Prabu Dharmawangsa Airlangga dalam Sejarah Mdang Kahuripan Abad XI

  Masa pemerintahan kerajaan Medang atau Mdang terbagi ke dalam dua periode. Periode pertama berpusat di Jawa Tengah yang seringkali disebut sebagai periode Mdang i bhumi Mataram dan periode kedua adalah periode Mdang yang berpusat di wilayah Jawa Timur. Rakryan Mahamantri i Hino Mpu Sindok adalah pelopor sekaligus pendiri Mdang yang berpusat di Jawa Timur sekaligus pendiri dari Wangsa Isyana (Isyanawamsa). Setelah Mpu Sindok wafat dan pergantian pemegang takhta, tampillah seorang bangsawan pangeran asal Bali dan tergolong masih berasal dari Wangsa Isyana berhasil mendaki takhta Mdang di Jawa Timur. Namanya adalah Dharmmawangsa Airlangga. Dharmmawangsa Airlangga atau Airlangga menjadi raja terbesar Mdang periode Brang Wetan (Jawa Timur) sekaligus moyang leluhur Singhasari (Tumapel) dan Majapahit. Petikan informasi dari Prasasti Pucangan menerangkan bahwa, “Karena beliau (Airlanggadewa) sendiri adalah seorang titisan Bhatara Wisnu (Bhatara Hari) maka beliau (Airlanggadewa) pun juga tidak dapat mati terbunuh oleh kuasa dari mahapralaya.”

Oleh: Yeremia Satria Yasobam Elprinda  

   Kerajaan kesatuan Mdang Kahuripan atau Mdang Kahuripan adalah nama sebuah kerajaan yang diperintah oleh Airlangga di Brang Wetan (Jawa Timur) pada abad ke-XI. Airlangga adalah seorang pangeran Kerajaan Bali yang berasal dari Wangsa Warmmadewa. Airlangga terlahir dari pasangan Sri Maharaja Sang Ratu Maruhani Sri Dharmmodayana Warmadewwa atau Udayana Warmmadewa dengan parameswarinya, yaitu Sri Mahendradatta atau Sri Gunapriya Dharmmapatni. Pernikahan mereka kemudian dikaruniai tiga orang putra bernama Dharmmawangsa Airlangga, Marakatapangkaja, dan Haji Anak Wungsu atau Anak Wungsu. Saat berusia 16 tahun, Airlangga dikirim ke Jawa untuk dinikahkan dengan putri pamannya yang merupakan kakak dari ibunya sendiri yaitu Sang Apanji Wijayamrthawarddhana bergelar abhiseka Sri Maharaja Dharmmawangsa Tguh Isyana Annatawikramotunggadewa. 

  Dalam pemberitaan Prasasti Pucangan dwibahasa (Jawa Kuna dan Sanskerta), istana Kedaton Mdang i bhumi Wwatan diserbu dan dibinasakan oleh pasukan Kerajaan Wurawari pimpinan Haji Wurawari dari Lwaram yang disinyalir dibantu pasukan Kedatuan Sriwijaya. 

Foto batu Prasasti (upala/lingopala prasasti) Pucangan (Calcutta Stone) dimana sisi yang berbahasa Sanskerta bertarikh 959 Saka (1037 M) dan yang berbahasa Jawa Kuna bertarikh 963 Saka (1041 M). Berisikan mengenai silsilah Dinasti Isyana hingga Airlangga, perang penaklukkan yang dilakukan oleh Airlangga terhadap musuh-musuhnya, dan juga mengenai sima swatantra di Pucangan, Baharem, dan Basuri (Bapuri?). Prasasti ini sendiri sekarang tersimpan di gudang Museum Kolkata, India.  ( Sumber gambar: Google image)

Airlangga berhasil selamat dari peristiwa yang dikenal sebagai Mahapralaya Mdang itu. Ia diselamatkan oleh hulu-balangnya dan seorang pembantunya bernama Narotamma. Dharmmawangsa Tguh dan isterinya wafat karena gempuran Haji Wurawari dengan bantuan laskar Kedatuan Sriwijaya. Ia dibawa ke pedalaman  hutan-hutan yang berbukit (wanagiri) dan bertemu para kaum pendeta seperti brahmana Siwa (Saiwa), Wisnu (Waishnawa), wiku Buddha, Rsi, Tyagi, dan golongan Maha-Brahmana. Mereka meminta Airlangga untuk menjadi raja baru pengganti Dharmmawangsa Tguh dan kemudian mendirikan kembali sisa-sisa kejayaan Mdang yang sempat musnah. Tiga tahun berselang, para kaum brahmana ini kemudian merestui dan mengangkat Dharmmawangsa Airlangga, menantu Dharmmawangsa Tguh itu untuk menjadi Maharaja Mdang di Brang Wetan (Jawa Timur) yang baru dengan gelar abhiseka, Sri Maharaja Rake Halu Sri Lokeswara Dharmmawangsa Airlangga Anantawikramotunggadewa. Saat Airlangga dilantik dan diangkat, terdapat dua versi pembacaan angka tahun pelantikan dan penobatan Airlangga. Pembacaan yang pertama bertarikh 931 Saka (1009 M) dan yang kedua adalah 941 Saka (1019 M). 

  Pemberitaan dalam Prasasti Pucangan dwibahasa – baik bahasa Jawa Kuna maupun Sanskerta – yang bertarikh 959 Saka (1037 M) maupun 963 Saka (1041 M) sama-sama memberitakan Airlangga melakukan serangkaian digvijaya atau serangkaian penaklukan terhadap para raja bawahan yang tidak mengakui pengangkatan Airlangga sebagai raja apalagi hegemoni kekuasaannya. Mereka melepaskan diri semenjak wafatnya Dharmmawangsa Tguh karena serangan dari Haji Wurawari dari Lwaram itu. Para raja vassal atau para raja bawahan itu ternyata adalah para raja vassal yang semenjak masa kekuasaan Dharmmawangsa Tguh banyak yang sudah tidak  mendukung kekuasaan Dharmmawangsa Tguh yang berpusat di Wwatan. Begitu Airlangga diangkat sebagai raja baru, secara berkala banyak yang melepaskan diri. Mereka adalah Raja Hasin (Haji Hasin), Raja Wisnuprabhawa (sebutan lainnya adalah “Bhismaprabhawa”) dari Wuratan (Haji Wuratan), Haji Wengker bernama Sri Wijayawarma dan putranya, Haji Panuda dari Kerajaan Lewa (Lwa), Adhama Panudha, seorang ratu yang perkasa “bagaikan raseksi” dari selatan yang menghancurkan pusat kekuasaan Airlangga di Wwatan Mas, serta terakhir ialah Haji Wurawari dari Lwaram yang merupakan musuh sekaligus dalang utama dari peristiwa Mahapralaya di Wwatan kala itu. 

Baca Juga :   Sepakbola Kanada: Dari Bergantung Pada Kompetisi Negara Tetangga Hingga Mendirikan Kompetisi di Negara Sendiri

  Perang dengan para raja vassal ini juga membuat Airlangga seringkali berpindah-pindah pusat kekuasaan. Lokasi pertama dari ibukota kerajaan Airlangga dalam sejarahnya berada di Wwatan Mas (sekitar wilayah Gunung Penanggungan) Kedua berada di Patakan (Desa Patakan, Sambeng, Lamongan) dan ketiga berada di Kahuripan (berada di sekitar wilayah Kecamatan Krian, Sidoarjo, Jawa Timur dan sekitarnya), serta Dahana atau (berlokasi di sekitar Bengawan Kali Lamong Kuno, Lamongan, Jawa Timur). Setelah berhasil menaklukkan semua para raja vassal itu lewat serangkaian digvijaya, Airlangga kembali kekuasaan kerajaan Mdang atau Mdang Kahuripan yang dulu pernah musnah karena serangan musuh. Tepatnya pada tahun 959 Saka (1037 M) adalah masa-masa damai tanpa perang walau masih saja Airlangga menghadapi permasalahan-permasalahan bencana lokal seperti jebolnya bendungan  atau tanggul di Waringin Sapta. Airlangga harus bekerja ekstra keras untuk menahan aliran Bengawan Kali Brantas yang telah menenggelamkan sebagian besar wilayah yang terdampak karena banjir termasuk merendam sebagian besar wilayah dengan bangunan sucinya seperti termaktub dalam Prasasti Kamalagyan (Watu Manak Klagen) bertarikh 11 November 1037 M. Pada masa akhir kekuasaannya, Airlangga harus mengalami dilema akibat kemunculan saudara sepupunya yang masih terhitung putra pamannya Sri Dharmmawangsa Tguh, bernama Sri Samarawijaya untuk menagih (menuntut) takhta Mdang yang diduduki oleh Airlangga. Permasalahan ini semakin meruncing ketika putri mahkotanya, Sangramawijaya Utunggadewi kmeninggalkan istana dan memilih menjadi seorang bhiksuni di dharmma ring Pugawat (Gunung Pucangan). 

Sebuah arca Garuda dengan membawa sebuah kendi – yang kemungkinan besarnya kendi tersebut berisikan Tirtha Amertha atau Tirtha Panguripan (Tirtha Prawitasari) di Pusat Informasi Majapahit (PIM) Trawulan atau Museum Majapahit Trawulan. Ikon burung Garuda sendiri merupakan emblem atau cap resmi kerajaan Airlangga dan juga anak-anaknya yang berkuasa di Janggala, dimana dalam prasasti-prasasti Airlangga maupun anak-anaknya yang berkuasa di Janggala selalu dituliskan dengan kalimat, “Sang hyang ajna haji prasasti tinandha Garudamukhalanchana” atau “Sang hyang ajna haji prasasti matandha Garudamukhalanchana.” Sedangkan dalam Prasasti Sumengkha bertarikh 31 Maret 1059 M dimana saat itu Janggala diperintah oleh Rake Halu Pu Juru Sri Samarotsaha, ada kalimat menarik dimana disitu oleh citralekhanya dituliskan, “Sang hyang ajna haji prasasti tinandha Garudamukha”jangala”nchana” (Jangala lanchana).  : Dokumentasi pribadi penulis)

  Menilik nama gelar abhiseka yang disandang oleh Airlangga, “Sri Maharaja Rakai Halu Sri Lokeswara Dharmmawangsa Airlangga Anantawikramotunggadewa”, terdapat beberapa penjelasan dari arti gelar abhiseka yang disandang oleh Airlangga dalam penjelasan sebagai berikut: Sri Maharaja merupakan gelaran para raja beragama Hindu baik yang ada di Jambudwipa (India) maupun tanah Nusantara; Rakai Halu atau Rake Halu merupakan gelar sang bangswan kerajaan menempati wilayah lungguh yang berlokasi di Halu. Namun ada pendapat lain, bahwa Rakai Halu atau Rake Halu bahwa seseorang yang memiliki gelar tersebut sebenarnya tidak berhak atas takhta ataupun mendaki takhta. Sri Lokeswara, Lokeswara (Loka dan Iswara: Loka = alam; Iswara = Rudra) adalah sebutan lain untuk Bhatara Mahadewa atau Rudra (Siwa) tetapi bisa juga merujuk pada Bhatara Avalokitesywara, salah satu Dyani Buddha. 

     Dharmmawangsa Airlangga adalah nama sejak lahir. Selain Dharmmawangsa Airlangga, kita juga mendapati beberapa sebutan lain dari nama Airlangga seperti: Airlanggadewa, Mapanji Airlangga, dan Sri Paduka Maharaja Jalalangga dalam pemberitaan Prasasti Pucangan berbahasa Sanskerta. Ananta berarti tidak berakhir, abadi; dikaitkan dengan salah satu sifat Bhatara Hari (Wisnu) sebagai sang pelindung yang tiada berakhir kekuasaanNya atas dunia. Nama Ananta ini bisa juga dikaitkan dengan ular Sri Mahawisnu yang bernama Ananta Adisesa atau Ananta Sesa (Sesa Naga). Wikrama memiliki arti, “Dia sang pemberani dan tangkas”. Terakhir Utunggadewa memiliki arti keturunan dewa yang maha tinggi. Gelar ini seolah memberikan kesan unsur legitimasi yang kuat dari Airlangga walaupun dirinya bukanlah seorang pewaris mahkota yang sah, besar kemungkinan pewaris mahkotanya yang sah adalah istrinya, putri pamannya Sri Dharmmawangsa Tguh yang wafat dalam peristiwa Mahapralaya Mdang i bhumi Wwatan itu. 

   Untuk meningkatkan taraf kehidupan dan perekonomian masyarakatnya, Airlangga  kerap kali mengeluarkan prasasti-prasasti, baik itu berupa prasasti batu (lingopala/upala prasasti) maupun prasasti Tinulad (tamra prasasti) yang disalin pada masa sesudahnya. Isi prasasti yang dikeluarkan oleh Airlangga kebanyakan berupa penetapan daerah perdikan bebas pajak atau yang disebut sebagai sima swatantra. Selain penetapan sima swatantra yang terdapat dalam prasastinya, isi prasasti-prasasti Airlangga yang lain juga terkait dengan jumlah dan golongan kedatangan orang-orang asing yang melakukan kegiatan perdagangan serta perniagaan di wilayah pusat kekuasaan kerajaan maupun di pelabuhan Hujunggaluh, jenis barang yang diperdagangkan, satuan mata uang yang dipakai di Jawa pada masa Airlangga berkuasa dan lain sebagainya. Selain itu, isi dari prasasti Airlangga juga kerap menyinggung terkait jabatan yang dijabat para pejabat pada masa Jawa Kuna, pengangkatan seorang dengan gelar kebangsawanan, alasan wilayah suatu sima swatantra sangat penting sehingga ditetapkan atau dikukuhkan kembali terkait dengan sang raja terdahulu (sang atitah prabhu), pajak-pajak yang dikenakan, hukuman (denda) bagi mereka yang melanggarnya, dan terakhir adalah bagian sapatha. Sapatha adalah sebuah ucapan sumpah serapah yang berada pada sisi akhir dari piagam prasasti yang dikeluarkan oleh raja atau bangsawan kerajaan pada masa Jawa Kuna. Hal ini dilakukan sebagai bentuk peringatan bagi mereka yang berani mencabut, merusak, menghilangkan, bahkan memindahkan sang hyang kulumpang atau watu lumpang atau sang hyang ajna haji prasasti dari tempatnya. Mereka akan menerima hukuman berat dari nama-nama dewa, danawa, rakhsasa yang dipanggil oleh pejabat yang membaca isi sapatha –disebut sebagai sang makudur– atau bahkan dicabik-cabik oleh hewan buas di hutan maupun di mangsa oleh buaya ketika melintasi sungai. 

Baca Juga :   Candi Jabung di Probolinggo; Peninggalan Majapahit yang Pernah Dikunjungi Raja Hayam Wuruk saat Mengelilingi Jawa Timur
Airlangga sebagai awatara Dewa Wisnu di tanah Jawa ketika berjuang untuk menkonsolidasikan kekuatan maupun menegakkan hegemoni kekuasaan dan kejayaan Mdang periode Jawa Timur yang sempat koyak. Arca ini sekarang disimpan di Museum Majapahit Trawulan atau Pusat Informasi Majapahit (PIM) Trawulan. (Sumber foto: Dokumentasi pribadi penulis) 

  Sebagai raja legendaris serta berpengaruh di Jawa dan Nusantara, nama Airlangga begitu disegani bahkan hingga ke segenap penjuru tanah Jawa. Ia adalah seorang pangeran Bali dari Wangsa Isyana yang tidak berhak untuk naik menjadi raja tetapi tetap menjadi salah satu figur tokoh pahlawan sejati dalam sejarah Indonesia. Ia mampu berjuang ditengah gempuran musuh-musuhnya dan peperangan-peperangan besar yang telah dilakukannya dengan gagah berani di palagan perang. Masyarakat tradisional Jawa pun menganggap Airlangga adalah raja sakti titisan Dewa Wisnu (awatara Wisnu) di tanah Jawa yang bertugas dan bertujuan untuk menentramkan tanah Jawa dari segala macam gangguan yang mengganggu dan menghinggapi tanah Jawa. Wilayah yang cukup kental dengan kebesaran sosok Airlangga ini adalah Sidoarjo –representatif dari Janggala dan bekas ibukota Airlangga di Kahuripan– serta Kediri yang merupakan representatif dari Daha/Kadhiri atau Pangjalu.   

  Pada masa akhir kekuasaannya Airlangga, karena sang putri mahkotanya sendiri yang bernama Sri Sangramawijaya Utunggadewi tidak berniat untuk duduk menjadi raja dan lebih memilih hidup sebagai bhiksuni yang dikenal dalam naskah-naskah tradisional Jawa dan legenda di Jawa sebagai “Dewi Kilisuci” (Rara Kasucian). Ditambah konflik internal lain antara keturunan Airlangga dengan keturunan Sri Samarawijaya maka berdasarkan informasi dari Prasasti Gadhakuti atau Prasasti Keboan Pasar bertarikh 20 November 1042 M Airlangga membagi kerajaan menjadi dua. Hal ini dikarenakan   perseteruan yang meruncing selepas Airlangga mangkat. Purohita Kerajaan Mdang Kahuripan yaitu Mpu Bharada akhirnya membelah kerajaan kesatuan Mdang Kahuripan menjadi dua dan terlahirlah Pangjalu dan Janggala pada tahun 974 Saka (1052 M). Daha/Kadhiri atau Pangjalu maupun Janggala atau Kahuripan sendiri adalah warisan mistis sekaligus warisan sejarah dan kebudayaan yang sangat melimpah ruah terkait kebesaran Airlangga dan anak-anaknya. Karena kedua wilayah itu sebenarnya adalah warisan Kerajaan Mdang Kahuripan yang besar itu dimana salah satunya adalah gaung narasi “Kisah Panji” yang terkenal dari hasil olah sastra Kakawin Smaraddhana karya pujangga Mpu Dharmmaja yang hidup pada masa kekuasaan Raja Pangjalu/Daha, Prabhu Sri Kamesywara (1182-1194 M). 

DAFTAR PUSTAKA

Boechari. 2012. Melacak Jejak Sejarah Indonesia Kuno Lewat Prasasti Kumpulan Tulisan Boechari. Jakarta: Kepusatakaan Populer Gramedia. 

Damar Shasangka. 2019. Ken Angrok Sang Brahmaputra. Jakarta: Penerbit Qantara. 

_______ 2020. Ken Angrok Sang Wisnumurti. Bogor: Penerbit Manjer Wisesa. 

_______ 2015. Dharmagandhul Kisah Kehancuran Jawa dan Ajaran-ajaran Rahasia. Banten: Penerbit Dolphin. 

Henri Nurcahyo. 2019. Menelusuri Budaya Panji (Edisi Pembaruan). Surabaya: Komunitas Seni Budaya BrangWetan. 

Henri Supriyanto (ed). 2019. Panji Pahlawan Nusantara. Surabaya: Komunitas Seni Budaya BrangWetan. 

Kuntowijoyo. 1995. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Penerbit PT. Tiara Wacana. 

Lydia Kieven. 2018. Menelusuri Panji dan Sekartaji Tradisi Panji dan Proses Transformasinya Pada Zaman Kini. Yogyakarta: Penerbit Ombak. 

Mas Ngabei Purbawidjaja & Mas Ngabei Mangunwidjaja. 2006. Serat Babad Kadhiri Kisah Berdirinya Sebuah Kejayaan. Kediri: Penerbit Bokhandel Tan Khoen Swie. 

Ninie Susanti. 2010. Airlangga Biografi Raja Pembaharu Jawa Abad XI. Jakarta: Komunitas Bambu. 

Suwardhono. 2013. Tafsir Baru Kesejarahan Ken Angrok. Yogyakarta: Penerbit Ombak. 

Slamet Muljana. 2006. Tafsir Kesejarahan Kakawin Nagarakretagama. Yogyakarta: Penerbit LKiS. Wignjoseobroto, Wiranto. 2016. Mencari Jejak Kahuripan Kerajaan Hindu Tertua dan Terlama di Tanah Jawa. Yogyakarta: Penerbit K-Media.

Share:

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on pinterest
Pinterest
Share on linkedin
LinkedIn

Related Posts