Benih-benih Kesetaraan Gender di Masa Politik Etis Melalui Sekolah Kartini

Tidak hanya di Semarang, Sekolah Kartini juga didirikan di daerah lain seperti Madiun, Batavia, Buitenzorg (Bogor), Malang, Cirebon, dan Pekalongan.

Oleh Fathia Nabila Qonita

Politik Etis secara resmi diterapkan di Hindia Belanda pada tahun 1901. Program-program yang dijalankan bertujuan untuk memperbaiki kesejahteraan rakyat melalui pendidikan pun mulai digaungkan. Edukasi menjadi salah satu program yang menjadi fokus dalam penerapan Politik Etis selain Emigrasi dan Irigasi. Tokoh-tokoh Politik Etis berpendapat bahwa tonggak awal untuk mengatasi penderitaan yang dialami oleh rakyat Hindia Belanda adalah pendidikan. Namun semua itu hanya rencana-rencana belaka. Tidak semua rakyat pribumi pada masa itu mampu mengecap manisnya pendidikan. Mereka masih harus merasakan pahitnya perlakuan-perlakuan berbeda berdasarkan ras tertentu maupun status sosial. Belum lagi di masa itu perempuan khususnya perempuan Jawa masih sulit untuk memperoleh akses pendidikan sebab hal tersebut masih dianggap bertentangan dengan adat istiadat Jawa.

Pandangan Masyarakat Jawa terhadap Perempuan

Jauh sebelum hadirnya Politik Etis, perempuan sebenarnya sudah banyak tampil di dalam panggung perjuangan. Namun entah mengapa pemikiran bahwa laki-laki adalah yang paling utama dan perempuan berada di nomor kedua, terus melekat di dalam pemikiran setiap masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Jawa yang dalam kehidupan sehari-harinya sebagian besar diatur oleh adat istiadat. Ironisnya, ketidakadilan ini bahkan mampu memengaruhi kebebasan seorang perempuan untuk bisa menentukan pilihannya dalam hal pendidikan maupun kehidupan secara menyeluruh. Pendidikan yang diberikan kepada perempuan di zaman itu hanya terbatas untuk mempersiapkan diri mereka menjadi seorang ibu. Mereka tidak memiliki kebebasan untuk menentukan masa depannya sendiri. 

Terdapat istilah “Swargo nunut neroko katut” atau dalam Bahasa Indonesia yaitu “Surga turut neraka ikut”, yang begitu kuat dianut oleh kalangan masyarakat Jawa. Hal ini juga dapat diartikan sebagai “Kemana laki-laki mengarahkan langkahnya, perempuan harus turut bersamanya tanpa ada hak untuk bertanya maupun menolak”. Selain itu, terdapat pula istilah “Konco wingking” atau “Orang/teman di belakang”, yang juga dapat diartikan bahwa perempuan hanya sebagai objek pelengkap pria yang membantunya dari belakang. 

Budaya Jawa juga mendeskripsikan tugas perempuan hanya bertumpu pada tiga hal yaitu: manak, masak, dan macak yang artinya melahirkan, memasak, dan berdandan. Budaya tersebut sangat luas dianut dalam masyarakat Jawa sehingga memengaruhi sendi-sendi kehidupan. Hingga akhirnya perempuan hanya menjadi warga kelas dua atau golongan nomor dua yang terbatas dan berkiprah di wilayah domestik. Stereotip yang menggambarkan bahwa kaum perempuan jauh lebih lemah dibandingkan dengan kaum laki-laki membuat perempuan menjadi begitu terbatas untuk menampilkan dirinya di hadapan publik. 

Pemerintah kolonial pun sama saja. Mereka begitu membatasi pendidikan untuk kaum perempuan. Kesempatan mendapatkan pendidikan diutamakan untuk anak-anak bagsawan bumiputera serta tokoh-tokoh terkemuka dan pegawai kolonial yang diharapkan kelak akan menjadi kader pemimpin yang berjiwa kebarat-baratan atau condong ke Belanda dan merupakan kelompok elit yang terpisah dengan masyarakat.  Perhatian untuk adanya pendidikan bagi kaum perempuan di Hindia Belanda memang sempat diimpikan oleh J.H. Abendanon. Namun sayangnya hal tersebut belum dapat diwujudkan olehnya. Pendidikan perempuan tidak pernah menjadi prioritas pemerintah, sebab adanya pengaruh dari para bupati yang konservatif dan pejabat-pejabat kolonial yang skeptis.

Kartini Menghadirkan Perubahan

Raden Adjeng Kartini, salah seorang perempuan bangsawan yang mampu mengubah ketidakadilan yang telah lama dirasakan oleh perempuan-perempuan Nusantara selama bertahun-tahun. Rasa haus akan ilmu pengetahuan mendorongnya untuk mampu mendobrak budaya-budaya Jawa yang begitu membatasi perempuan dalam setiap kegiatan. Kartini kecil memang sempat merasakan dunia pendidikan. Walaupun pada akhirnya, tekadnya untuk terus belajar harus terhenti ketika ia genap berusia 12 tahun, usia yang mana bagi sebagian besar kalangan ningrat adalah waktu untuk putra-putri mereka menjadi dewasa. Di masa-masa ia harus terkurung itu, ia tidak pernah berhenti untuk belajar. Tekadnya yang begitu kuat untuk melakukan perubahan tidak pernah terhalangi oleh dinding tebal yang membatasinya untuk mengadakan kemajuan. Perhatian yang dicurahkannya bukan hanya soal perempuan, melainkan juga tentang permasalahan sosial. Ia menuangkan pemikiran-pemikirannya melalui surat-surat yang dikirimkan kepada sahabat-sahabat penanya yang ada di Belanda. Sebagian besar dari surat-surat yang ia tulis berisi keluhan-keluhan serta gugatan terhadap budaya di Jawa yang dipandangnya sebagai penghambat kemajuan perempuan. Kartini yang mulai memahami arti liberalisme dan nilai serta hak individu berontak terhadap keadaan.  

Baca Juga :   Kerajaan Panai: Anak Kerajaan Sriwijaya Di Padang Lawas Sumatera Utara

Pemikiran-pemikiran serta keluh kesah yang ia tuangkan dalam surat-suratnya, menjadi sebuah pemantik dari hadirnya perubahan besar dalam dunia pendidikan di Hindia Belanda untuk kaum perempuan di masa itu. Gerakan emansipasi yang ia lakukan telah menghadirkan cahaya harapan untuk bisa mengubah kebiasaan-kebiasaan lama yang menjemukan para perempuan yang juga haus akan ilmu pengetahuan. Ia menginginkan kesetaraan bagi kaum perempuan dalam bidang pendidikan maupun bidang lainnya. Kartini ingin bebas berpetualang tanpa harus dibatasi oleh hakikatnya sebagai seorang perempuan.

Ketika Kartini wafat pada tahun 1904, Abendanon mengumpulkan surat-surat Kartini untuk kemudian diterbitkan menjadi sebuah buku pada tahun 1911 dengan judul Door Duisternis Tot Licht atau Habis Gelap Terbitlah Terang. Usaha untuk menerbitkan surat-surat Kartini adalah untuk mencari dana guna mendirikan sekolah-sekolah perempuan di Jawa dan ternyata usaha tersebut berhasil. 

Begitu banyak tanggapan positif dari kalangan yang berpandangan maju di Belanda. Oleh sebab itu, pada akhir tahun 1911 dibentuklah sebuah Komite Sementara yang diketuai oleh Baronese van Hogendorps Jacob sebagai perwujudan dari rencana perihal akan dibangunnya Sekolah Kartini. Komite ini lalu menunjuk van Deventer –waktu itu menjadi anggota de Eerste Kamer Parlemen Belanda– untuk pergi ke Hindia Belanda dan menyampaikan maksud serta tujuan Komite Sementara.  

Rencana pendirian sekolah bagi gadis-gadis Jawa sesuai dengan yang dicita-citakan Kartini pun disetujui. Komite Sementara kemudian berganti nama menjadi Kartini Vereeniging (Yayasan Kartini), yang selanjutnya mendirikan sebuah sekolah di Semarang dengan nama Sekolah Kartini. Tidak hanya di Semarang, pada tahun-tahun selanjutnya Sekolah Kartini juga didirikan di daerah lain seperti Madiun, Batavia, Buitenzorg (Bogor), Malang, Cirebon, dan Pekalongan. Pelajaran di Sekolah Kartini sama dengan yang diajarkan di Hollandsch Indlandsche School (HIS), dengan tambahan pelajaran keterampilan rumah tangga seperti menjahit, menyulam, memasak, menyetrika, pengetahuan kesehatan, berkebun, dan sebagainya. 

Murid-murid di Sekolah Kartini setiap tahunnya semakin bertambah. Pada tahun 1914, lama pendidikan di Sekolah Kartini bertambah menjadi tiga tahun setelah sebelumnya hanya dua tahun. Lalu setiap tahunnya lama pendidikannya bertambah satu tahun. Hingga pada tahun 1919, lama pendidikan Sekolah Kartini menjadi tujuh tahun, sesuai dengan aturan sekolah dasar pemerintah. Salah satu hal unik dari sekolah ini adalah gaya berbusana untuk para muridnya-muridnya yang mengikuti budaya Jawa pada masa itu yakni mengenakan kebaya dan kain jarik, serta rambut disanggul ke belakang.

Usaha untuk meningkatkan pendidikan bagi perempuan di Jawa tidak berhenti sampai di situ saja. Pada tahun 1915 untuk menghormati jasa-jasa van Deventer selaku pimpinan dari Yayasan Kartini yang ikut dalam usaha memajukan pendidikan perempuan di Jawa, maka didirikan Sekolah van Deventer yang merupakan sekolah lanjutan dari Sekolah Kartini dengan lama pendidikannya yakni empat tahun. Kurikulum yang lengkap dan materi pelajaran yang berbeda dengan sekolah bagi wanita-wanita di Mangkunegaran menjadikan sekolah van Deventer diminati oleh gadis-gadis di Jawa pada saat itu. Sekolah Van Deventer tidak hanya didirikan di Semarang, tetapi juga didirikan di Bandung pada tahun 1918, di Solo pada tahun 1925, dan di Malang pada tahun 1931. Pendirian sekolah van Deventer mampu memberikan peluang bagi perempuan untuk dapat bekerja karena lulusannya akan mendapatkan ijazah sesuai yang mereka inginkan, seperti huishoud diploma (ijazah untuk spesialisasi pekerjaan rumah tangga), frobel diploma (ijazah dalam bidang mengajar), dan hand werk acte (ijazah dalam bidang keterampilan).

Baca Juga :   Realita Dalam Realisasi Politik Etis

Kartini dan pemikirannya kini berbuah manis. Cita-citanya untuk meningkatkan pendidikan bagi anak-anak perempuan terwujud dengan bantuan dari banyak pihak yang begitu mengaguminya. Pada dasarnya, masih banyak sosok Kartini lain di tiap-tiap wilayah Hindia Belanda. Mereka bukan saja tampil dengan ikut mengangkat senjata untuk menaklukkan para penjajah, tetapi juga melawan dengan pemikiran dan tulisan-tulisan yang menggugah hati nurani manusia. 

Referensi

Niel, R. V. (2009). Munculnya Elite Modern Indonesia. Jakarta: Pustaka Jaya.

Ricklefs, M. C. (2001). Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta: Serambi.

Setiaji, Aris Himawan. (2011). Wanita Jawa dalam Pendidikan Kolonial (Studi Sekolah Van Deventer di Mangkunagaran Surakarta). Skripsi S1 Pendidikan Sejarah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret.

Wardhani, Ira P dan Estiana, Eni. (2019). “Perjuangan dan Pemikiran R.A. Kartini Tentang Pendidikan Perempuan”, KERATON: Journal of History Education and Culture, 1(1), 41-55.

Share:

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on pinterest
Pinterest
Share on linkedin
LinkedIn

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Related Posts