Kisah Hidup KH. Adlan Aly, Seorang Santri Kinasih Hadratussyaikh

“Ojo seneng ndunyo tapi senengo karo sing nggawe ndunyo”. Itulah wasilah yang sempat diutarakan oleh Mahaguru, KH. Adlan Aly. Penggalan wasilah itu terpampang dalam buku Kiai Sufi: Pecinta Al Qur’an & Nabi yang Patut Diteladani karangan Mohammad Anang Firdaus (2022). Wasilah ini selalu diingat dan diamalkan oleh setiap santri ataupun santriwati yang pernah menimba ilmu di kawasan sekitar Pondok Pesantren Tebuireng. KH. Muhammad Adlan Aly adalah satu kiai kharismatik yang tak asing didengar bagi para santri di Tebuireng.

Oleh Dimas Bagus Aditya

KH. Muhammad Adlan Aly memang bukan putra daerah asli Jombang tetapi memiliki andil besar terhadap kehidupan pesantren dan keagamaan di Jombang, bahkan Indonesia. Kiai yang memiliki nama lengkap Muhammad Adlan Aly merupakan putra daerah asal Maskumambang, Gresik. Adlan lahir di Maskumambang, Gresik, pada Juni 1900. Sejak kecil hingga dewasa ia tumbuh dan besar dari lingkungan keluarga yang kental dengan nuansa Islam.

Ayahnya bernama Ali, putra Kiai Abdul Muhyi. Kiai Abdul Muhyi adalah kiai yang disegani di kampungnya Dukuh, Sedayu, Gresik. Sementara ibunya bernama Muhsin adalah putri KH. Abdul Djabbar Maskumambang, pendiri Pondok Pesantren Maskumambang, Gresik. Selain itu, Ny. Hj. Muhsinah adalah seorang ustadzah di lingkungan Pondok Pesantren Maskumambang, Gresik (Firdaus, 2014: 40). Alhasil, sejak kecil KH. Muhammad Adlan Aly telah ditanamkan benih-benih Keislaman yang begitu kental dilingkungan sekitar tempat tinggalnya.

KH. Adlan Aly merupakan putra ketiga dari hasil pernikahan antara KH. Abdul Djabbar Maskumambang dan Ny. Hj. Muhsinah. Adlan memiliki seorang kakak bernama Ma’shum dan Mahbub. Kelak, dua kakak laki-lakinya ini  menjadi seorang Kiai terkemuka di Tebuireng. Ia juga masih memiliki dua adik perempuan bernama Musidah dan Rohimah (Dokumen IKKAD, 9). Dokumen IKKAD (Ikatan Keluarga Abdul Djabar) menerangkan jika KH. Adlan Aly menikah sebanyak tiga kali, tetapi ia tidak menerapkan poligami terhadap istri-istrinya. Ia menikah kembali selepas istri-istrinya meninggal dunia. Ketiga istrinya adalah Ny. Hj. Romlah, Ny. Hj. Halimah, dan Ny. Hj. Musyafa’ah.

Santri Kelana di Gresik, Sampang, dan Jombang

Sejak kecil KH. Adlan Aly telah ditempa oleh pendidikan agama Islam yang begitu kuat. Ketika masih kanak-kanak, KH. Adlan Aly berguru agama Islam kepada pamannya, yakni KH Faqih Abdul Djabbar di Pondok Pesantren Maskumambang Gresik. Ia didapuk sebagai pengasuh Pondok Pesantren Maskumambang menggantikan KH. Abdul Djabbar. Ia mahir dalam berbagai bidang ilmu agama, seperti tafsir, tauhid, fiqih, dan sebagainya. Tampaknya berbagai ilmu ini dikemudian hari menurun kepadanya (Dokumen IKKAD, 10).

Ketika memasuki masa baligh, Adlan Aly menyetorkan hafalan Al Qur’an kepada KH. Munawwar, Gresik. Menginjak usia 15 tahun, KH. Adlan Aly nyantri di Sampang dengan berguru kepada KH. Muhammad Said bin Ismail. Berkat mondok di Sampang inilah ia mendapat sanad al Qur’an dari KH. Muhammad Said bin Ismail (Firdaus, 2014: 50).

Tiga tahun menempa agama Islam di Sampang membuat Adlan Aly tertantang untuk nyantri di Pesantren Tebuireng. Ketika itu, Pesantren Tebuireng telah tersohor sebagai pendidikan Islam yang melahirkan ulama-ulama besar. Selain itu, keberangkatan Adlan menuju Pesantren Tebuireng dimaksudkan untuk mengikuti jejak kakaknya, Ma’shum Aly dan Mahbub Aly yang telah nyantri lebih dahulu disana.

Beberapa ilmu agama Islam yang pernah diajarkan oleh pamannya sewaktu belajar di Pesantren Maskumambang juga dipelajari kembali oleh Adlan Aly ketika belajar di Pesantren Tebuireng. Beberapa ilmu yang diajarkan diantaranya ilmu fiqih, ilmu hadits, ilmu tafsir, dan lain-lain. Selain itu terdapat beberapa kitab yang dikaji yakni, Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Fathul Qarib, Fathul Mu’in dan sebagainya (Firdaus, 2022: 12).

Baca Juga :   Islam Rasional: Gagasan Dan Pemikiran Harun Nasution

Saat mondok di Pesantren Tebuireng, Adlan Aly merupakan santri kinasih Hadratussyaikh, KH. Hasyim Asy’ari. Hal ini tidak terlepas dari sikap wara, zuhud, dan tawadhu terhadap gurunya. Senada dengan hal tersebut, KH. Hasyim Asy’ari juga menaruh hormat terhadap seorang hafidz.

Terkadang, Adnan Aly seringkali dimintai pendapat oleh KH. Hasyim Asy’ari. Biasanya, Hadratussyaikh meminta pendapat Adnan Aly tentang problematika seputar ilmu fiqih. Selama di Tebuireng, Adnan Aly menetap di Pesantren Seblak. Ia tinggal disana mengikuti kakaknya (baca: KH. Ma’shum Aly) yang merupakan pengasuh Pondok Pesantren Seblak, Jombang. Selama menetap di Pondok Pesantren Seblak ia kerap membantu kakaknya mengajar disana. Meski memiliki kesibukan ia tetap menyempatkan waktunya untuk nyantri kalong di Tebuireng (Firdaus, 2014: 50-53).

Mengajar di Tebuireng

“Bagaikan padi, semakin masak semakin merunduk.”

Mungkin pepatah itulah yang menggambarkan sosok KH. Muhammad Adlan Aly. Ilmu yang didapatnya selama menimba ilmu di berbagai pesantren di tiga kota tidak membuatnya angkuh, bahkan ia merasa ilmunya masih tidak cukup. Berkaca dari itu, Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari menempatkan Adlan Aly sebagai seorang pengajar di Pesantren Tebuireng. Tidak jarang ia diminta oleh Hadratussyaikh untuk menjadi imam menggantikannya. Sejak saat itu, KH. Adlan Aly rutin menjadi imam shalat tarawih di Masjid Pondok Pesantren Tebuireng. Setiap hari, KH. Adlan Aly memiliki kesibukan mengajar kitab.

KH. Adlan Aly mengajar sejumlah kitab di Pesantren Tebuireng. Biasanya, ia menjadi pengajar selepas shalat Ashar. Beberapa kitab yang dibacanya ialah Fathul Wahab, Fathul Qarib, dan Minhajul Qawwim (Firdaus, 2014: 45). Tidak hanya itu saja, ia juga mengajar kitab dengan sistem sorogan. Sistem sorogan adalah sebuah sistem pengajaran dengan fokus pada santri yang dituntut untuk aktif dalam pembelajaran. Tentu sistem ini menitikberatkan pada santri yang membaca kitab, sedangkan kiai yang menyimaknya. Dalam sistem ini dimaksudkan agar melatih kepercayaan diri dan mental santri (Syafei, 2017: 66-67).

Gagasan Pendirian Pesantren Putri di Tebuireng

KH. Hasyim Asy’ari meminta KH. Adlan Aly untuk membeli lahan di Cukir. Lahan inilah yang dikemudian hari didirikan pondok. Awalnya, KH. Adlan Aly tidak berniat untuk mendirikan sebuah pondok pesantren. Ia hanya ingin membantu Hadratussyaikh di Pondok Pesantren Tebuireng. KH. Adlan Aly mendirikan Pondok Pesantren Walisongo yang memiliki latar belakang tidak terlepas dari Madrasah Muallimat Cukir.

Gagasan pendirian madrasah itu didapat oleh KH. Adlan Aly dari istrinya, Nyai Halimah, yang mendapatkan keluhan dari ibu-ibu muslimat di Cukir tentang perlunya pendidikan pesantren bagi para muslimah selepas tamat madrasah ibtidaiyah (MI), utamanya di Tebuireng. Pada dekade tahun itu, perempuan dianggap belum bisa mewujudkan ide itu, sehingga KH. Adlan Aly lah yang mengorganisir gagasan itu.

Oleh karena itu, berdirilah Madrasah Muallimat di Cukir untuk pertama kali (Chotimah, 2021: 36). Madrasah Muallimat yang baru berdiri mendapatkan sambutan positif dari daerah Tebuireng dan Cukir, bahkan banyak santri yang berasal dari luar Cukir. Antusiasme yang tinggi itu menyebabkan KH. Adlan Aly mau tidak mau mengharuskan mendirikan sebuah pesantren. Hal ini tidak terlepas dari banyaknya wali murid yang nitip kepadanya.

Awalnya, pesantren yang baru berdiri ini diberi nama Pondok Putri Cukir, tetapi kemudian diberi nama lain yaitu Pondok Pesantren Putri Walisongo. Adapun pemberi nama ide penggantian nama pesantren ini ialah Ny. Hj. Halimah, istri KH. Adlan Aly. Pada awalnya, pesantren ini hanya berjumlah tujuh orang yang menempati satu kamar dapur di kediaman KH. Adlan Aly. Di masa ini, pesantren baru ini dikelola oleh ibu nyai, tetapi karena permasalahan finansial maka diserahkan kepada KH. Adlan Aly (Profil Pondok Pesantren Putri Walisongo)

Baca Juga :   Sunan Kalijaga Bapak Kaum Abangan

Tepat pada tanggal 14 September 1953 kamar dapur KH. Adlan Aly dibongkar untuk dijadikan sebuah asrama layaknya sebuah pesantren. Ketika itu, bangunannya masih sangat sederhana, dindingnya masih terbuat dari gedeg (bambu yang dianyam) dan lampu penerangannya pun masih menggunakan oblek (lampu teplok yang dipasang di dinding). Setahun berselang, bangunan pondok pesantren selesai direnovasi dengan terdiri dari 14 kamar asrama (Profil Pondok Pesantren Putri Walisongo).

Wafatnya Sang Kiai

Sabtu, 6 Oktober 1990 atau 17 Rabiul Awwal 1411 H pukul 06.30 WIB menjadi hari yang paling diingat oleh seluruh santri di kawasan Cukir. Hari itu, sang kiai karismatik, pemimpin, dan pengasuh Pondok Pesantren Putri Walisongo Cukir menghadap sang Khaliq. Ia berpulang ke rahmatullah setelah menjalani perawatan selama dua belas hari di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kabupaten Jombang.

Jenazah almarhum dibawa ke rumah duka dengan Mobil Departemen Agama (Depag) Kabupaten Jombang. Kyai kharismatik ini dimakamkan di Kompleks Pemakaman Keluarga Lingkungan Pondok Pesantren Tebuireng. Ia dimakamkan berdekatan dengan makam Hadratussyaikh, KH. Hasyim Asy’ari (Firdaus, 2014: 125-126).

KH. Muchit Muzadi dalam Kiai Sufi: Pecinta Al Qur’an & Nabi yang Patut Diteladani karangan Mohammad Anang Firdaus (2022) melontarkan mengenai keilmuan KH. Adlan Aly yang setara dengan Hadratussyaikh.

“Posisi Kyai Adlan itu saya tidak tahu persis, tapi yang jelas beliau adalah orang dekat Hadratussyaikh, KH. M. Hasyim Asy’ari. Meskipun beliau punya toko di Cukir, tapi setiap hari beliau di Tebuireng. Mungkin seandainya beliau menjadi wakil Kiai Hasyim, beliau pantas. Beliau itu sangat alim betul, keilmuannya sudah runner up Kiai Hasyim Asy’ari,”

Daftar Referensi

Chotimah, Chusnul. 2021. “KH. Adlan Aly 1900-1990 (Studi tentang Peran dalam Mengembangkan Pondok Pesantren Putri Walisongo Cukir Diwek Jombang)”, (Skripsi UIN Sunan Ampel, Fakultas Adab dan Humaniora, Surabaya).

Firdaus, Mohammad Anang. 2014. Biografi KH. Adlan Aly Karomah Sang Wali. Tebuireng: Pustaka Tebuireng.

Firdaus, Mohammad Anang. 2022. Kiai Sufi: Pecinta Al Qur’an & Nabi yang Patut di Teladani. Tebuireng: Pustaka Tebuireng.

IKKAD, Pengurus. 2017. Silsilah Keluarga Besar KH. Abdul Djabbar Maskumambang. Gresik: Pengurus Pusat IKKAD.

Profil Pondok Pesantren Walisongo, Cukir.

Syafe’I, Imam. 2017. Pondok Pesantren: Lembaga Pendidikan Pembentukan Karakter. Al Tadzkiyyah Jurnal Pendidikan Islam, 8 (1), 61-82.

Share:

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on pinterest
Pinterest
Share on linkedin
LinkedIn

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Related Posts