Insiden Jembatan Marcopolo; Pemicu Perang Tiongkok dan Jepang Kedua

Perang Tiongkok-Jepang kedua ini dipicu oleh adanya kebijakan imperialisme yang diterapkan oleh Jepang selama beberapa dekade.

 Oleh Haris Norfaizi

Abad 19 hingga abad 20 M bukan sebuah masa-masa yang baik bagi Tiongkok maupun Jepang. Hubungan panas antara dua negeri ini terus berkobar. Mari melihat bagaimana kedua negara ini memulai api-api panasnya sebelum memasuki topik pembahasan utama.

Perang Tiongkok-Jepang atau dikenal juga perang Sino-Jepang bermula pada tahun 1894 dengan usaha perluasan wilayah pendudukan oleh Kekaisaran Jepang yang di saat itu telah menguasai Korea atau Joseon. Melihat tetangganya telah jatuh ke dalam imperialisme seorang singa yang baru saja bangun dari kurungan kandangnya melalui Restorasi Meiji, di sisi lain Tiongkok yang masih dalam lingkup Dinasti Qing juga berusaha memodernisasi kekuatan militernya meskipun tarafnya jauh dari Jepang. Qing lantas mengusahakan berbagai cara untuk menahan ekspansi Jepang di semenanjung Korea dari usaha diplomatik dengan Amerika Serikat untuk mendirikan konsulat di Korea hingga pengiriman enam batalion ke Korea untuk membantu menekan campur tangan Jepang.

Jepang yang telah menundukkan semenanjung Korea dan berhasil merebut Sungai Yalu, perbatasan dengan Tiongkok. Pasukan Jepang dapat menguasai Kota Andong atau Dandong di Timur Laut dan semakin meluas. Bagian timur laut sepenuhnya dikuasai oleh Jepang dan mulai meluas menuju wilayah Beijing, tempat pemerintahan dan kekaisaran Qing berada. Takut kesakralan Istana Terlarang direbut membuat Tiongkok memilih untuk menyerah terhadap Jepang melalui Perjanjian Shimonoseki pada tahun 1895 dengan beberapa ketentuan berikut:

  1. Qing harus mengakui kemerdekaan Korea dengan berhenti membayar upeti.
  2. Pulau Formosa dan bagian timur Liaodong diberikan kepada Jepang.
  3. Qing harus membayar ganti rugi perang sebesar 300 juta Yen kepada Jepang.
  4. Jepang diperbolehkan untuk melakukan perdagangan di Shashi Provinsi Hebei, Chongqing Provinsi Shichuan, Suzhou Provinsi Jiangsu, Hangzhou Provinsi Zhejiang yang memiliki perdagangan pesat di masa Dinasti Qing.
Peta Kekuasaan Jepang setelah berakhirnya Perang Tiongkok-Jepang Pertama. Sumber: wikipedia.org

42 tahun kemudian Jepang mengalihkan pandangannya kepada musuh dari utara yaitu Rusia.  Sebuah skenario yang diberi nama peristiwa Mukden pada tahun 1931 yang mana sebuah rel kereta api yang dibangun Jepang di timur laut dibom oleh prajurit Jepang sendiri dengan tujuan agar menarik perhatian pasukan Tiongkok. Setelah peristiwa itu, Jepang menyalahkan Tiongkok karena telah menyebabkan ledakan beserta. Masalah ini bisa dijadikan alasan bagi Jepang untuk melakukan sebuah invansi yang semakin mengarah ke pusat Tiongkok.

Selama itu pula pemerintah internal Tiongkok sudah berganti dalam naungan kaum nasionalis Kuomintang dan Kaisar Qing yang telah dipaksa turun tahta kembali diangkat sebagai Kaisar Boneka Manchukuo. Tentu dengan kedua kondisi itu membuat Kuomintang menolak keberadaan Manchukuo sebagai entitas negara terpisah. Di sisi lain keberadaan Jepang malah semakin dikuatkan dengan Protocol Boxer yang berisi aturan-aturan tertentu dari Aliansi delapan negara untuk menghentikan Pemberontakan Boxer pada tahun 1901 dikarenakan pemberontakan ini sangat mengarah kepada gerakan anti asing yang melakukan perdagangan. Segala yang bersifat asing harus dimusnahkan entah itu teologi seperti agama Kristen maupun orang yang perawakan non Tionghoa menjadi sasarannya.

Adanya protokol ini, pemberontakan dapat dihentikan sebagai akibatnya Dinasti Qing dikenakan sanksi yang sangat besar yaitu ganti rugi sebesar 450 juta yang menyebabkan runtuhnya dinasti ini selain daripada adanya desakan kaum nasionalis yang ingin segera mereformasi Tiongkok. Namun ketika menduduki pemerintahan, kaum nasionalis harus menerima keberadaan Jepang sebagai salah satu anggota aliansi yang telah disetujui tadi padahal sudah diketahui niat untuk memperluas wilayah masih ada.

Baca Juga :   Sejarah Propaganda Nazi Jerman Melalui Film Titanic

Pada tahun 1937, Jepang telah menambah pasukannya di Tiongkok dari 7.000 menjadi 15.000 tentara. Sebagian besar ditempatkan di sepanjang jalur kereta api yang dibangun mereka agar mencegah penghancuran oleh Tiongkok yang mana para tentara ini sudah hampir mendekati Beijing atau saat itu Peking dalam penyebutan protokol.

Tepatnya pada tanggal 7 Juli 1937 di malam hari prajurit Jepang melakukan latihan militer yang mana prajurit Tiongkok dan Jepang dibatasi oleh Benteng Wanping. Seusai pelatihan, ditemukan bahwa salah satu prajurit bernama Shimura Kikujiro tidak sempat melapor dikarenakan terburu-buru untuk ke toilet. Hilangnya salah satu prajurit sangat mengherankan bagi Jepang yang mengira bahwa prajurit itu diculik oleh Tiongkok ke dalam Benteng Wanping.

Kecurigaan mulai muncul. Jepang ingin membuktikannya dengan meminta izin ke dalam Benteng Wanping untuk mencari prajuritnya yang hilang. Tentu kedua negara yang tengah berperang saling menaruh curiga akan kemungkinan serangan secara tiba-tiba sehingga Tiongkok menolak permintaan masuk selain daripada perwira militer saja dikarenakan posisinya yang krusial.

Jepang tetap bersikeras meminta untuk masuk ke dalam Benteng Wanping dengan memberikan ultimatum pada Tiongkok bahwa benteng akan diserang jika terus-menerus tidak diizinkan masuk. Menanggapi ancaman itu, keesokan harinya pukul 2 pagi, Tiongkok mengutus walikota Wanping untuk bernegosiasi dengan Jepang untuk mengatasi perihal ultimatum yang dikeluarkan dan prajurit yang hilang. Namun negosiasi itu tidak menghasilkan apapun.

Setelah negosiasi selama dua jam yang berjalan alot, pada pukul 4 pagi kedua pasukan semakin menambah anggotanya dan bersiaga di Jembatan Marcopolo sebagai jalan menuju Wanping. Baru lima menit berselang dari beranjaknya walikota Wanping, Wang Leng Zai,  pasukan Tiongkok dan Jepang mulai melepaskan tembakan karena Jepang berusaha masuk menuju Wanping dan Tiongkok berusaha menahannya agar tidak melintasi Jembatan Marcopolo tersebut.

Prajurit Shimura sudah kembali ke unitnya, namun kedua negara sudah bergerak dan dimulailah Perang Tiongkok-Jepang Kedua atau Second Sino-Japanese War antara Tentara Kekaisaran Jepang dan Tentara Revolusioner Nasional Tiongkok di tahun 1937. Perang Tiongkok-Jepang kedua ini dipicu oleh adanya kebijakan imperialisme yang diterapkan oleh Jepang selama beberapa dekade. Jepang berkeinginan untuk mendominasi dirinya atas Tiongkok baik secara politik maupun militer untuk mengambil alih cadangan bahan baku sumber daya alam melimpah yang dimiliki Tiongkok. Saat ini Benteng Wanping maupun Jembatan Marcopolo dijadikan sebagai Situs Memorial Rakyat Tiongkok Anti-Jepang sebagai peringatan peristiwa dimulainya perang Sino-Jepang kedua di Tiongkok.

Daftar Pustaka

Crowley, J. B. (1963). A Reconsideration of the Marco Polo Bridge Incident. The Journal of Asian Studies22(3), 277–291.

Hendratno, R. H. (1986). Perang Cina-Jepang tahun 1894–1895 (Latar Belakang Hubungan Cina, Jepang dan Korea). (Skripsi). Program Sarjana, Universitas Indonesia, Depok.

Mitter, R. (2013). China’s war with Japan, 1937–1945: The Struggle for Survival. London: Penguin Publisher UK.

Saragih, D. D. (1986). Perang Cina-Jepang (1894–1895). (Skripsi). Program Sarjana, Universitas Indonesia, Depok.

Song, Y. (Ed.). (2009). Encyclopedia of Chinese-American Relations. North Carolina: McFarland.

Share:

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on pinterest
Pinterest
Share on linkedin
LinkedIn

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Related Posts