Hubungan Mahasiswa dan Partai Politik pada Era 1950-1960

Pada era 1950-1960-an mahasiswa tidak memiliki partai politik tetapi gerakan mereka sangat dekat dengan partai. Beberapa diantaranya bahkan dipandang sebagai underbow. Setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, Wakil Presiden Moh. Hatta segera mengeluarkan Maklumat Politik 3 November 1945. Secara garis besar maklumat tersebut menyerukan rakyat untuk membentuk partai politik guna mempersiapkan pemilihan badan perwakilan rakyat pada Januari tahun berikutnya. Tidak berselang lama, maklumat langsung disambut dengan berdirinya partai-partai politik.

Oleh : Rifaldi Apinino

Tidak hanya partai politik, beberapa organisasi lain pun bermunculan seperti organisasi buruh, petani, laskar-laskar rakyat, hingga organisasi mahasiswa. Kemunculan berbagai organisasi rakyat ini diakibatkan situasi yang belum stabil. Belum ramainya pengakuan internasional dan agresi yang bertubi-tubi memaksa rakyat untuk berhimpun dalam satu wadah perjuangan. Gejolak yang terjadi berlangsung sampai disahkannya Konferensi Meja Bundar tahun 1949. Lewat perundingan itu, sengketa wilayah dan masa revolusi fisik setidaknya dapat diredam.

Sekitar tahun 1950-an, Indonesia mulai menghadapi banyak gejolak dalam negeri. Partai-partai politik berselisih pendapat soal kenegaraan. Masing-masing partai memperjuangkan hal yang sesuai dengan ideologinya. Pada masa ini pula, organisasi mahasiswa menjalin perkawanan dengan partai politik yang dianggap memiliki kesamaan dalam garis politik.

Satu Jalan Sama Ideologi

Salah satu organisasi mahasiswa yang sampai saat ini masih eksis adalah Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). HMI dalam perkembangannya selalu dikaitkan dengan Partai Masyumi. Beberapa kalangan bahkan menganggapnya sebagai underbow. HMI sendiri lahir di tengah situasi revolusi pada 5 Februari 1947 di Yogyakarta dengan pendiri Lafran Pane dan beberapa kawan-kawannya. Sofian Purnama dalam penelitiannya berjudul Angkatan Darat dan HMI 1960-1965: Sebuah Studi Kasus Hubungan Sipil-Militer di Indonesia menyebutkan, Lafran Pane membentuk organisasi ini terkesan tergesa-gesa karena telah sedemikian mendesak untuk didirikan. Dalam konteks semangat untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari kolonialisme yang diperjuangkan oleh umat Islam, maka itu HMI mendeklarasikan dirinya (Hal. 25).

Sumber Gambar: Youtube Arsip Nasional Republik Indonesia

Memasuki tahun pemilu 1955, gerakan HMI selalu dikait-kaitkan dengan Partai Masyumi. Anggapan tersebut muncul dari kalangan mahasiswa Nahdlatul Ulama (NU). Nusron Wahid dalam penelitiannya berjudul Deklarasi Murnajati: Sepak Terjang dan Keluarnya PMII dari NU (1966-1972) menulis, mahasiswa NU memiliki rasa ketidaksukaan dan perlakuan tidak adil ketika aspirasi mereka ditampung di HMI karena kepengurusan  HMI selalu didominasi oleh mahasiswa Masyumi atau Muhammadiyah. Akibatnya, aspirasi yang keluar selalu identik dengan Masyumi atau Muhammadiyah. Tindakan ini menyebabkan banyak mahasiswa NU yang memutuskan keluar dari HMI hingga berbuntut pada terbentuknya organisasi baru bernama Keluarga Mahasiswa NU (KMNU) pada 1955 (Hal. 24).

HMI menyangkal tuduhan underbow partai. Walaupun secara jelas bahwa organisasi ini merupakan organisasi berasaskan Islam, tetapi tidak memberikan dukungan yang bulat terhadap Masyumi. Ini diakibatkan adanya perpecahan di tubuh Masyumi pada tahun 1952. HMI menilai bahwa Masyumi bukan satu-satunya partai Islam yang ada. Oleh karena itu, sebelum pemilu 1955, HMI mengadakan konferensi akbar di Yogyakarta yang menghasilkan keputusan berupa seruan untuk seluruh anggota dan khalayak ramai agar memilih Partai Islam yang ada (Purnama, 2004: 57).

Keputusan HMI dalam kongres untuk membebaskan para kader dalam mencoblos partai politik adalah suatu penegasan bahwa organisasi Islam ini tidak berafiliasi serta bukan underbow Masyumi. Meski demikian, antara HMI dengan Masyumi memang terdapat persamaan pandangan. Seperti perlunya mengangkat kehidupan umat Islam dalam bidang sosial, budaya, pendidikan, ekonomi, dan tentunya politik. Kesamaan-kesamaan inilah yang membawa pandangan masyarakat bahwa HMI adalah underbow partai Masyumi. 

Baca Juga :   Karya Sastra di Simpang Jalan Pemerintahan Orde Baru

Organisasi mahasiswa lainnya yang pada waktu itu cukup besar adalah Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI). Berbeda dengan HMI, CGMI lahir dari fusi beberapa organisasi mahasiswa lokal seperti Consentrasi Mahasiswa Jogja (CMJ), Consentrasi Mahasiswa Bogor (CMB), dan Gerakan Mahasiswa Indonesia Bogor (GMIB). Galih Mahardika dalam penelitiannya berjudul Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia 1956-1965: Pasang Surut Organisasi Kiri Mahasiswa menulis, mulanya ketiga organisasi mahasiswa ini memiliki satu pandangan yang sama yaitu menolak perpeloncoan di kampus. Kegiatan tersebut dipandang sebagai tradisi kolonial yang harus dihapuskan. Adanya kesamaan pandangan tersebut, umumnya merupakan kesamaan pandangan mengenai anti kolonialisme. Akhirnya pada tanggal 10-14 Juli 1956 diadakanlah suatu kongres fusi menuju organisasi nasional di Taruna Giri, Puncak, Bogor. Kongres tersebut ternyata diikuti oleh beberapa organisasi mahasiswa lokal, seperti CMM dari Medan, Komindo dari Surabaya, PMAM dari Makassar, Malang, dan Jakarta (Hal. 17).

Setelah melalui beberapa kongres fusi, CGMI baru diresmikan pada 17 November 1956 di Yogyakarta. Dalam peresmian tersebut, CGMI memberikan alternatif baru bagi mahasiswa untuk berorganisasi tanpa melihat ideologi tertentu maupun golongan agama tertentu. Semua mahasiswa dapat diterima menjadi anggota CGMI. Disinilah CGMI mendapat reputasi sebagai satu-satunya organisasi mahasiswa nasional yang independen. Sebab pada saat itu, beberapa organisasi mahasiswa terlanjur dipandang dekat dengan partai politik, seperti HMI dengan Masyumi atau GMNI dengan PNI. 

Dalam perjalanannya, CGMI juga menjalin kerjasama internasional. Mereka bernaung dalam wadah bernama International Union of Student (IUS). IUS sendiri merupakan wadah bagi organisasi mahasiswa di negara-negara sosialis. Tidak dapat dipungkiri saat itu situasi politik Indonesia memang banyak menjalin kerjasama dengan negara-negara sosialis untuk menentang dominasi kekuatan imperialis. 

Keberadaan CGMI ternyata tidak selanggeng HMI. Organisasi ini hancur lebur setelah meletus peristiwa 65. CGMI dianggap sebagai underbow Partai Komunis Indonesia (PKI). Pada awal 1960, CGMI memang telah menjalin hubungan dengan PKI. Banyak anggota organisasi yang berasal dari universitas-universitas bentukan partai seperti Akademi Aliarcham, Universitas Res Publika, dan lain sebagainya. Sehingga banyak mahasiswa berhaluan Marxis yang aktif di CGMI.

Pada tahun 1964 akhirnya PKI memberikan dukungan kepada CGMI melalui penetapan garis politik partai. Garis politik ini bertujuan untuk memperjuangkan keadilan bagi rakyat kelas bawah dengan memberikan berbagai ajaran Marxisme. Selain itu, CGMI juga berperan mengedukasi mahasiswa di tingkat perguruan tinggi agar mengamalkan marxisme, dan juga mengupayakan dalam membendung mahasiswa borjuis yang reaksioner. Pada tahun ini juga CGMI menegaskan dirinya sebagai ‘kom’ yang adalah upaya juga agar mereka dapat duduk di dewan mahasiswa yang wajib merepresentasikan tiga golongan (nasakom). Golongan agama telah diwakilkan oleh HMI, nasionalis telah diwakilkan GMNI, sedangkan komunis belum ada yang mewakilkan. Dari sini, CGMI mendeklarasikan diri mereka sebagai organisasi mahasiswa komunis dan progresif nonkomunis (Mahardika, 2018: 48).

Langkah politik CGMI ini membuat masyarakat, khususnya lawan politiknya memandang CGMI sebagai underbow partai. Meski dalam praktik politiknya lebih banyak mendukung kebijakan presiden Sukarno. Terlihat dalam hasil-hasil kongres yang mereka lakukan. Misalnya, pada kongres II di Jakarta, mereka dengan aktif mendukung Manifesto Politik Presiden Sukarno. Subandrio bahkan memandang CGMI sebagai alat revolusi nasional di bidang kemahasiswaan untuk menanggulangi usaha kaum kolonialis dan imperialis yang akan memecah kekuatan revolusi (Hal. 50).

Daftar Pustaka

Mahardika, Galih. 2018. Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia 1956-1965: Pasang Surut Organisasi Kiri Mahasiswa. Skripsi Sarjana Universitas Indonesia.

Baca Juga :   Mengelola Jalur Trem Pendek: Modjokerto Stoomtram Maatschappij

Purnama, Sofian. 2004. Angkatan Darat dan HMI 1960-1965 Sebuah Studi Kasus Hubungan Sipil-Militer di Indonesia. Skripsi Sarjana Universitas Indonesia.

Wahid, Nusron. 1999. Deklarasi Murnajati Sepak Terjang dan Keluarnya PMII dari NU (1966-1972). Skripsi Sarjana Universitas Indonesia.

Share:

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on pinterest
Pinterest
Share on linkedin
LinkedIn

Related Posts