Eksistensi BRICS: Blok Baru Kekuatan Politik dan Ekonomi Dunia

Ada sebuah aliansi kerjasama multilateral yang menarik untuk saya analisis, berkaitan dengan gagasan perlu adanya kekuatan baru yang menjadi pengimbang Amerika dan sekutu baratnya. Aliansi tersebut dikenal dengan sebutan BRICS.

Oleh Adrian Aulia Rahman

Perubahan dan dinamika dalam politik internasional adalah suatu keniscayaan yang tidak bisa terelakkan. Karena dalam politik tidak ada suatu keadaan yang tetap atau statis, dalam arti, perubahan yang seiring sejalan dengan kepentingan adalah hal yang mutlak hukumnya. Oleh karenanya, tidak heran apabila politik internasional selalu berubah dalam periode tertentu secara kontinuitas, seiring sejalan dengan perubahan peta kekuatan global (global power) baik secara ekonomi maupun dominasi politik.

Apabila kita melihat kembali catatan historis, dalam periode sejarah tertentu, selalu ada dominasi kekuatan politik yang hebat dan dominan, yang memiliki pengaruh amat besar dalam politik dan ekonomi internasional. Sebagai contoh, kita mundur ke abad 18 dan 19 misalnya, dominasi politik internasional secara tak terelakkan dipegang oleh negara-negara Eropa. Negara-negara Eropa yang memiliki kekuatan politik (political power) dan kekuatan ekonomi (economy power), sebut saja Inggris, Perancis, Jerman dan Itali, secara langsung memegang kendali politik dan ekonomi global di abad 18-19, walaupun dengan politik imperialismenya.

Kemudian memasuki abad ke 20, terutama setelah dunia melewati dua perang besar yang maha hebat (PD I & PD II), Amerika Serikat (AS) muncul sebagai negara superpower. Ketika kebanyakan negara industri pesaing berada dalam kondisi lemah atau hancur pasca perang, AS justru menangguk untung yang teramat besar. Teritori AS nyaris tak mendapat serangan dan produksi nasional naik lebih dari tiga kali lipat. Keadidayaan dan hegemoni Amerika pasca perang sesuai dengan rencana Presiden Franklin D. Roosevelt, sebagaimana yang diutarakan ahli sejarah Geoffrey Warne “Presiden Roosevelt mengangakan hegemoni Amerika pasca perang”.

Usainya perang besar 1939-1945, dan terbentuknya Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), tidak membuat politik internasional bebas dari konflik dan konfrontasi. Amerika yang muncul sebagai kekuatan dunia, ternyata diimbangi dengan munculnya kekuatan global lainnya, yakni Uni Soviet. Konfrontasi Amerika-Uni Soviet menandai babak baru sejarah dan dinamika politik dunia, yang oleh Walter Lippman disebut dengan istilah Cold War (Perang Dingin). Periode konfrontasi sengit antara AS di blok barat dan USSR di blok timur, berakhir dengan bubarnya USSR pada tahun 1991. Amerika Serikat secara de facto muncul sebagai pemenang perang dingin dan satu-satunya global superpower.

Abad 21 dan Perubahan Geopolitik Dunia

Memasuki abad 21, beberapa tahun pasca runtuhnya imperium komunis Uni Soviet, politik dunia masih berada dalam hegemoni Amerika Serikat sebagai global superpower. Namun, apabila kita merujuk pada analisis Noam Chomsky, Amerika serikat pada hakikatnya sudah mengalami kemerosotan bahkan sejak beberapa tahun setelah perang dunia II. Hal ini dapat dibuktikan dengan, hemat Chomsky, berkurangnya pengaruh dan hegemoni AS di Asia pada masa perang dingin dengan lepasnya Tiongkok dan Asia Tenggara. Bahkan, pada 1970-an, kepemilikan AS dalam kekayaan turun hingga sekitar 25%. Kendati demikian, Chomsky berpendapat, walaupun Amerika mengalami kemerosotan, tidak ada pesaing untuk kekuatan hegemonik global pada masa mendatang.

Pendapat Chomsky mengenai tidak adanya kekuatan global yang akan menjadi pesaing Amerika dalam politik dan ekonomi dunia, tentu bisa menjadi bahan analisis dan perdebatan. Saya memiliki beberapa pandangan menyangkut hal ini. Yang pertama adalah, keadidayaan Amerika Serikat dalam ekonomi dan politik internasional memang tidak bisa dinafikan dan dibantah lagi. Namun, ini bukan berarti hegemoni dan global power akan selamanya berada dalam kungkungan dan kendali Amerika Serikat, mengingat dinamisnya politik dan ekonomi dunia. 

Saya mengamini pendapat Chomsky bahwa tidak ada, atau katakanlah belum ada, suatu negara berdaulat yang mengimbangi Amerika baik dari segi hegemoni politik maupun ekonomi. Republik Rakyat Tiongkok (RTT) misalnya, yang walaupun pertumbuhan ekonomi dan pengaruh geopolitiknya luar biasa pesat namun sampai dengan saat ini masih belum bisa mengungguli hegemoni Amerika Serikat. Kendati demikian, kita tentu tahu, bahwa Washington menjadikan Beijing sebagai musuh utamanya dalam perebutan hegemoni politik dan ekonomi, sehingga relasi Washington-Beijing sering diwarnai konflik yang sengit terutama di bidang perdagangan (trade). Bahkan, beberapa analis mengatakan bahwa konflik AS-Tiongkok ini sebagai perang dingin jilid dua.

Baca Juga :   Raja Edward VIII: Tinggalkan Tahta Demi Cinta

Belum adanya negara yang mampu mengungguli ‘kebesaran’ Amerika dalam politik dan ekonomi dunia, membuat kita bertanya, apakah ini berarti bahwa kekuasaan Amerika tidak tergantikan? Tentu saja jawabannya tidak. Apabila suatu negara belum ada yang mampu mengungguli Amerika, kuncinya adalah membangun suatu koalisi ekonomi-politik yang solid untuk menjadi kekuatan atau blok politik baru yang mengungguli Amerika. Karena tentu saja, siapa yang bisa mengelak, bahwa Amerika pun senantiasa melakukan manuver politik untuk menjalin kerjasama dengan negara lain untuk mempertahankan kekuatan dan dominasi politiknya. Sebagaimana menurut Chomsky, meski hegemoni AS sudah merosot, ambisinya belum pudar.

Kita bahas sedikit mengenai manuver AS dalam menjalin persekutuan dengan negara-negara lain. Dalam hubungan Amerika dan Eropa, terutama Eropa Barat, jalinan kerjasama antar mereka sudah terjalin begitu lama. Namun secara politik dan militer, dibentuknya NATO menjadi perekat utama kerjasama Amerika-Eropa. Kemudian kita ingat Marshall Plan pada masa kepresidenan Harry S. Truman, yang merupakan paket kebijakan bantuan khusus untuk rekonstruksi ekonomi Eropa pasca perang dunia. Dapat disimpulkan bahwa hubungan AS-Eropa begitu solid dan kukuh sampai saat ini. Lain Eropa lain Asia. Amerika melihat Asia sebagai sebuah geopolitik yang krusial dan signifikan pengaruhnya, yang perlu didominasi apabila ingin keadidayaannya bertahan. 

Manuver politik Amerika di Asia, terutama di abad 21 ini, adalah dibentuknya Quadrilateral Security Dialogue (The Quad). Quad adalah sebuah aliansi informal antar empat negara yakin Amerika, India, jepang dan Australia. Keberadaannya dimulai pada 2004, dengan digagasnya pertemuan 2007 yang dihidupkan kembali pada 2017. Belum lama ini, tepatnya pada September 2021 lalu, terbentuk sebuah kesepakatan trilateral antara Australia, Amerika Serikat dan Inggris, atau disebut dengan AUKUS, dengan tujuan untuk menjalin kerjasama militer antar ketiga negara terutama di Indo-Pasifik.  Dua contoh persekutuan tersebut, walaupun dengan beragam tujuan didirikannya, ini berarti Amerika masih ingin mendominasi geopolitik dunia, terutama di Asia untuk mengimbangi rivalnya yaitu Tiongkok.

Kembali ke bahasan awal, yaitu perlunya dibentuk sebuah aliansi politik-ekonomi untuk menjadi sebuah blok kekuatan politik baru dalam geopolitik dan geoekonomi dunia. Blok politik ini dimaksudkan guna menggugat dan menghapuskan sistem politik internasional yang unilateralisme dan menggantinya dengan multilateralisme. Tidak bisa dan tidak boleh seharusnya, apabila Amerika menjadi satu-satunya adidaya dunia yang bisa jadi menjadi pengendali politik dan ekonomi dunia. Multilateralisme akan merekonstruksi sistem politik internasional menjadi lebih egaliter dan inklusif. 

BRICS: Blok Baru Kekuatan Politik dan Ekonomi Dunia

Ada sebuah aliansi kerjasama multilateral yang menarik untuk saya analisis, berkaitan dengan gagasan perlu adanya kekuatan baru yang menjadi pengimbang Amerika dan sekutu baratnya. Aliansi tersebut dikenal dengan sebutan BRICS. BRICS adalah kelompok kerjasama informal antara Brazil, Rusia, India, China dan Afrika Selatan. Pada tanggal 20 September 2006 terjadi pertemuan pertama tingkat Menteri negara BRICS atas usul Presiden Vladimir Putin. Pertemuan dilanjutkan pada 16 Mei 2008 yang diselenggarakan di Yekaterinburg, Rusia. Pertemuan tersebut menghasilkan sebuah komunike bersama yang mencerminkan sikap bersama tentang isu-isu global.

Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) pertama BRICS diselenggarakan pada 16 Juni 2009 di Yekaterinburg. KTT BRICS yang pertama tersebut menetapkan tujuan BRICS, yakni “untuk mempromosikan dialog dan kerjasama di antara negara-negara kita secara bertahap, proaktif, pragmatis, terbuka dan transparan. Dialog dan kerjasama negara-negara BRICS kondusif tidak hanya untuk melayani kepentingan bersama ekonomi pasar berkembang dan negara berkembang, tetapi juga untuk membangun dunia yang harmonis dengan perdamaian abadi dan kemakmuran bersama”.

Baca Juga :   Revolusi Oktober 1917: Kemenangan Komunisme dan Perubahan Radikal Sistem Politik Rusia

Secara global, negara aliansi BRICS merepresentasikan 40 persen dari populasi penduduk dunia, dengan nilai Produk Domestik Bruto (PDB) sekitar 30 persen dari total PDB dunia. China merupakan negara dengan dengan PDB terbesar kedua di dunia, kemudian India berada di urutan kelima, Brasil di urutan ke delapan, Rusia di urutan ke sebelas dan Afrika Selatan menempati peringkat ke 32 dari segi PDB. Apabila melihat fakta yang ada, secara langsung dapat disimpulkan bahwa BRICS bukanlah aliansi kerjasama multilateral yang bisa dipandang sebelah mata. Perekonomian negara-negara BRICS memiliki signifikansi pengaruh yang luar biasa besar bagi perekonomian dunia.

Pada KTT BRICS keempat di New Delhi pada 2012, muncul suatu gagasan untuk mendirikan Bank bersama negara anggota. Gagasan ini baru direalisasikan pada KTT BRICS ke enam di Fortaleza pada 2014, dengan disepakatinya pembentukan New Development Bank (NDB). Pembentukan NDB menjadi bentuk kemandirian negara-negara anggota BRICS. Bahkan dalam artikel yang terbit di businessinsider.com, pendirian New Development Bank ini dianggap sebagai saingan atau tantangan bagi Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia yang berbasis di Washington. Namun hal ini langsung dibantah oleh seorang ekonom dari Yingda Securities, Li Daxio, “Ini (New Development Bank) merupakan pelengkap, bukan tantangan bagi Lembaga internasional yang ada” ujarnya kepada AFP.

Beberapa waktu yang lalu, Presiden BRICS Purnima Anand mengonfirmasi bahwa pada KTT BRICS 2023 di Afrika Selatan mendatang, aka nada beberapa negara yang bergabung dengan aliansi Kerjasama BRICS yakni Arab Saudi, Turki dan Mesir. Aksesi ketiga negara tersebut diprediksi tidak akan memakan waktu lama mengingat ketiganya sudah terlibat dalam prosesnya. Walaupun belum dapat dipastikan bahwa ketiga negara tersebut akan bergabung dalam waktu yang bersamaan. Apabila ini terjadi, dan ketiga negara tersebut resmi tergabung dalam aliansi Kerjasama BRICS maka kekuatan dan pengaruh global dari BRICS akan semakin melonjak luar biasa. Bahkan, beberapa waktu lalu muncul pula isu akan turut bergabungnya Indonesia dalam keanggotaan BRICS. Namun belum ada suatu keputusan yang resmi dan mengikat.

Eksistensi BRICS menurut saya menjadi sebuah representasi kekuatan geopolitik dan geoekonomi baru yang menjadi saingan bagi blok Amerika dan Eropa di barat. Hal ini bukanlah sesuatu yang patut dikhawatirkan, justru perlu diapresiasi. Dengan semakin banyaknya kekuatan politik dan ekonomi dunia, atau dalam artian tidak berpusat pada satu kekuatan saja, maka multirateralisme dan egalitarianism dalam ekonomi-politik global akan semakin mudah tercapai. BRICS akan menjadi blok kekuatan yang menegaskan bahwa kekuasaan ekonomi dan politik tidak bisa terus-terusan dipegang oleh Amerika dan sekutunya. Terakhir, sekaligus sebagai kesimpulan saya, bahwa multilateralisme adalah sumber kesetaraan dan keadilan sedangkan unilateralisme adalah sumber kesenjangan dan penindasan. 

Daftar Pustaka:

Chomsky, Noam. 2017. How the World Works. Yogyakarta: PT. Bentang Pustaka. 

Chomsky, Noam. 2017. Who Rules the World?. Yogyakarta: PT. Bintang Pustaka. 

Yadav, Abriham Singh. 2022. Indo-Pasifik: Sebuah Rekonstruksi Geopolitik. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo. 

BRICS Information Portal. History of BRICS

(http://infobrics.org/page/history-of-brics/)

Pransuamitra, Putu Agus. 2020. Nasib Mata Uang BRICS: Dulu Disayang, Kini Ditendang. CNBC Indonesia. (https://www.cnbcindonesia.com/market/20200825150257-17-181861/nasib-mata-uang-brics-dulu-disayang-kini-ditendang)

New Development Bank. About us: History. (https://www.ndb.int/about-us/essence/history/)

Businessinsider. The BRICS countries just launched a rival to the IMF and World Bank.

Wirawan, Unggul. 2022. Kelompok BRICS Akan Tambah Tiga Negara Anggota Baru. Berita Satu. (https://www.beritasatu.com/news/951825/kelompok-brics-akan-tambah-tiga-negara-anggota-baru)

Share:

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on pinterest
Pinterest
Share on linkedin
LinkedIn

(1) Komentar

  1. Fenomenal! Seperti kembang api intelek meriah merayakan festival pengetahuan. #IndosneioKembangApiIntelektual

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Related Posts