Perjuangan Asad Shahab, Sang Jurnalis Penyebar Berita Proklamasi RI

Perjuangan M. Asad Shahab di dalam pers bermula ketika dirinya bergabung dengan jurnal mingguan Tidar antara tahun 1936-1938. Di masa pendudukan Jepang, M. Asad Shahab juga banyak bekerja di sebagai koresponden untuk beberapa surat kabar.

Oleh Sukron Anisah

Perkembangan pers selalu erat kaitannya dengan jejak sejarah Indonesia sejak masa pergerakan nasional sampai saat ini. Hal ini dibuktikan lewat peran besar pers dalam mendukung perjuangan Bangsa Indonesia demi meraih kemerdekaan dan mempertahankan kemerdekaan. Salah satu pers yang turut berjuang di masa perjuangan Revolusi 1945-1949 adalah Arabian Press Board (APB). Berdirinya APB sebagai kantor berita yang sekaligus menjadi markas para pemuda pejuang, TNI, dan menjadi gudang penyimpanan senjata di masa Revolusi berkat kontribusi dari seorang tokoh yang bernama Muhammad Asad Shahab. Perjuangan M. Asad Shahab tidak hanya berhenti pada mendirikan APB, melainkan turut menjadi koresponden, penulis, hingga wartawan di majalah Pembina.

Biografi Singkat M. Asad Shahab

Muhammad Asad Shahab lahir pada tanggal 23 September 1910 di Jalan Pasar Baru 32, Jakarta Pusat. Lahir dari pasangan Aisyah dan Ali bin Ahmad Shahab. M. Asad Shahab kecil menimba ilmu di Syamail Huda, Pekalongan pada tahun 1924. Syamail Huda merupakan sekolah yang berada dibawah binaan Jamiat Kheir (A.M. Shahab, 2016: 30). Saat itu, terdapat seorang guru yang bernama Muhammad bin Hasyim bin Thahir. Beliau terkenal dengan keilmuan yang mendalam. M. Asad Shahab berkesempatan untuk banyak menimba ilmu darinya. Sejak bersekolah di Syamail Huda, M. Asad Shahab membuktikan bahwa dirinya adalah seorang pelajar sejati. Kegiatan membaca dan menulis dalam keseharian menjadikan kedua hal ini sangat mengakar baginya. 

Di sekolahnya, M. Asad Shahab kecil tumbuh menjadi siswa cerdas dan berprestasi (A.M. Shahab, 2016: 31). Meskipun pintar, dirinya tidak sama sekali menyombongkan diri, apalagi merendahkan orang lain. Setelah lulus dari Syamail Huda, M. Asad Shahab bertolak dari Pekalongan menuju ke Surabaya. Pendidikan pun berlanjut ke Madrasah Aliyah Al-Khairiyah. Di institusi pendidikan lanjutan inilah bakat dan hobinya dalam menulis mulai menuai hasil. Hasil karya tulisnya mulai dimuat secara rutin di koran terbitan Hadramaut, Surabaya (A.M. Shahab, 2017: 32). 

Sejak usia sekolah hingga menginjak remaja, M. Asad Shahab sudah terlihat memiliki bakat dalam kepemimpinan. Dirinya banyak aktif dalam klub olahraga, organisasi kepanduan, dan berbagai kegiatan positif lainnya (A.M. Shahab, 2016: 33). Tidak jarang rekan-rekannya mengamanahi M. Asad Shahab sebagai seorang ketua. Sudah barang tentu pengalamannya dalam mengelola dan memimpin organisasi membuat M. Asad Shahab semakin terasah leadership-nya. Setelah lulus dari Syamail Huda, M. Asad Shahab melanjutkan pendidikannya di GHS (Geneeskundige Hogeschool). Saat itu GHS membuka jurusan baru yaitu jurusan publisistik (jurnalistik), maka M. Asad Shahab mengambil jurusan tersebut. M. Asad Shahab menuntut ilmu di bangku kuliah hanya sampai tingkat tiga. Penyebab mengapa M. Asad Shahab tidak menyelesaikan studinya adalah aktivitas yang dominan di dalam berorganisasi.

M. Asad tumbuh menjadi pemuda dewasa. Di usia yang bisa dikatakan memasuki usia matang, M. Asad Shahab tidak melupakan fase dimana dirinya harus menikah, membangun rumah tangga dan memiliki keturunan (A.M. Shahab, 2016: 38). Dalam berumah tangga, M. Asad Shahab pun sudah menikah dua kali, dan memiliki dua anak bernama Umniyah dan Abdul Mutalib. 

Kondisi Pers Nasional di Masa Revolusi dan Perjuangan di Dalam Pers

Perjuangan M. Asad Shahab di dalam pers bermula ketika dirinya bergabung dengan jurnal mingguan Tidar antara tahun 1936-1938. Di masa pendudukan Jepang, M. Asad Shahab juga banyak bekerja di sebagai koresponden untuk beberapa surat kabar, diantaranya Al-Mukaam dan Al-Ikhwan di Kairo, Al-Amal di Irak, Al-Mimbar Al-Shaab di Marokko, Al-Irfan di Lebanon, dan Al-Saqafa di Argentina (Abaza, 2002: 252). M. Asad Shahab juga sempat mendirikan organisasi pemuda bernama Al-Futuwa. 

M. Asad Shahab berinisiatif dengan kakaknya, M. Dzya Shahab untuk mendirikan sebuah kantor berita. Hal ini dilatarbelakangi pasca peristiwa Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia dirasakan perlu adanya penyebaran pemberitaan Kemerdekaan Indonesia secara masif hingga ke dunia luar. Sekumpulan wartawan yang bermusyawarah di Rumah yang beralamat Jalan Gang Tengah No. 19 menyatakan kesepakatan atas gagasan M. Asad Shahab untuk mendirikan kantor berita. Hingga pada akhirnya disepakatilah nama kantor berita yang akan didirikan bernama Arabian Press Board (APB). Alasan mengapa diberikan nama kantor berita Arabian Pressboard (APB) adalah agar para elit yang mengendalikan pasukan sekutu untuk mengembalikan Indonesia di bawah cengkraman kolonialisme Belanda akan berpikir dua kali sebelum bertindak membubarkan APB (A.M. Shahab, 2016: 45). Munculnya anggapan bahwa kantor berita APB ada hubungannya dengan dunia Arab juga menjadi tujuan dibalik berdirinya kantor berita ini. 

Baca Juga :   The Great Explainer itu Bernama Richard Feynman 

Tanggal 20 Agustus 1945 menjadi tanggal di mana rencana awal untuk mendirikan kantor berita APB diajukan kepada Pemerintah RI. Dalam perkembangannya, kantor berita APB secara resmi berdiri di tanggal 2 September 1945. Kondisi pers di masa Revolusi atau dalam Periode tahun 1945-1949 menjadi sebuah periode tersendiri bagi historiografi Indonesia. Mengapa demikian, karena di periode ini menjadi titik balik perjuangan Bangsa Indonesia yang baru saja memproklamirkan kemerdekaan dan dihadapkan dengan keadaan bahwa pasukan sekutu akan kembali menduduki daerah jajahan usai memenangi pertempuran pada Perang Dunia II. Perjuangan banyak dilakukan baik dalam menggencarkan perlawanan secara fisik (angkat senjata), ataupun melalui perjuangan diplomasi melalui perundingan dengan negara-negara sekutu. 

Perjuangan melalui pers, juga bertujuan untuk menyampaikan informasi dapat bergerak secara efisien dan masif untuk menjangkau berbagai daerah. Dalam hal ini, APB bergerak dengan menyiarkan berbagai informasi penting ke luar negeri secara sistematis, terutama ke negara Timur Tengah. APB bekerja sama dengan salah satu pers luar negeri yaitu Alam Islamy. Berita-berita tentang Indonesia dikumpulkan dan diterjemahkan ke dalam bahasa Arab untuk disebarkan Alam Islamy di luar negeri. Siaran APB pun dibentuk dalam dua macam, yaitu berbahasa Indonesia dan Arab. Dengan alat yang sederhana, APB setiap hari dapat terbit sekali dalam sehari pada waktu sore hari. Tidak hanya itu, APB juga banyak mengeluarkan berbagai produk media. Salah dua produk media terkenal yang dikeluarkan oleh APB adalah Berita APB dan National Press Digest. Dua produk media tersebut digunakan oleh Kementerian Luar Negeri RI ke seluruh perwakilan RI di luar negeri (A.M. Shahab, 2016: 51).

Reaksi dari pihak Belanda dalam hal ini NICA pun muncul. Pada 19 April 1947, kantor berita APB di Gang Tengah 19 digerebek oleh polisi NICA. Sejumlah dokumen yang dianggap penting dengan surat-surat disita, dan berujung pada penangkapan M. Asad Shahab. Sejak bulan September 1947, M. Asad Shahab seolah-olah telah melakukan perjalanan di garis terdepan dalam pertempuran Republik Indonesia (A.M. Shahab, 2016: 89). Hasil perjalanan banyak dimuat di berbagai harian di Jakarta, salah satunya Berita Indonesia. Belanda pun bereaksi dengan kembali menangkap M. Asad Shahab. Setelah dibebaskan, M. Asad Shahab diwajibkan untuk lapor diri setiap hari kepada pimpinan Angkatan Perang Belanda (Hoofd Dienst Voor Legercontacten), C. van der Graaf, di Lapangan Banteng Jakarta. Selain itu, M. Asad Shahab juga harus melapor ke Basis Komando Belanda yang berada di Jakarta. 

APB yang banyak menyuarakan berbagai berita yang bernada anti-Belanda mendapat perhatian yang serius dari Belanda. Belanda menganggap APB sebagai kantor agitator yang berkampanye anti-Belanda dan menentang segala usaha Belanda dalam berbagai pemberitaan di luar negeri. Ancaman demi ancaman silih berganti hadir dan hal ini tidak menyurutkan semangat perjuangan APB dalam menyuarakan pemberitaan ke luar negeri khususnya ke Timur Tengah. Dukungan dari negara-negara Timur Tengah akhirnya didapat lewat dikeluarkannya hasil keputusan sidang Dewan Liga Arab pada tanggal 18 November 1946 (A.M. Shahab, 2016: 99). Gelombang dukungan juga mengalir lewat aksi demonstrasi dan memblokade Kapal Volendam milik Belanda yang dilakukan oleh penduduk dan buruh Mesir.

Perjuangan di Masa Orde Lama

Kehidupan pers di Indonesia dapat tercerminkan lewat suasana dan keadaan politik yang sedang berkembang. Perpolitikan Indonesia dari tahun 1950 hingga 1959 dapat disebut dengan masa Demokrasi Liberal. Di awal tahun 1950, pasca diberlakukannya UUD Sementara tanggal 17 Agustus 1950, pers Indonesia diwarnai dengan nuansa kebebasan. Kebebasan pers yang terjadi tidak berbanding lurus dengan permodalan terhadap pers yang begitu lemah. Di tahun 1954, terdapat 105 surat kabar harian di Indonesia, tetapi terjadi penurunan jumlah pada tahun 1955 sebanyak 78 (Abidin, 2013: 57). Perbandingan sirkulasi rata-rata surat kabar adalah harian milik Belanda 6.894, Indonesia 6.606 dan Cina 6.411 lembar dalam sehari. Tahun 1957, jumlah surat kabar mencapai 120 buah dengan oplah 1.049.500 per hari (A.M. Shahab, 2016: 107). Struktur pers pun mengalami perubahan dengan terdiri dari pers nasional, surat kabar-surat kabar Belanda maupun Cina (Abidin, 2013: 57).

Kesulitan di bidang pengusahaan yang dialami pers nasional membuat beberapa diantara mereka terpaksa gulung tikar. Di massa tersebut hanya sedikit harian-harian beroplah diatas 30.000 lembar per terbit. Diantaranya Harian Rakjat (PKI), Pedoman (PSI), Subuh Indonesia (PNI), dan Abadi (Masyumi), yang kesemuanya terbit di Jakarta. Di Semarang terbit Daulat Rakjat, Utusan Nasional, Tempo, Tanah Air, dan Suara Merdeka. Di Yogyakarta selain Kedaulatan Rakjat juga terbit harian hidup. Di Surabaya terbit Harian Umum, Suara Rakjat, dan Surabaya Post (Abidin, 2013: 57).

Pergolakan politik yang terus terjadi di masa Demokrasi Liberal membuat Presiden Soekarno mengubah sistem politik yang berlaku di Indonesia. Pada tanggal 28 Oktober 1956, Presiden Soekarno sempat mengajukan untuk mengubah sistem Demokrasi Liberal menjadi Demokrasi Terpimpin (A.M. Shahab, 2016: 108). Konsep Demokrasi Terpimpin akhirnya berhasil terwujud ketika Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden tahun 1959 yang salah satu poin yang dibawa adalah kembali ke UUD 1945. 

Baca Juga :   Tomas Masaryk: Sang Proklamator Realis yang Kontradiktif

Diberlakukannya Staat dan Oorlog en Beleg (SOB) atau dalam bahasa Indonesia disebut dengan keadaan darurat perang berdampak pada pers yang ada di masa Demokrasi Terpimpin. Pers menjadi alat revolusi melalui TAP. MPRS No. 11 tahun 1960 tentang penerangan massa (A.M. Shahab, 2016: 109). Pemberlakuan surat izin terbit, pers berbahasa etnik seperti Tiongkok dilarang, isi berita yang harus sesuai dengan doktrin Manipol-USDEK (Manifesto Politik-UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia) adalah hal-hal yang dialami oleh pers selama massa tersebut. Pengaruh Komunis pun makin terasa dalam berbagai hal seperti penguasaan organisasi PWI dan SPS (Serikat Perusahaan Pers).

Melihat keadaan seperti ini, tidak serta merta membuat APB mengubah prinsipnya. Hal ini terlihat dengan APB dengan prinsip yang dibawa oleh pendirinya, M. Asad Shahab, untuk tetap konsisten memposisikan diri sebagai pers perjuangan (A.M. Shahab, 2016: 111). APB tidak pernah condong pada kekuatan politik tertentu. Ketika kekuatan Komunisme sedang berada di puncaknya, APB justru memposisikan dirinya sebagai oposisi yang vokal dan menentang keberadaan ideologi ini. Sikap yang dibawa APB dalam berbagai produk medianya akhirnya membawa dampak yang serius dan harus dialami oleh M. Asad Shahab.

Periode Demokrasi Terpimpin dapat diasumsikan sebagai periode terburuk dalam sejarah perkembangan pers di Indonesia. Hal ini tergambarkan lewat persepsi, sikap, dan perlakuan para penguasa terhadap pers Indonesia yang telah melampaui batas-batas toleransi (A.M. Shahab, 2016: 113). Semua usaha penekanan yang dilakukan pemerintah semata-mata untuk menjadikan pers sebagai alat mobilisasi massa dalam hal menggiring opini publik. Langkah pertama yang dilakukan adalah mengeluarkan sebuah Pedoman Penguasa Perang Tertinggi untuk Pers Indonesia pada 12 Oktober 1960. Pedoman tersebut berisi untuk mewajibkan pers untuk memiliki surat izin terbit. Pasal demi pasal dalam pedoman tersebut memperlihatkan usaha penguasa untuk benar-benar “menjinakkan” pers dalam cengkeraman kekuasaannya (A.M. Shahab, 2016: 114).

Cara ini secara efektif dapat “mengebiri pers” untuk tidak secara liar mengkritisi setiap kebijakan yang dilakukan pemerintah. Dominasi pers komunis dan para simpatisannya makin terlihat dan mereka menginginkan agar di Indonesia hanya ada sebuah kantor berita saja (A.M. Shahab, 2016: 115). Melalui Keputusan Presiden, kantor berita Antara yang dapat dikatakan sebagai kantor berita nasional mulai dibatasi kegiatannya. Pada tanggal 13 Desember 1962, Pers Indonesia Aneta (PIA) digabungkan dengan Antara. Pada saat yang bersamaan Presiden mengeluarkan keputusan untuk menutup dan membubarkan beberapa kantor berita, yaitu Asian Pers Board (APB), Indonesian National Press and Publicity Service (INPS), dan semua karyawannya ditampung di kantor berita Antara (A.M. Shahab, 2016: 116).

Reaksi APB dari dikeluarkannya keputusan tersebut adalah tidak sepakat karena melihat tujuan dari penggabungan itu jelas untuk melakukan pengekangan kebebasan pers. Hal ini makin diperjelas dengan diketahuinya kantor berita Antara telah dikuasai oleh kelompok kiri (A.M. Shahab, 2016: 117). Para pimpinan APB lebih memilih untuk membubarkan diri. M. Asad Shahab sebelum menerbitkan majalah mingguan Pembina, beliau bekerja sebagai redaktur harian National Press dan Press Digest yang diterbitkan oleh dirinya sendiri di Jakarta. Akan tetapi, dua media ini bersama dengan Harian Pedoman dibredel juga oleh pemerintah.

Perjuangan M. Asad Shahab berlanjut di dalam majalah mingguan Pembina. Di dalam majalah ini banyak mengulas secara lebih tajam dan mendalam masalah-masalah politik dan agama serta banyak menyelipkan karya-karya sastra (A.M. Shahab, 2016: 122). Pembina banyak menyuarakan protes-protes yang ditujukan kepada kelompok kiri dan ulasan-ulasan perpolitikan baik di dalam dan luar negeri. Penulis-penulis di dalam majalah ini merupakan tokoh-tokoh yang sangat produktif dalam hal membuat berbagai macam tulisan. Tokoh-tokoh tersebut diantaranya Rosihan Anwar, Muwahid, Abu Luthfi, Marajo Basa, Solichin Salam, dan berbagai penulis nasional lainnya (A.M. Shahab, 2016: 123). 

Referensi

Shahab, A.M. (2016). Sang Penyebar Berita Proklamasi: Perjuangan M. Asad Shahab & Arabian Press Board. Jakarta: Change

Abaza, Mona. (2002). “M. Asad Shahab: A Portrait of an Indonesian Hadrami Who Bridged the Two Worlds.” Southeast Asia and Middle East: Islam, Movement, And Longue Duree. Singapura: NUS Press.

Abidin, Z. A. (2013). Perbandingan Sistem Pers dan Sistem Pers di Indonesia. Surabaya: Lufthansa Mediatama.

Dusky, Nawawi. (1971). “Peranan APB dan Berita Indonesia Sesudah Proklamasi” Majalah mingguan Pembina, No. 21 th IX agustus

Share:

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on pinterest
Pinterest
Share on linkedin
LinkedIn

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Related Posts