Gerakan Perlawanan Rakyat Cirebon Tahun 1802-1818 M

Perlawanan rakyat Cirebon atau disebut Perang Kedongdong terjadi selama dua periode yaitu pada tahun 1802-1812 M yang dipimpin oleh Bagus Rangin dan dilanjut pada tahun 1816-1818 M yang dipimpin oleh Bagus Jobin dan Bagus Serit.

Oleh Gustya Cipta Daryani

Salah satu gerakan perlawanan terhadap penjajah yang cukup besar adalah gerakan perlawanan rakyat Cirebon tahun 1802-1818 M dan dikenal dengan Perang Kedongdong. Perlawanan ini tidak terjadi dalam kurun waktu 1820-1818 M melainkan terdapat dua periode perlawanan yaitu pada tahun 1802-1812 M yang dipimpin oleh Bagus Rangin dan dilanjut pada tahun 1816-1818 M yang dipimpin oleh Bagus Jobin dan Bagus Serit.

Perlawanan ini didominasi oleh rakyat Cirebon yang telah lemah dari segi ekonomi. Namun pada kenyataannya masyarakat Cirebon mampu melakukan perlawanan yang cukup besar dan membuat pemerintah kolonial menderita kerugian yang cukup besar. Salah satu pemicu terjadinya Perang Kedongdong ini adalah diusirnya dan dibuangnya Pangeran Raja Kanoman dari keratin ke Ambon dan jabatan sultan diberikan kepada saudara Pangeran Raja Kanoman yang lebih memihak Pemerintah Kolonial.

Sebelum terjadinya Perang Kedongdong, beberapa tokoh masyarakat seperti Sultan Muhammad Syafiudin dan Pangeran Suryakusuma mengadakan pertemuan di daerah Tengah Tani (tempat ini ditetapkan sebagai Keraton Perjuangan atau Bayangan) untuk berdiskusi, dengan menghasilkan beberapa kesepakatan yaitu sepakat untuk mengadakan perlawanan terhadap penguasa kolonial di Cirebon. Mereka memiliki tujuan untuk memulihkan penguasa politik dan penentu kebijakan tradisi yang bersyariat Islam di Cirebon. Lalu sepakat untuk memberitahu serta mengajak tokoh masyarakat lainnya, dan juga mereka sepakat untuk menyembunyikan identitasnya dengan nama sandi. Seperti Pangeran Suryanegara menjadi Suryajanegara, Pangeran Jayanegara menjadi Rancang, Jamaludin Bukhori diganti menjadi Bagus Jabin, Raden Atasangin diganti menjadi Bagus Rangin, Sya’roni diganti menjadi Bagus Serit, Pangeran Arya Sukmadiningrat diganti menjadi Bagus Arsitem, dan Syarif Abdur Rahman diganti menjadi Bagus Sidong.

Dalam mempersiapkan perlawanan ini, para pemimpin dibantu oleh masyarakat Cirebon. Jumlah masyarakat Cirebon ini di perkirakan mencapai 40.000 orang. Strategi yang digunakan oleh para pemimpin perlawanan ini adalah dengan memanfaatkan para tokoh-tokoh yang memiliki pengaruh di daerahnya. Para pemimpin akan mengajak para petinggi daerah untuk bersedia berpartisipasi dalam gerakan perlawanan ini dan pada saat para petinggi daerah tersebut telah bersedia bergabung maka ia akan mengajak seluruh rakyatnya.

Perlawanan diawali dengan mengganggu stabilitas keamanan daerah. Sejak tahun 1802,  berbagai perlawanan rakyat yang berupa kekacauan terjadi di wilayah Cirebon. Kekacauan ini dilakukan rakyat Cirebon dengan bertujuan untuk memperlihatkan bahwa rakyat Cirebon memiliki kekuatan dan keberanian untuk menentang. Target pertama dalam perlawanan ini adalah orang-orang Tionghoa yang dianggap sebagai penyewa tanah pemeras rakyat. Dalam perlawanan ini, terdapat banyak orang-orang Tionghoa yang dibunuh dan diusir dari Cirebon. Perlawanan ini pun dilakukan dengan melakukan penyerbuan terhadap gudang-gudang penyimpanan harta dan makanan.

Dalam perlawanan tahun 1806, Bagus Rangin ditunjuk sebagai pemimpin umum. Para pejuang perlawanan dalam melancarkan aksi perlawanannya selalu menggunakan strategi gerilya yang berbeda-beda dalam setiap penyerangannya dan membuat pihak lawan sulit untuk membaca pergerakan pasukan. Pasukan Kedongdong ini terdiri dari Pasukan Pengawal Raja, Pasukan Santri, Pasukan Suratani dan Pasukan Masyarakat. Pasukan Pengawal Raja merupakan pasukan atau orang-orang yang berasal dari lingkungan Keraton Cirebon, Pasukan Santri berisi oleh para santri yang berasal dari pesantren-pesantren yang berada di wilayah Cirebon yang dibangun oleh para tokoh-tokoh Keraton dan mereka telah dibekali ilmu bela diri. Pasukan Suratani ini terdiri dari para Petani yang peran utamanya sebagai penyedia bahan makan pada saat pelaksanaan perlawanan tersebut. Untuk Pasukan Masyarakat, mereka direkrut dan dilatih oleh kepala daerahnya masing-masing yang sebelumnya kepala daerah tersebut telah dilatih oleh para pemimpin perlawanan. Strategi ini pun disebut dengan strategi estafet. Sementara itu, untuk mengetahui segala hal yang berkaitan dengan pihak kolonial mereka mengutus spionase. Spionase ini secara umum merupakan rakyat sekitar yang berperan sebagai mata-mata dari pasukan perlawanan.

Baca Juga :   Situs Muzoi : Peninggalan Pra-Aksara di Nias yang Terlupakan

Untuk mengenalkan serta menyampaikan strategi perang, para tokoh pemimpin memanfaatkan kebudayaan yang ada seperti pagelaran seni pertunjukan wayang. Beberapa tokoh yang berperan dalam strategi wayang ini adalah adalah Ki Dalang Gedog yang melakukan propaganda di daerah Kidulan atau daerah Palimanan dan sekitarnya serta Ki Konjem di daerah Gegesik dan sekitarnya.

Perlawanan rakyat pun terjadi begitu masif dan pasukan perlawanan tidak mau diajak untuk berunding. Oleh karena itu, komandan ekspedisi dari pihak kolonial memutuskan sebelum pemberontakan mencapai kota maka pemberontakan diselesaikan dengan senjata dan pasukan yang besar. Pertempuran ini terjadi selama berbulan-bulan dan selama itu pasukan Bagus Ranin terkepung sehingga mengakibatkan banyak korban berguguran dari kedua belah pihak. Meski pun begitu, pasukan Bagus Rangin pun sebagian besar berhasil lolos dan menyelamatkan diri dan bersembunyi.

Setelah peristiwa pertempuran tersebut, para pejuang memutuskan untuk menghentikan perlawanan sementara. Engelhard menyadari bahwa pasukan perlawanan ini tidak akan berhenti begitu saja. Untuk itu, Engelhard mencoba untuk mengajak pasukan perlawanan berdiskusi. Awalnya Engelhald meminta agar seluruh rakyat Cirebon menghentikan kerusuhan dan beraktivitas seperti semula, lalu mengajak para pemimpin pemberontak untuk berunding. Perundingan ini terjadi pada tanggal 7 Agustus 1806 dengan beberapa kesepakatan diantaranya Raja Kanoman akan dikembalikan, pemerintah Belanda akan memperbaiki kondisi rakyat Cirebon dan orang Tiongkok tidak diperbolehkan tinggal di wilayah Cirebon. Para pemimpin perlawanan ini pun harus menyerahkan diri sebelum tanggal 17 Agustus 1806. Sebelum dari tanggal yang telah ditetapkan, telah banyak para pemimpin pemberontakan yang menyerahkan diri karena mereka merasa bahwa pihak Belanda akan melaksanakan kesepakatan tersebut. Namun tidak dengan Bagus Rangin. Ia tetap tidak mau menyerah dengan mudah dan akan terus berjuang untuk rakyat Cirebon.

Pada tanggal 1 September 1806, pemerintah kolonial telah sepakat bahwa Raja Kanoman dan kedua saudaranya akan dikembalikan dari Ambon dan pada tanggal 25 Maret 1808 diangkat menjadi Sultan Cirebon. Namun ternyata beberapa perjanjian yang telah disepakati bersama tersebut tidak berjalan dengan semestinya sehingga kekacauan pun kembali terjadi. Pada perjanjian dikatakan bahwa Pemerintah Kolonial akan memperbaiki kondisi rakyat saat itu malah semakin membuat rakyat sulit. Hal ini dikarenakan Daendels menaikkan pajak hasil panen padi menjadi 1/5 dari pajak sebelumnya yang berjumlah 1/10 dari hasil panen. Pada tanggal 2 Maret 1810 Sultan Cirebon dipecat karena perilaku dan tindakan yang dianggap selalu menentang pemerintah Kolonial. Hal inilah yang membuat perlawanan kembali aktif. Melihat kondisi tersebut, maka Bagus Rangin kembali maju untuk memimpin masyarakat dan berhasil mengumpulkan serta membina para pasukannya.

Perlawanan ini selalu dilakukan secara terbuka maupun tiba-tiba. Salah satu perang terbuka adalah perang yang terjadi di Bantarjati saat pasukan Bagus Rangin melawan pasukan Indramayu yang memihak pemerintah Kolonial. Dalam perlawanan kali ini, pasukan perlawanan menggunakan strategi “Buaya Mangap”. Strategi ini disusun dengan menempatkan saku kelompok pasukan yang terdiri dari 40 orang untuk menjaga setiap jembatan menuju Bantarjati. Jembatan tersebut dihiasi oleh janur, daun beringin dan umbul-umbul serta gamelan. Lalu pada saat pasukan lawan melewati jembatan tersebut, mereka akan diberi penghormatan dan disambut dengan alunan suara gamelan. Pihak lawan akan berpikir bahwa rakyat tersebut masih setia dan berpihak kepada mereka padahal ini merupakan strategi untuk mengecoh mereka. Saat pasukan lawan telah melewati jembatan tersebut maka jembatan akan  dihancurkan dan mereka pun terkepung. Pada pertempuran ini, pasukan Bagus Rangin mendapat kemenangan. Namun dua tahun berselang setelah pertempuran tersebut, Bagus Rangin ditangkap oleh pasukan pemerintah di daerah Panongan pada 27 Juni 1812 akibat dari pertempuran di Bantarjati yang kembali terjadi pada 16-29 Februari 1812.

Baca Juga :   Perjalanan Kartosoewirjo  Mendirikan DI/TII

Perlawanan pun berhenti saat setelah Bagus Rangin tertangkap, dan kembali muncul pada tahun 1816-1818 yang dipimpin oleh Bagus Jabin dan Bagus Serit. Perlawanan ini bahkan sampai berkembang ke daerah Majalengka. Banyak sekali bupati-bupati dari berbagai wilayah yang berusaha untuk melakukan perdamaian. Hingga saat Residen Cirebon memutuskan untuk melakukan serangan umum terhadap kaum perlawanan. Namun serangan ini justru mengalami kendala bahkan kekalahan akibat dari adanya permasalahan dalam pemegang komando. Lain halnya dengan pasukan Kedondong yang pada saat itu telah mengetahui rencana tersebut melalui mata-mata. Mereka telah siap siaga menyusun strategi yang diberi nama “suluhan”. Strategi ini diterapkan pada saat pasukan Bagus Jabin melawan pasukan kolonial yang dipimpin oleh Letkol Hoorn di Kedondong. Strategi ini sengaja dilakukan pada malam hari dengan memanfaatkan kunang-kunang sebagai pengecoh pasukan kolonial yang ditugaskan berjaga di Jembatan Ciwaringin. Pengecohan ini dilakukan agar lawan mengerahkkan seluruh isi senjatanya untuk menyerang kunang-kunang, maka saat persediaan senjata mereka telah habis maka dari arah belakang pasukan Kedongdong telah mengepung dan siap menyerang. Strategi ini merupakan salah satu strategi yang diadaptasi dari strategi perang dalam lakon Wayang Perang Jayasuluhan. Akhirnya setelah berbagai peristiwa yang telah terjadi hingga tahun 1818, gerakan perlawanan rakyat Cirebon yang dengan istilah “Perang Kedongdong” pun resmi berhenti.

Referensi

Edi S. Ekajati, Sejarah Perlawanan Terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di Daerah Jawa Barat, Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, 1990.

Farhan, Faviantio, Winny Gunarti Widya Wardani, Febrianto Saptodewo. KARAKTER TOKOH KI BAGUS RANGIN PAHLAWAN PERANG KEDONDONG DI CIREBON. Universitas Indraprasta PGRI: Visual Heritage (Vol.02 No.02). 2020.

Opan Safari H., Perjuangan Bagus Rangin Menentang Kolonial Belanda (1805-1818) (Menurut Sumber-Sumber Tradition)

Rahayu, Islami. STRATEGI-STRATEGI PERLAWANAN RAKYAT CIREBON  DALAM PERAG KEDONGDONG TAHUN 1802-1818 M. IAIN Syekh Nurjati Cirebon: TAMADDUN (Vol. 4 Edisi 1). 2016.

Share:

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on pinterest
Pinterest
Share on linkedin
LinkedIn

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Related Posts