulai berdirinya hingga saat ini. Namun, menurut Noam Chomsky, Perang Dunia II menjadi tapal batas yang menentukan. Chomsky menerangkan bahwa kekuatan Amerika Serikat pasca perang dunia II begitu superior dan dominan, bahkan Amerika menguasai hampir 50 persen atau setengah dari kekayaan dunia (Chomsky, 2017). 

Amerika muncul sebagai pemenang perang dengan superioritas kekuatan ekonomi dan dominasi politik. Munculnya Amerika Serikat sebagai negara adidaya dunia, menurut sejarawan Goefrey Warne, sesuai dengan rencana Presiden Franklin D. Roosevelt yang menginginkan hegemoni Amerika Serikat pasca perang (Chomsky, 2017). Sejarah membuktikannya dengan sejarah dunia yang memasuki masa perang dingin antara blok komunis yang dipimpin Uni Soviet dan blok kapitalisme-liberal yang dipimpin Amerika Serikat. Periode perang dingin adalah perebutan hegemoni politik yang didalamnya kita dapat melihat manuver kedua belah pihak, terutama AS yang melanggengkan kedigjayaan dan hegemoninya dengan menghancurkan pesaingnya. Bagaimana Amerika membangun konsolidasi untuk mempertahankan hegemoninya? Apakah hegemoni kokoh tak terusik dan sulit disingkirkan? Saya akan memaparkannya dalam tulisan ini.

Amerika serikat sang adidaya

Pada tahun 1948, kepala staf perencanaan Departemen Luar Negeri AS, George Kennan menulis sebuah dokumen penting yang menggambarkan rencana besar politik luar negeri Amerika Serikat serta strategi mencapainya. Dokumen tersebut adalah Policy Planning Study 23 (PPS 23). Dokumen tersebut merupakan salah satu dokumen yang sangat rahasia, tetapi Noam Chomsky dalam tulisannya berhasil menuangkan inti dari dokumen tulisan Kennan tersebut. Adapun penggalannya, “Kita menguasai sekitar 50 persen kekayaan dunia, tetapi hanya 6,3 persen dari total populasi dunia. Dasar situasi seperti ini, tidak bisa tidak, kita menjadi objek dari rasa cemburu dan benci.” Lebih jauh lagi, Kennan dengan gamblang menjelaskan perlunya untuk mempertahankan disparitas yang ada, artinya mengukuhkan superioritas serta hegemoni Amerika (Chomsky, 2017).

Pandangan pragmatis dan oportunis tergambar dalam tulisan Kennan tersebut guna melanggengkan hegemoni Amerika Serikat di dunia. Hal itu tergambar dalam penggalan “Kita harus berhenti bicara tentang hal-hal yang kabur dan tujuan samar-samar seperti hak asasi manusia, peningkatan standar kehidupan, dan demokratisasi.” mudah ditafsirkan bahwa dengan melanggar hak asasi manusia atau menentang demokrasi pun, selama itu dapat berpengaruh pada langgengnya kekuasaan dan hegemoni Amerika Serikat maka hal tersebut tidak menjadi masalah. 

Baca Juga :   Barry Seal: Kaki Tangan DEA Sekaligus Kolega Pablo Escobar

Pragmatisme AS yang tergambar dalam Policy Planning Study 23 tentu bertentangan dengan nilai-nilai ideal demokrasi liberal. Nilai-nilai kebebasan yang diperjuangkan Thomas Jefferson terutama menyangkut HAM, cita-cita emansipasi dan demokrasi Abraham Lincoln, atau impian demokratisasi massif Presiden Woodrow Wilson pasca perang dunia I (Heywood, 2016). Cita-cita idealistis tentang HAM ataupun demokrasi bisa dan ‘harus’ dibatalkan untuk kelanggengan Amerika dengan superioritas dan hegemoninya. Itulah kesimpulan yang dapat diambil dari gagasan George Kennan.

Pertanyaan kemudian, wajarkah Amerika Serikat memiliki semacam ambisi berkuasa dan secara de facto ingin menjadi pemimpin sekaligus pengendali dunia? Terdapat beberapa pandangan. Apabila kita melihatnya secara realistis, Amerika dengan kekuatan yang begitu superior secara politik maupun ekonomi, yang bahkan menurut Chomsky belum ada satu negara pun yang bisa menyaingi keunggulan AS, ambisi dan cita-citanya untuk menjadi penguasa dunia adalah sesuatu yang wajar. Namun, apabila kita menjunjung tinggi egalitarianisme dan multilateralisme dalam percaturan politik internasional, maka ambisi dan cita-cita Amerika untuk menguasai dunia tentu akan merusak nilai-nilai multilateralisme dan kesetaraan global yang akhirnya akan menajamkan kesenjangan.

Pandangan-pandangan intelektual Amerika Noam Chomsky sangatlah menarik. Melalui tulisan-tulisannya, Chomsky dengan kritis dan tajam mengkritik habis Amerika serikat dari kebijakan politik luar negerinya yang oportunistik maupun ambisinya untuk jadi hegemon dunia. Dua karya utamanya How World Works dan Who Rules the World, berisikan tulisan kritis Chomsky yang menguliti kebijakan-kebijakan Amerika yang oportunistik dan menyalahi nilai-nilai luhur demokrasi dan humanisme. 

Tidak perlu dirinci satu persatu dalam tulisan ini, bagaimana ‘dosa’ Amerika di negara-negara yang dikorbankannya untuk melanggengkan hegemoninya, terutama pada masa perang dingin. Namun, salah satu yang menarik adalah, bagaimana Amerika dengan ‘tanpa berdosa’ melanggar pilar-pilar demokrasi universal untuk kelanggengan hegemoninya. Peristiwa kudeta 1953 di Iran misalnya, Perdana Menteri Mohammad Mossadeq yang dipilih secara demokratis digulingkan dan digantikan oleh rezim monarki yang pro AS, Syah Reza Pahlevi. Fakta ini termaktub dalam dokumen resmi CIA yang telah dipublikasikan. Bukan hanya dokumen CIA, mantan menteri luar negeri Presiden Bill Clinton, Madeleine Albright secara gamblang menjelaskan peran AS dalam kudeta militer 1953 di Iran tersebut. 

Kasus lainnya adalah dukungan secara non-kompromi Amerika Serikat terhadap rezim militer Soeharto. Jenderal Soeharto yang secara de facto menjadi presiden Indonesia pada 26 Maret 1968, menjadi rezim yang politik luar negerinya lebih pro Amerika ketimbang rezim Soekarno yang lebih pro blok komunis dalam percaturan perang dingin saat itu. Implikasinya, rezim orde baru Soeharto mendapatkan dukungan penuh dari Amerika Serikat walaupun Sang Jenderal memerintah dengan tangan besi yang sarat akan otoritarianisme dan kontra-demokrasi, juga pelanggaran HAM yang nyata. Namun hal itu bukanlah persoalan untuk AS, selama rezimnya itu menguntungan bagi kepentingan negaranya, maka rezim pelanggar HAM dan demokrasi paling ulung pun didukungnya. 

Akankah hegemoni Amerika Serikat berakhir?

Pergantian hegemoni kekuatan politik global pada dekade pasca perang dunia kedua, yaitu munculnya AS sebagai superpower global menggantikan Inggris, Perancis dan Jerman, telah membuat peta dan keseimbangan politik dunia berubah. Bahkan dunia sempat mengalami suatu periode sejarah politik yang amat polaristik, yang kita kenal dengan istilah Perang Dingin antara Amerika Serikat dan Uni Soviet. Namun pada akhir dekade 80 dan awal 90, terjadi suatu yang oleh Francis Fukuyama disebut krisis otoritarianisme sekaligus krisis komunisme, maka Uni Soviet runtuh dan terpecah.

Munculnya Amerika menjadi satu-satunya kekuatan dunia, baik dari segi politik-ekonomi maupun militer, telah membuat keseimbangan global semakin jauh untuk dicapai. Namun kemudian timbul suatu pertanyaan, akankah impian idealistis terciptanya suatu tatanan global yang lebih egaliter akan tercapai? Egaliter disini dapat dipahami sebagai suatu keadaan yang sistem ekonomi dan politik internasional tidak tersentralistik pada kendali negara adidaya, termasuk Amerika. Artinya, inklusivitas dalam pengambilan berbagai keputusan global harus semakin meningkat. 

Baca Juga :   Pemikiran Teologi Pembebasan Dalam Perspektif Hasan Hanafi 

Berbicara mengenai hegemoni kita tentu akan menyinggung buah pikir dari salah satu intelektual Marxis terkemuka yang berasal dari Italia, yakni Antonio Gramsci. Ide Gramsci tentang hegemoni, selain dapat digunakan untuk analisis ekonomi, juga sangat berguna untuk membedah dan menganalisis hubungan antar-bangsa (international relations). Teori hegemoni Gramsci pada esensinya memang sebuah teori analitik yang membongkar bagaimana kapitalisme menghegemoni tatanan sosial masyarakat, yang mana masyarakat secara tidak sadar dipaksa patuh pada sistem hegemonic yang ada. Namun apabila dilihat dalam perspektif hubungan internasional, hegemoni menunjukan keberadaan suatu negara adikuasa yang sentralistik, yang menghegemoni tatanan internasional. Hal ini saya rasa tepat untuk menggambarkan Amerika Serikat pasca perang dunia II, terlebih pasca berakhirnya perang dingin.

Kembali ke pertanyaan semula, apakah hegemoni AS akan menemui akhirnya? Pertanyaan itu tidak sebatas sampai disana, karena kemudian bagaimana tatanan politik global apabila kedigdayaan AS berakhir? Siapa negara yang akan menerima estafet gelar sebagai hegemoni global? Apabila merujuk pada analisis Francis Fukuyama, seorang ilmuwan politik ternama di media economist, hegemoni AS mulai berakhir ketika terlibat dalam dua perang kontra-pemberontakan yakni invasi Irak dan Afganistan, serta krisis keuangan yang berdampak pada ketidaksetaraan yang ditimbulkan oleh globalisasi yang dipimpin AS. Fukuyama juga membubuhkan pendapatnya, bahwasannya puncak hegemoni AS adalah pada saat runtuhnya tembok Berlin 1989 dan krisis keuangan 2007-2009.

Selain analisis Fukuyama di atas, memudarnya hegemoni AS ditandai juga dengan terbentuknya blok baru ekonomi dunia yang dikenal dengan sebutan BRICS. BRICS merupakan sebuah ikatan kerjasama multilateral antara Brazil, Rusia, India, China dan Afrika Selatan. Ikatan kerjasama BRICS ini secara langsung menjadi tandingan kekuatan ekonomi AS dan sekutunya Uni Eropa. Pembahasan mengenai BRICS sudah dituangkan dalam karya tulisan saya berjudul Eksistensi BRICS: Blok Baru Kekuatan Politik dan Ekonomi Dunia. Namun initinya, keberadaan BRICS ini menjadi salah satu indikator memudarnya hegemoni dan pengaruh AS dalam tatanan ekonomi-politik dunia.

Selain persoalan-persoalan yang dibahas di atas, krisis geopolitik di Eropa timur yakni perang Rusia-Ukraina yang belum juga usai, apabila dianalisis secara lebih holistik buktikan pula bahwa hegemoni AS atau barat secara keseluruhan memang mendekati akhir. Sebagai akhir dari tulisan ini, saya berpendapat bahwasannya tatanan internasional yang ideal, yang mana egalitarianism dijunjung tinggi dan terdapat inklusivitas, tanpa ketimpangan yang tajam adalah harus bisa diwujudkan. Amerika Serikat tidak bisa dan tidak boleh terus-terusan mencengkramkan pengaruhnya pada tatanan global, yang berimplikasi pada terciptanya ketimpangan yang tajam, intervensi ekonomi-politik yang merugikan dan kesetaraan global yang sukar dicapai. Hegemoni AS harus digugat dengan menciptakan tatanan ekonomi-politik dunia yang lebih multilateralis dan inklusif.

Daftar Pustaka

Chomsky, Noam. 2017. How the World Works. Yogyakarta: PT. Bentang Pustaka. 

Chomsky, Noam. 2017. Who Rules the World?. Yogyakarta: PT. Bintang Pustaka.

Heywood, Andrew. 2016. Ideologi Politik: Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Pustaka pelajar.

Noroyono, Bambang. 2013. AS Mengaku Sebagai Dalang Kerusuhan Iran pada 1953. Republika.co.id

(https://internasional.republika.co.id/berita/internasional/global/13/08/20/mrtmdi-as-mengaku-sebagai-dalang-kerusuhan-iran-pada-1953)

Rosamond, Ben. Hegemony: Definition, Theory & Facts. Britanncia.com

(https://www.britannica.com/topic/hegemony)

Fukuyama, Francis. 2021. Francis Fukuyama on the end of American hegemony. The Economist.

(https://www.economist.com/by-invitation/2021/08/18/francis-fukuyama-on-the-end-of-american-hegemony

Share:

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on pinterest
Pinterest
Share on linkedin
LinkedIn

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Related Posts