Indonesianis yang Lahir dari Krisis Bernama Harry J. Benda

Sangat jarang sekali bagi warga negara di luar Amerika Serikat dan Belanda menjadi seorang Indonesianis. Namun, pernyataan ini tidak berlaku bagi Benda, lelaki keturunan Yahudi yang lahir pada tanggal 28 Oktober 1919 di Liberec bernama Harry J. Benda.

Oleh Agus Pratama Damanik

Sangat jarang sekali bagi warga negara di luar Amerika Serikat dan Belanda menjadi seorang Indonesianis. Namun, pernyataan ini tidak berlaku bagi Benda, lelaki keturunan Yahudi yang lahir pada tanggal 28 Oktober 2019 di Liberec.

Selayaknya yang ditulis oleh Tomáš Petrů dalam obituari apresiasinya pada Benda, Benda terlahir dari kedua orang tua Yahudi bernama Robert Benda dan Elsa Frank yang merupakan keluarga pengusaha garmen terpandang di Cekoslowakia.

Benda dan kedua orang tuanya saat berlibur (Sumber: Thomas Petrů)

Kehidupan tenang serta berkecukupan ini membuatnya mampu mengecap pendidikan selama 8 tahun di sebuah gimnasium yang membentuk kemampuan intelektualnya. Namun, segalanya berubah saat Cekoslowakia dikhianati Jerman dan sekutunya dalam Persetujuan München.  

(Sumber: https://cseas.yale.edu/harry-jindrich-benda)

Perjanjian itu menghasilkan aneksasi Jerman terhadap Sudetenland dan menciptakan sebuah situasi yang mengharuskan Benda ke Hindia Belanda untuk menyelamatkan diri setelah disuruh memilih antara Palestina dan Hindia Belanda oleh ayahnya. Karena baginya “Hindia Belanda terdengar menarik”.

Merantau demi keamanan

Kepergiannya pada tahun 1939 ini menjadi pertemuan terakhir dengan kedua orang tuanya karena mereka dibawa ke ghetto di Łódź dan meninggal di sana. Satu-satunya kerabat yang dia bisa temui kembali adalah abangnya, Hanuš Benda yang hanya bisa ditemui sekali di Italia. Setahun kemudian beliau meninggal akibat serangan jantung pada tahun 1962.

Benda merupakan seorang yang sangat cakap berbahasa. Bahkan, Willem Frederik Wertheim memuji keahliannya dalam obituarinya untuk Benda dengan berkata “Dalam dua bulan, Heinz mampu berbicara Bahasa Belanda dengan lancar yang lebih baik dari induk temannya yang telah tinggal selama dua puluh tahun dan praktis tanpa aksen apapun”. Benda tinggal bersama Rudolf Stanek, seorang pengusaha dari Praha yang menjadi konsul untuk Cekoslowakia sekaligus seorang anti-Nazi. Berdasarkan obituari oleh John D. Legge, Benda bekerja di sebuah firma impor bernama Koler dan Ankersmit di Batavia. Hanya dalam dua tahun, Benda berhasil menjadi kepala divisi pembelian pertama firma ini dan merangkap sebagai kepala cabang kota Semarang karena kepala sebelumnya diinternir. 

Akan tetapi, dunia perdagangan tidak mampu memuaskan intelektualnya. Benda pun mulai mencari kepuasan ke tempat lain dan salah satu tempat dia belajar adalah Alliance Francaise. Tempat inilah yang menjadi tempatnya bertemu Louis-Charles Damais, seorang Indonesianis yang sangat memengaruhinya untuk belajar sejarah Indonesia. Dalam sebuah obituarinya, Benda berkata bahwa: “Tanpa Damais, aku tidak akan menjadi seorang murid dari sejarah Indonesia. Lebih dari itu, aku akan menjadi seorang lelaki yang amat-amat malang. Dan aku merasa amat malang saat dia pergi.”

Nasib malang akhirnya menimpa Benda. Dia dinternir oleh Jepang setelah Jepang berhasil menguasai Indonesia karena kebijakan Jepang terhadap Yahudi akibat tekanan Jerman. Benda menghabiskan waktu dua tahun internir yang mempertemukannya dengan Wertenheim lagi setelah pindah-pindah kamp hingga ke Cimahi. Namanya yang mudah dilafalkan serta anggapan orang Yahudi memiliki kemampuan supranatural membuatnya memiliki pengalaman yang tidak terlalu buruk diinternir Jepang.

Perjalanan menjadi Indonesianis

Situasi politik serta kondisi yang tidak kondusif bagi orang Eropa selepas Jepang kalah di Indonesia membawa Benda ke sebuah keputusan untuk meninggalkan Indonesia. Negara yang menjadi tujuannya adalah Selandia Baru dengan mengambil sertifikasi guru dan gelar sarjana di Kolese Universitas Victoria pada waktu bersamaan.

Baca Juga :   Revolusi Pembebasan Wanita Di Mesir Pada Pemikiran Qosim Amin 

Beliau lulus dengan diploma guru pada tahun 1949 dan gelar sarjana Ilmu Pemerintahan dan Sejarah di tahun berikutnya. Studinya berlanjut dan kini dia mengambil magister ilmu pemerintahan di Universitas Selandia Baru pada tahun 1952. 

Pernikahan Eva dan Benda (Thomas Petrů)

Selama di Selandia Baru, Benda tinggal Bersama istrinya, Eva Bloch yang merupakan sesama migran Cekoslowakia. Bedanya, Eva melarikan diri dari cengkraman partai komunis di negaranya setelah sempat selamat dari peristiwa holokaus Jerman. Kisahnya pun ditulis dalam sebuah bab di buku And life is Changed Forever: Holocaust Childhoods Remembered

Mengadu keberuntungan di Universitas Cornell

Sebuah surat tiba di Universitas Cornell ke hadapan George Kahin untuk mendaftar program fellowship program studi Asia Tenggara. Akan tetapi, surat ini berbeda dengan surat lainnya karena surat ini berasal dari Benda yang merupakan orang Cekoslowakia. Dia melamar untuk program khusus Orang Amerika dan Asia Tenggara.  Akan tetapi, kualitas dan kemampuan intelektualnya yang dijabarkan Kahin dalam obituarinya membuat Kahin tidak merasa ragu untuk meyakinkan Cornell menerima Benda.

Keputusan menerima Benda menjadi keputusan yang sangat tepat. Benda lulus dalam waktu tiga tahun dengan gelar Ph.D untuk Ilmu Pemerintahan melalui sebuah disertasi yang menjadi cikal buku Bulan Sabit dan Matahari Terbit, Islam di Indonesia di Bawah Pendudukan Jepang. Penjelasan yang sangat runtut serta mendalam dalam membahas perkembangan agama Islam di Indonesia selama kolonialisme Jepang membuat buku ini dianggap sebagai “sebuah pencapaian luar biasa dari obyektivitas cendekiawan dan kejujuran intelektual” oleh Mohamed Samin Khan dalam ulasannya. 

Inovasi studi sejarah Asia Tenggara.

Selepas lulus dan mendapat gelar doktoralnya, Benda sempat bekerja di Rochester sebagai asisten professor sejarah selama beberapa tahun sebelum pindah menjadi rekan professor sejarah di Universitas Yale. Bersama Karl Pelzer, Benda bertugas meneruskan pembangunan Pusat Studi Asia Tenggara yang diinisiasi oleh Raymond Kennedy yang telah terbunuh di Indonesia.  Kesetiaan Benda tidak terbantahkan di Yale dengan mengabdi selama 12 tahun meskipun dengan bayaran rendah serta diskriminasi atas status Yahudinya.

Selama mengajar di Yale, Benda menitikberatkan sebuah cara pandang baru dalam pendekatan penelitian sejarah Asia Tenggara yang lebih memokuskan kepada gerakan petani dibandingkan ideologi nasionalis dan antikolonial yang selama ini sering digunakan para peneliti Barat. Salah satu bentuk pandangan ini diutarakannya dalam ulasannya terhadap buku The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia yang ditulis oleh Herbert Feith. Baginya buku tersebut terlalu eropasentris dan memaksakan pandangan barat karena keterasingan mereka terhadap gerakan petani yang ada di Indonesia. Kritik ini pun memantik perdebatan alot yang bertahan hingga berpuluh-puluh tahun dari Feith, Kahin, D.D. Lev, Benedict Anderson dan pakar-pakar studi Asia Tenggara lain.

Pandangan serta intelektual Benda yang mengagumkan membuatnya menjadi sosok yang sangat dikagumi oleh murid-murid yang memiliki kedekatan dengan Benda. Kedekatannya dapat dilihat saat dia merasa kecewa dengan Universitas Yale saat Sartono Kartodirdjo ditolak kelanjutan doktoralnya di Yale dan akhirnya ke Belanda untuk melanjutkan studi.

Pada kisah yang lain, Benda juga turut serta dalam menyelematkan nyawa Ong Hok Ham. Seorang peneliti minoritas Tionghoa dan simpatisan Partai Komunisme Indonesia selepas dia dipenjara dengan memberikannya beasiswa di Yale pada tahun 1967 yang pada masa itu diambang bahaya perburuan.

Membangun Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS)

Pada tahun 1968, Benda menerima sebuah tawaran yang sangat menarik dari Pemerintah Singapura untuk mendirikan sebuah pusat penelitian untuk Studi AsiaTenggara yang diinisiasi Goh Keng Swee, Menteri Dalam Negeri dan Pertahanan Singapura saat itu. Benda pun pindah ke Singapura menjabat sebagai Direktur pertama (Juni 1968-Agustus 1969) dari lembaga ini.

Baca Juga :   Tomas Masaryk: Sang Proklamator Realis yang Kontradiktif
Benda di ISEAS (Sumber: Thomas Petrů)

Sebagai usaha Benda dalam membangun fondasi, dia mengundang koleganya untuk bergabung dan menegaskan otonomi lembaganya dari pemerintah untuk menjamin kebebasan akademik dan penelitian yang dapat dirasakan sampai sekarang. 

Benda mengatakan dalam sebuah seminarnya di Nanyang bahwa dia berharap “ Meskipun kita tidak akan bisa dan berharap untuk melepaskan para akademisi dari kekhawatiran intelektual terhadap urusan negara mereka, setidaknya kita bisa menyediakan lingkungan dan koneksi yang pantas untuk membantu mereka melebarkan cara pandang mereka sehingga memberikan mereka kesempatan untuk mengasimilasi pengetahuan mereka tentang negara lain” tulis Sartono Kartodirdjo dalam obituarinya. 

Kepulangan dan penutupan program studi Asia Tenggara di Yale

Akhirnya, Benda pun kembali ke Amerika Serikat pada tahun 1969. Namun, kepulangannya hanya menghadapkannya pada sebuah kenyataan bahwa beberapa mata kuliah di Program Studinya akan ditutup.  Kabar ini sontak membuat kesehatannya memburuk karena stres yang dialami. Pada akhirnya, kesehatannya memburuk dan dilarikan ke rumah sakit pada Bulan Oktober 1971. Dia pun meninggal seminggu kemudian karena serangan jantung. 

Seiring dengan kematian Benda, Program Studi Asia Tenggara terus mengalami sejumlah krisis yang diakhiri dengan penutupan karena kurangnya dana  dari luar Universitas. Sampai saat ini, Program studi Asia Tenggara resmi ditutup pada tahun 1972 dan hanya tinggal sebagai sebagai program berbasis proyek.

Nama dan baktinya yang harum terus terkenang di benak para kolega, murid dan rekan-rekannya sehingga pada tahun 1977, Southeast Asia Council dari Asosiasi Studi Asia menciptakan Penghargaan Harry J. benda yang pertama kali dimenangkan oleh Sartono Kartodirdjo. Penghargaan ini merupakan urunan dana dari 270 orang di seluruh dunia yang mengenal benda serta institusi yang bekerja sama dengannya, seperti Yale, Cornell dan Yayasan Lee di Singapura sebagai bentuk penghormatan atas buku pertama untuk Studi Asia Tenggara milik penulis baru di bidang ini. 

Daftar Pustaka

Benda, H. J. 1967. Louis Charles Damais. Indonesia. 3:217-22.

Benda, H.J. 1964. Review: Democracy in Indonesia. The Journal of Asian Studies. 23(3): 449-456.

Kahin, G.M. 1972. In Memoriam: Harry J. Benda. Indonesia. 13: 211-212.

Kartodirdjo S. 1972. In Memoriam: Harry J. Benda, 1919–1971. Journal of Southeast Asian Studies, 3(1):171-174.

Khan M.S. 1959. Review: “The Crescent And The Rising Sun”: A Review Article. Pakistan Horizon. 12(1): 58-61.

Legge, J. 1972. Harry Jindrich Benda, 1919–1971. Journal of Southeast Asian Studies, 3(1):169-170.

Petrů, T. 2020. A Centennial Appreciation of Harry J. Benda: A Czech Pioneer of Southeast Asian Studies. Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society. 93 (318): 91-116.

Wertheim. W. F. 1972. Harry J. Benda (1919—1971). Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 128 (2/3): 214-218.

https://historia.id/politik/articles/akhir-tragis-mantan-analis-oss-6anBn/page/1

https://cseas.yale.edu/history-southeast-asia-studies-yale

Share:

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on pinterest
Pinterest
Share on linkedin
LinkedIn

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Related Posts