Postkolonialisme dan Mentalitas Inlander di Indonesia

Secara etimologi kata “mental” berasal dari bahasa Yunani, yang mempunyai pengertian sama dengan pengertian psyche yaitu psikis, jiwa atau kejiwaan (Notosoedirjo 2001). Sementara James Draver memaknai mental sebagai revering to the mind yang memiliki makna sesuatu yang berhubungan dengan pikiran atau pikiran itu sendiri. Secara sederhana mental dapat dipahami sebagai sesuatu yang berhubungan dengan batin, watak atau karakter, tidak bersifat jasmani.

Oleh Ahyaturohman

Kata mental diambil dari bahasa Latin yaitu dari kata mens atau metis yang memiliki arti jiwa, nyawa, sukma, roh, semangat. Dengan demikian mental ialah hal-hal yang berkaitan dengan psycho atau kejiwaan yang dapat mempengaruhi perilaku individu. Setiap perilaku dan ekspresi gerak-gerik individu merupakan dorongan dan cerminan dari kondisi (suasana) mental (Kartono and Andari 1989). Sementara menurut KBBI, mentalitas merupakan turunan dari kata mental yang bermakna keadaan dan aktivitas jiwa (batin), cara berpikir, dan berperasaan seorang manusia.

Membahas mengenai mentalitas di Indonesia, tentu tidak dapat terpisahkan dari perjalanan sejarah bangsa Indonesia yang pernah terjajah, atau paling tidak terkungkung oleh kekuasaan asing selama ratusan tahun terakhir. Bangsa Indonesia pada masa kolonialisme memiliki nasib yang lebih memprihatinkan jika dibandingkan dengan negara terjajah lainnya. Hal tersebut terjadi karena Indonesia dijajah oleh bangsa yang kurang memperhatikan nasib negara jajahannya dari segi moral, pendidikan, atau kemampuan untuk dapat berkembang. Hal tersebut mungkin dilakukan mengingat Indonesia dianggap sebagai negara “supply” penghasil sumber daya alam yang melimpah dan memiliki masyarakat yang sangat banyak, sehingga ketegasan dan pengontrolan dilakukan secara lebih ketat. 

Terlepas daripada itu, terhapusnya kolonialisme klasik yang terjadi di dunia berdampak pada sederet pekerjaan rumah yang harus dibenahi oleh negara-negara bekas jajahan, termasuk Indonesia. Hal tersebut meliputi problematika sosial, budaya, ekonomi, politik, serta problematika mentalitas inferior yang merupakan imbas dari perlakuan moral kolonial yang merendahkan bangsa Indonesia. Mentalitas inferior dalam konteks Indonesia sering kali dimunculkan dengan sebutan mentalitas inlander atau bangsa lemah dan tidak memiliki kemampuan untuk dapat menduduki posisi terdepan.

 Permasalahan mentalitas inlander berkaitan dengan teori antropologi bahwa pada dasarnya bangsa kolonial dan imperialis memiliki kecenderungan memandang bangsa jajahannya sebagai bangsa yang inferior, polos, tidak mampu, dan membutuhkan peran bangsa Barat sebagai pembimbing untuk memenuhi  berbagai aspek kebutuhannya (Young, 2003). 

Adanya sudut pandang yang menganggap bahwa bangsa jajahan adalah bangsa yang inferior, menjadikan bangsa Indonesia di treatment sedemikian rupa dengan alasan untuk menekan bangsa Indonesia agar tetap tunduk dan tidak dapat berkembang. Proses treatmen ini kemudian menjadi hal yang lumrah dan dianggap sebagai suatu hal yang wajar dalam proses keseharian. Pada akhirnya hal tersebut tertanam dalam alam bawah sadar dan menjadi bagian mentalitas dari bangsa Indonesia.

Contoh dari mentalitas inlander yang dimaksud adalah mental yang mudah mengalah, kurang memiliki etos kerja, menganggap bangsa asing terutama Barat sebagai bangsa yang lebih maju (superior), kurang percaya akan produk lokal, dan lain sebagainya. Sebagai sebuah negara yang masih dalam proses berkembang, isu mentalitas ini tentu menjadi permasalahan besar, karena akan menghambat proses Indonesia menjadi negara yang lebih maju. Sehingga menjadi penting bagi kita untuk kembali mengkaji permasalahan ini sehingga dapat mencari solusi terbaik guna memperbaiki permasalahan mentalitas inlander.

Melihat Mentalitas Inlander dari Sudut Pandang Historis

Secara historis, pemerintah kolonial Hindia-Belanda cendrung melakukan diskriminasi terhadap orang pribumi. Kata “Inlander”  memiliki kesan merendahkan dalam penggunaannya. Sebagai contoh kata Inlander digunakan di ruang-ruang publik khusus orang-orang Eropa “Verboden voor honden and Inlander” (terlarang bagi anjing dan pribumi). Hal ini tentu sangatlah miris karena Inlander disandingkan dengan anjing dan memiliki kesan menghina. Maka dari itu menjadi wajar pada akhirnya sejak awal abad ke-20, kaum nasionalis Indonesia mulai menolak menggunakan kata Inlander (Fadly, 2008) 

Pada masa penjajahan Belanda mentalitas inlander ini juga turut terbentuk dari kebijakan-kebijakan kolonial yang mendiskreditkan kaum pribumi. Belanda pada masa itu membagi masyarakat yang tinggal di wilayah Hindia-Belanda ke dalam tiga kategori, yaitu urutan stratifikasi teratas yang didominasi oleh masyarakat Eropa, lalu stratifikasi kedua yaitu masyarakat pendatang seperti: China, Arab, dan India yang rata-rata berprofesi sebagai pedagang, dan diberikan status khusus oleh pemerintah kolonial Belanda, serta masyarakat pribumi yang tinggal sejak lama di daerah-daerah penjajahan Belanda. Mereka adalah penduduk asli setempat. Mereka berada pada stratifikasi terendah karena mereka adalah objek langsung dari penindasan sebagai dampak dari penjajahan kolonial (Alam, 2017).

Mengklasifikasikan golongan masyarakat di era kolonial antara kaum pribumi dan kaum pendatang memberikan permasalahan tersendiri di masa sekarang. Secara umum, pribumi ini digunakan sebagai pembeda antara suatu suku/golongan asli Indonesia dengan suku/golongan yang berasal dari luar dan biasa dianggap sebagai pendatang. Penduduk dari etnis lainnya seperti Tionghoa, India, Arab, maupun ekspatriat dianggap sebagai non pribumi meskipun banyak generasinya yang lahir di Indonesia. Pandangan ini dikarenakan masyarakat Indonesia yang cenderung menggolongkan masyarakatnya berdasarkan warna kulit, kebudayaan, maupun agamanya. Namun jika dilihat berdasarkan agamanya, keturunan Arab yang lahir di Indonesia akan dianggap sebagai pribumi sebab mayoritas masyarakat Indonesia yang beragama Islam (Amri, 2011).

Baca Juga :   Pertikaian Masyumi dan PKI di Wilayah Pandeglang

Pengklasifikasian masyarat di era kolonial tersebut bukankah bisa juga kita kategorikan sebagai mentalitas Inlander? Dalam hal kerukunan dalam bernegara yang mana antara kaum pribumi dan kaum pendatang yang secara garis keturunan berbeda, kemudian memiliki sekat tersendiri dan cenderung memandang satu sama lain sebagai kaum yang berbeda. Kemudian pandangan tersebut diwariskan turun temurun dan mengakar dalam ranah mentalitas. Meskipun dalam proses perkembangannya pengklasifikasian tersebut perlahan mulai memudar, tapi juga perlu diwaspadai karena pertikaian antara sesama anak bangsa dapat menjadi sesuatu yang riskan dan menjadi titik awal perpecahan. Sependapat dengan apa yang dikemukakan oleh Saree Makdisi bahwa bagi bangsa yang plural tentu perlu meminimalisir adanya dikotomi etnisitas antara satu sama lain, dan menghapuskan sekat yang menggolongkan suatu kelompok sebagai We sementara kelompok lainnya adalah They dan mampu mengekstrak perbedaan tersebut menjadi Us.

Perwujudan empiris historis dari mentalitas Inlander adalah sebagai upaya pemerintah kolonial untuk melegitimasi hegemoni kekuasaannya. Dengan memanfaatkan gagasan tentang pribumi sebagai bangsa Inlander, mereka menggambarkan citra negatif kaum pribumi sehingga praktik-praktik eksploitasi di tanah jajahan dapat digencarkan. Mereka mencari alasan untuk membenarkan  penaklukan dan penguasaan Eropa atas wilayah tersebut. Ia juga membelokkan unsur-unsur kenyataan sosial dan manusia ini untuk menjamin bangunan ideologi yang sesuai dengan kebutuhan mereka (Alatas, 1998). Bangsa Eropa memberikan kesan pada kaum pribumi sebagai bangsa yang bodoh, malas, dan membutuhkan kehadiran bangsa Eropa untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Hal serupa diungkapkan oleh Edward Said, dimana relasi antara orang-orang Timur (pribumi Indonesia) dengan orang-orang Barat (the occident), Belanda adalah hubungan kekuasaan, dominasi, dan kompleksitas hegemoni. Oleh karena itu, citra orang-orang Timur yang dianggit oleh Barat (penjajah) bukanlah citra sebenarnya tetapi lebih pada pencitraan penuh distorsi dengan tujuan menguasai (Alatas, 1998).

 Postkolonialisme dan mentalitas Inlander

Tema-tema yang dikaji dalam poskolonial amat luas dan beragam, meliputi politik, ekonomi, agama, ideologi, pendidikan, sejarah, antropologi, kesenian, etnisitas, bahasa, dan sastra. Oleh karena itu, teori poskolonial melibatkan tiga pengertian yaitu: 

a) abad berakhirnya penjajahan fisik di seluruh dunia,

b) segala tulisan yang berkaitan dengan pengalaman-pengalaman, dan 

c) teori-teori yang digunakan untuk menganalisis masalah-masalah pasca-kolonial (Sabharwal, 1999) 

Wacana postkolonial berupaya menganalisis kenyataan historis tentang kolonialisme Eropa yang secara terus menerus membentuk hubungan antara Barat dan non-Barat setelah negara-negara bekas koloni memperoleh kemerdekaannya. Postkolonialisme menggambarkan proses resistensi dan rekonstruksi yang terus dilakukan oleh non-Barat. Wacana postkolonial berupaya mendekonstruksi watak binerisme yang biasanya digunakan untuk merekonstruksi perbedaan identitas antara hitam-putih, beradab-barbar, tradisional-modern, sang diri-sang lain (King, 2001).

Merujuk pada cakupan postkolonialisme yang merambat pada berbagai aspek kehidupan di masyarakat koloni, tidak terlepas juga dengan mentalitas inlander yang merupakan produk daripada sudut pandang orang Eropa dalam melihat orang pribumi (sebagai orang Timur). Hal tersebut memang merupakan subjektivitas atau interpretasi belaka dari orang Eropa yang kemudian menjustifikasi kaum pribumi dari sudut pandang sepihak mereka, sehingga mereka memberi sekat pemisah antara golongan Timur-Barat.

Mentalitas inlander merupakan bagian dari pada orientalisme yang berkaitan dengan cara orang Eropa memandang orang non-Eropa sehingga ada perbedaan sudut pandang orang Eropa terhadap orang pribumi. Walaupun terkadang hal tersebut sengaja dilakukan karena dilandasi oleh kepentingan politik tetapi praktik dari pada pengkerdilan terhadap orang pribumi itu nyata dan berdampak secara langsung.

Setelah kolonialisme berakhir, beberapa aspek dari justifikasi orang Eropa tersebut masih membekas, dan menjadi permasalahan tersendiri bagi negara bekas jajahan pasca-kolonial. Hal tersebut dapat terjadi karena mentalitas dapat diwariskan secara turun-temurun, meski disadari atau tidak.

Apakah Mentalitas Inlander masih ada?

Setelah Indonesia memperoleh kemerdekaan selama 76 tahun, lantas yang menjadi pertanyaan adalah apakah kita masih terjebak dalam permasalahan mentalitas inferior atau mentalitas inlander? Ada yang menarik dalam pernyataan presiden Joko Widodo pada acara HUT ke 10 partai Nasdem. Beliau berpidato bahwa pada prinsipnya mentalitas inlander tersebut masih ada dan mengurangi marwah kita sebagai sebuah bangsa yang besar. Beliau berujar “Di negara sendiri sering dikerdilkan, yang sering membuat saya sedih. Padahal pada posisi itu sebetulnya baik keketuaan presidensi G20 ataupun  nantinya setelah ini jadi ketua ASEAN, mestinya Indonesia sebagai bangsa yang dihormati dan juga warga negara Indonesia ini juga akan merasakan kehormatan itu” lebih lanjut presiden Jokowi juga menegaskan “ Saya tidak ingin mental inferior, mental inlander, mental terjajah yang masih bercokol dalam mentalitas bangsa kita”. Dari pidato presiden Joko Widodo tersebut, tentu beliau masih melihat bahwa permasalahan mentalitas inlander masih menjadi urgensi dalam proses pembangunan bangsa Indonesia sekaligus menekankan bahwa mentalitas tersebut masih ada. Sayangnya, isu mengenai mentalitas ini berada pada ranah alam bawah sadar (mentalitas) dan tidak dapat diidentifikasi melalui pengamatan sekilas sehingga kadang dianggap sebagai suatu hal yang mengada-ada dan diragukan keberadaannya. Oleh karena itu, peran pemerintah menjadi penting untuk mengikis nilai-nilai mentalitas inlander dan menguatkan kesadaran di masyarakat akan pentingnya hal tersebut. 

Baca Juga :   Cahaya Puan di Tepi Sungai Elo bernama Sekolah Perempuan Katolik Mendut (1908-1943)

Isu mengenai mentalitas inlander ini sebenarnya telah menjadi moto utama Jokowi pada masa  awal beliau mencalonkan diri sebagai Presiden Indonesia melalui slogan “Revolusi Mental”. Beliau mencoba untuk meminimalisir efek negatif dari mentalitas-mentalitas buruk yang tersisa dari periode kolonialisme dan menggantinya dengan nilai-nilai luhur sejarah bangsa Indonesia, yang pada dasarnya memiliki peradaban yang maju dan memiliki mental superior.

Saat ini, isu mentalitas inlander mungkin sudah disadari oleh banyak kalangan yang kemudian juga turut mendorong Jokowi untuk dapat terpilih sebagai presiden RI ke-7. Akan tetapi kata revolusi yang dipakai dalam jargon Revolusi Mental yang diusung oleh beliau untuk mempercepat proses penghapusan mental inlander secara cepat dan masif, masih terbilang minim dalam penerapannya. Mungkin hal tersebut juga membutuhkan proses dan kesabaran dalam penyelesaiannya.

Butuh langkah yang sistemik, untuk membakar habis mental inlander yang telah menghinggapi bangsa kita selama berabad-abad. Belanda menanamkan mental inlander kepada masyarakat Indonesia melalui kekuasaan mereka, dengan skema yang rapi. Maka cara untuk meruntuhkannya, juga perlu adanya langkah yang skematik dari pemimpin. Melalui kekuasaan yang dimiliki, pemimpin harus bisa memberikan contoh sekaligus mensinergikan semua rakyat untuk melakukan perbaikan mental (Haidar, 2015).

Perbaikan mental pertama-tama dilakukan dengan cara  merubah paradigma bangsa yang terlalu mengagungkan bangsa asing. Sebagai contoh, bangsa ini harus bangga dengan budaya sendiri, cinta akan produk dari dalam negeri, tidak berkiblat pada negara Barat dan mengelu-elukan bangsa Barat, percaya akan kapabilitas bangsa, dll. Sehingga ketika hal tersebut dapat tercapai, bangsa kita akan menjadi bangsa yang berintegritas, serta  memiliki harkat dan martabat untuk bersaing dan melakukan posisioning dalam percaturan politik dunia.

Kesimpulan

Penting sekiranya kita menilik kembali sejarah yang pernah terjadi di masa lalu dan menjadikannya sebagai pembelajaran yang nyata bagi kehidupan saat ini. Jika kita mencoba menelaah tentang sejarah mentalitas inlander dan mencoba mengambil nilai historis yang ada di dalamnya, kita akan mendapati bahwa kesadaran kita sebagai bangsa Indonesia haruslah tertanam sebagai bangsa yang satu dan melepaskan diri dari pakem etnisitas dan perbedaan yang ada. Oleh karena itu, kehendak akan egosentrisme masing-masing dapat diredam karena hal yang demikian itu juga merupakan bagian dari warisan kolonial. Lebih jauh lagi, inferioritas dalam pribadi bangsa Indonesia haruslah dihapuskan, mengingat hal tersebut dapat menjadi penghambat bagi kemajuan bangsa Indonesia. 

Mental inlander merupakan manipulasi bangsa kolonial dalam rangka mengukuhkan kekuasaannya di tanah jajahan dan merupakan skema mereka untuk menundukan dan mengeksploitasi bangsa Indonesia. Sehingga, setelah kita menyadari hal tersebut, maka perlu upaya-upaya bagi kita untuk menghayati dan mencoba menggali kembali marwah kita sebagai bangsa yang besar yang pernah ada dan berjaya di Nusantara.

Isu mentalitas inlander di era kini, merupakan wacana kebangsaan yang terus digencarkan oleh pemerintah. Keberadaannya diyakini masih ada sehingga perlu upaya-upaya strategis guna menghilangkan atau menggantinya dengan mentalitas baru yang dapat mengangkat derajat bangsa. Hal tersebut tentu memerlukan upaya dan proses yang besar, namun juga perlu kita dukung upaya dari pemerintah yang dewasa ini juga telah menyadari urgensi dari permasalahan tersebut. Sehingga pada akhirnya dapat diperoleh mentalitas baru yang mendukung demi terciptanya kemakmuran bersama. Untuk menghapuskan mentalitas inlander perlu upaya-upaya strategis dan kesadaran bersama dalam penyelesaiannya.

Daftar Pustaka

Alatas, S.H. 1998. Mitos Pribumi Malas. Jakarta:LP3ES.

Draver, James.1952. A Dictionary of Psychology. New York: Penguin Reference Books.

Kartini Kartono dan Jenny Andari, Hygiene. 1989. Mental dan Kesehatan Mental dalam Islam. Bandung: Mandar Maju.

Makdisi, Saree. 2014. Making England Western: Occidentalism, Race, and Imperial Culture. London: The University of Chicago Press.

Marzali, Amri. 2011. Pemetaan Sosisal Politik Kelompok Etnik Cina di Indonesia. Akademi Pengajian Melayu Universiti Malaya, edisi XXXVII/ No.2.

Notosoedirjo, Moeljono. 2001. Kesehatan Mental: Konsep dan Penerapan. Malang: Universitas Muhammadiyah.

King, Richard. 2001. Agama, Orientalisme, dan Poskolonialisme (penerjemah Agung Prihantoro). Yogyakarta: Qalam.

Sabharwal, Gopa. 1999. Penguin India Millenium Yearbook. South Asia Books.

Tim Penyusun Pusat Pembinaan Pengembangan Bahasa. 1994. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua. Jakarta: Balai Pustaka.

Young, Robert J. C. 2003. Postcolonialism: A Very Short Introduction. New York: Oxford University Press.

Fajar, Yusri. 2011. Negosiasi Identitas Pribumi dan Belanda dalam Sastra Poskolonial Indonesia Kontempore. Literasi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Brawijaya Malang. Volume 1(2): 179.

Fanny S Alam. Politisasi isu Pribumi dan Non Pribumi. Geotimes dalam

diakses pada 25 Desember 2021

Rahman, Fadly. Gubernur yang Gagal Memahami Indonesia. Detik.news dalam

https://news.detik.com/kolom/d-3688927/gubernur-yang-gagal-memahami-indonesia diakses pada 24 Desember 2021

Haidar, Muhammad Iqbal. 2015. Menghapus Mental Inlander. Insan Profetik dalam

https://injenuitas.blogspot.com/2015/02/menghapus-mental-inlander.html#

diakses pada 27 Desember 2021.

Share:

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on pinterest
Pinterest
Share on linkedin
LinkedIn

(1) Komentar

  1. Memang banyak kali sih contoh sikap dari masyarakat yg mencerminkan mental ini, yuk sama-sama kita minimalisir kan mulai dari sekarang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Related Posts