Jejak Kehidupan, Pemikiran, dan Kontribusi Lafran Pane

Pada tanggal 5 Februari tahun 1922, sebuah wilayah di Padang Sidempuan mendapat karunia dari Sang Kuasa. Seorang anak dari tokoh terkenal bernama Sutan Panguruban Pane dilahirkan di dunia ini. Anak tersebut kemudian diberi nama dengan Sutan Pane. Kelak Sutan Pane menjadi salah satu tokoh intelektual Muslim di Indonesia. Sutan lahir dari keluarga cendekiawan. 

Oleh Rina Mutoharoh

Ayahnya, Sutan Panguraban  adalah seorang penulis dan wartawan. Selain itu, ayahnya juga bekerja sebagai Direktur Oto Dinas Pengangkutan (ODP) yang berpusat di Sipirok, Sumatera Utara (Satria, 2010). Lafran merupakan anak keenam dari pasangan Sutan Panguraban dengan isterinya yang pertama. Ia juga memiliki dua saudara seayah yang didapatkan dari pernikahan ayahnya dengan istri keduanya. Sejak usia dua tahun, Sutan telah ditinggalkan oleh Ibundanya. Ia kemudian diasuh oleh Sang Nenek, dengan dampingan Sutan Panguraban. Saat kecil, Sutan merasa kurang cocok dengan ibu tirinya. Oleh karena itu, ia memilih untuk tinggal bersama sang nenek. 

Masa kecil yang dihabiskan tanpa seorang ibu, membuat Lafran mengalami rasa rendah diri. Hal tersebut yang membuat ia dianggap sebagai anak yang nakal. Bahkan, beberapa kali berpindah sekolah dasar  karena dikeluarkan dari sekolah. Tercatat, beberapa sekolah dasar pernah disinggahinya seperti Pesantren Muhammadiyah Sipirok, Sekolah Dasar Tiga Tapanuli Tengah, HIS Muhammadiyah (Satria, 2010). Setelah kembali ke kampung halamannya, Lafran melanjutkan sekolah menengahnya di Taman Antara, Taman Siswa Sipirok, dan kemudian pindah ke Taman Antara dan Taman Dewasa di Medan.

 Melihat kondisi Lafran, atas saran saudara-saudara sekandung, yaitu Armijn Pane dan Sanusi Pane, Lafran pindah ke Batavia. Harapannya, agar ia bisa belajar lebih serius di Ibu Kota. Sayangnya, hal tersebut belum mampu mengubah seorang Lafran. Lafran pernah menjadi penjual tiket bioskop. Bahkan, di Batavia ia tergabung dalam sebuah “geng” bernama Zwarte Bende (Satria, 2010, 44). Ia pernah merasakan tinggal di jalanan, emperan toko, bersama anak-anak lainnya. Lebih memprihatinkannya lagi adalah Lafran pernah beberapa kali berhubungan dengan meja hijau karena keributan yang diakibatkan oleh “geng” nya tersebut.

Titik balik seorang Lafran adalah saat ia kembali ke kampung halaman pada tahun 1942. Saat itu, Jepang menjajah Indonesia, dan Lafran yang berprofesi sebagai pokrol dituduh sebagai pemberontak oleh Jepang. Lafran dijatuhi hukuman mati oleh pemerintah Jepang. Namun, karena negosiasi dari sang ayah, Lafran mampu terbebas dari hukuman tersebut, dengan konsekuensi meninggalkan kampung halamannya. Hingga pada tahun 1943, Lafran memulai pengembaraan terbarunya menuju Batavia. Sejak saat itu, Lafran mulai sadar akan hakikat kehidupa, dan berusaha untuk berubah menjadi manusia yang lebih baik.

Sejak pengembaraannya yang kedua itu, Lafran memulai perjalanan intelektual dengan lebih serius dengan masuk di Sekolah Tinggi Islam (STI) di Jakarta. Berpindahnya Ibu Kota dari Jakarta menuju Yogyakarta, membuat STI juga pindah menuju Yogyakarta. Begitu pula dengan Lafran, ia meninggalkan semua pekerjaanya yang ada di Batavia dan hijrah menuju Yogyakarta. Di kota tersebut, Lafran menunjukkan keseriusannya dalam belajar. Bahkan ia menjadi ketua III senat mahasiswa dan menjadi inisiator berdirinya Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Dari sinilah perjalanan intelektual seorang Lafran mulai berjalan. Ide, pikiran, dan konsep mengenai keindonesiaan dan keislaman, dituangkan dalam himpunan tersebut. Sebelum lulus dari STI, Lafran pindah ke Akademi Ilmu Politik (AIP) pada April 1948. Setelah Universitas Gadjah Mada menjadi universitas negeri, AIP masuk dalam fakultas Hukum, Ekonomi, Sosial Politik (HESP), dan Lafran otomatis menjadi mahasiswa UGM. Tercatat, Lafran merupakan mahasiswa yang pertama tama lulus dan mendapatkan gelar sarjana dari UGM. Lafran menjadi salah satu sarjana Ilmu Politik pertama di Indonesia.

Baca Juga :   Kerajaan Tarumanegara: Dari Pengendali Banjir Sampai Agama Kotor

Dalam perjalan hidupnya, Lafran terkenal sebagai pribadi yang sederhana. Bahkan, saat dirinya menjadi seorang dosen dengan gelar Profesor, ia selalu pergi ke kampus menggunakan sepeda onthel. Pernah suatu ketika sepeda milik Lafran disembunyikan oleh mahasiswanya. Hal tersebut bertujuan agar Prof. Lafran tidak lagi naik sepeda saat berangkat menuju kampus. Sayangnya, usaha tersebut menuai kegagalan. Lafran membeli sepeda baru dan ia gunakan setiap hari menuju kampus, sedangkan sepeda lamanya, ia berikan kepada mahasiswa yang telah menyembunyikan sepedanya. Lafran juga terkenal sebagai orang yang sabar, teguh akan prinsip, serta tidak silau akan jabatan atau pangkat. Ia merupakan seorang yang sederhana dan bersahaja, hal tersebut terbukti dari kehidupan keluarga Lafran Pane. Keluarganya berkali-kali pindah menyewa rumah, dan hidup dalam kesederhanaan.

Salah satu bukti lainnya dari seorang Lafran yang sederhana dan tidak gila jabatan tersebut adalah, bahwa ia mengganti tanggal lahirnya dari 5 Februari 1942 menjadi 12 April 1922. Hal tersebut dikarenakan, tanggal lahirnya sama dengan tanggal lahirnya HMI. Ia tidak mau dispesialkan, sehingga kemudian, ia berani mengubah tanggal kelahirannya.

Pemikiran Lafran Pane

Dalam skripsi yang berjudul “Pemikiran Lafran Pane Tentang Intelektual Muslim Indonesia” Hariqo Wibawa mengungkapkan, bahwa terdapat beberapa pemikiran seorang Lafran Pane mengenai Intelektual Muslim Indonesia. Sebagian besar pikiran Lafran Pane, kemudian ia tuangkan dalam sendi-sendi tujuan berdirinya Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).  Diantara pemikiran Lafran Pane adalah sebagai berikut:

  1. Keyakinan Intelektual Muslim Indonesia dan Kesempurnaan Ajaran Agama Islam.

Seorang Lafran, yakin betul jikalau Islam merupakan ajaran yang sempurna. Oleh karena itu, salah satu tujuan Lafran mendirikan HMI adalah untuk mengenalkan kesempurnaan Islam, utamanya bagi mereka pada mahasiswa yang notabene seorang muslim atau muslimah. Hal ini menjadi sebuah hal yang krusial, karena mereka (baca: mahasiswa) kelak akan menjadi kaum intelektual Indonesia.

Keyakinan yang diajarkan oleh Lafran adalah keyakinan bahwa bangsa Belanda yang saat itu menjajah Indonesia, tidak lebih tinggi derajatnya dari pada Indonesia itu sendiri. Hal tersebut dikarenakan maraknya keyakinan mengenai derajat para kaum kolonial itu lebih tinggi dari bangsa kita sendiri. Lafran ingin megubah stigma tersebut, salah satunya dengan mendirikan HMI. HMI juga hadir sebagai upaya mempertinggi derajat rakyat Indonesia dan Islam di mata para mahasiswa.

  1. Keseimbangan Pengetahuan Intelektual Muslim Indonesia

Lafran sepakat dengan sebuah statemen bahwa seorang mahasiswa tidak hanya orang yang pinter akademiknya saja, tetapi mereka yang taat menjalankan agamanya. Oleh karena itu, Lafran menuangkan pikiran tersebut dalam berdirinya HMI. HMI lahir sebagai tempat bagi para mahasiswa untuk menimbal ilmu pengetahuan umum, sekaligus memperdalam ilmu agama. Mahasiswa Islam yang baik, adalah mereka yang seimbang, antara ilmu umum, dan pengetahuan agama. Mereka adalah orang-orang yang kelak menjadi generasi Intelektual Muslim Indonesia.

  1. Intelektual Muslim Indonesia Sebagai Pembaharu Pemikiran di Segala Bidang

Pemikiran Lafran Pane ini, tertuang dalam komitmen kebangsaan dan komitmen keislaman yang terdapat dalam HMI. Kalimat tersebut menunjukan salah satu tujuan HMI adalah untuk “Mempertahankan Negara Republik Indonesia dan mempertiggi serajat rakyat Indonesia, serta menegakkan dan mengembangkan ajaran Agama Islam”. Oleh karena itu, intelektual muslim harus mampu masuk disetiap elemen-elemen pemerintah, sebagai upaya pembaharuan pemikiran. Diantara pembaharuan yang ingin dilaksanakan adalah; pembaharuan dalam aspek politik, ekonomi, pendidikan, hukum, budaya, pemikiran Islam, dan dakwah Islam.

  1. Keislaman-keindonesiaan Sebagai Titik Tolak Gerakan Intelektual Muslim Indonesia
Baca Juga :   Jejak Jerman di Balikpapan Sebelum 1945

Saat mendirikan HMI, Lafran Pane menjadikan Islam salah satu simbol solidaritas dan perjuangannya. Lafran mempunyai prinsip, jika keindonesiaan dan keislaman merupakan dua hal yang tidak perlu didebatkan lagi. Konsep keislaman dan keindonesiaan ini, kemudian tertuang dalam tujuan berdirinya HMI. Pertama, adalah untuk mempertahankan Negara Republik Indonesia dan mempertinggi rakyat Indonesia. Kedua, untuk menegakkan dan mengembangkan ajaran agama Islam.

Demikian adalah beberapa pemikiran Lafran Pane mengenai Intelektual Muslim Indonesia. Semua hal yang menjadi ide dari seorang Lafran, kemudian tertuang dalam sendi-sendi HMI. Konsep mengenai bagaimana seharusnya kaum intelektual muslim, bagaimana mempertahankan negara Indonesia dari kaum penjajah, serta bagaimana mempertinggi derajat rakyat Indonesia, merupakan poin utama dari pemikiran Lafran Pane. Latar belakang keislaman yang kuat, juga menjadi salah satu faktor pendukung pemikiran Lafran. Oleh karena itu, ia berharap, tiap-tiap pemeluk agama Islam, mampu melaksanakan ajaran Islam dengan baik, sehingga terjadi sebuah keseimbangan diantara keduanya (baca: wawasan intelektual dan wawasan keislaman).

Referensi

Agussalim, Sitompul.1976.Sejarah Perjuangan Himpunan Mahasiswa Islam 1947-1975.Surabaya: PT Bina Ilmu.

Hariqo Wibawa Satria.2009.Pemikiran Lafran Pane Tentang Intelekual Muslim Indonesia.Skripsi.UIN Sunan Kalijaga.

Hariqo Wibawa Satria.2010.Lafran Pane Jejak Hikayat dan Pemikirannya.Jakarta:Penerbit Lingkar.

Kuntowijoyo.2013.Pengantar Ilmu Sejarah.Yogyakarta:Tiara Wacana.

Siraishi, Takashi.1977.Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926.Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.

Sulasman.2014.Metododologi Penelitian Sejarah.Bandung: Pustaka Setia.

Share:

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on pinterest
Pinterest
Share on linkedin
LinkedIn

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Related Posts