Lahirnya Kabupaten Wonogiri dan Perjuangan Pangeran Sambernyowo

 Sangat penting untuk mengetahui sejarah lokal seperti Kabupaten, Kecamatan, dan Desa. Wonogiri merupakan salah satu Kabupaten di Provinsi Jawa Tengah yang terkenal dengan julukan “Kota Gaplek”. Sejarah terbentuknya Kabupaten ini tidak terlepas dari perjuangan Raden Mas Said atau sering dikenal sebagai Pangeran Sambernyowo. Ia adalah putra dari Kanjeng Pangeran Arya Mangkunegara yang lahir pada Minggu Legi, 7 April 1725 di Kartasura. Julukan Pangeran Sambernyowo memiliki arti sosok yang gagah, berani, serta gigih dalam membela rakyat dan memperjuangkan kemerdekaan. Sebagai pemegang tahta Mangkunegaran Pangeran Samberyowo kemudian mendapatkan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo (KGPAA) Mangkunegaran I dan wafat pada 23 Desember 1795 pada usia ke 70 tahun.

Oleh: Tamya Purnama Putrie

Kepergian sang ayah menjadi awal kehidupan pahit bagi Raden Mas Said. Ketika beranjak dewasa, Raden Mas Said dan kedua adiknya yaitu Raden Mas Ambiya dan Raden Mas Sabar dipanggil untuk menghadap sang raja yaitu Pakubuwono II (pamannya). Raja Pakubuwono II memberikan jabatan kepada mereka yaitu sebagai Gandhek Anom yang kedudukannya sejajar dengan Abdi Dalem Menteri. Jabatan ini sebenarya tidaklah benar karena Raden Mas Said yang seharusnya menjadi raja Kartasura menggantikan ayahnya. Berangkat dari kekecewaan ini, kemudian ia meninggalkan istana untuk menyusun strategi untuk melakukan perlawanan terhadap Kerajaan Kartasura dan Penjajah Belanda.

Dalam menyusun strategi, Raden Mas Said singgah di Dusun Mantenan, Nglaroh yang akan menjadi cikal bakal terbentuknya Kabupaten Wonogiri. Pada masa menyusun strategi, ia selalu bersemedi di atas batu bernama Watu Gilang untuk mendapatkan petunjuk dari sang illahi. Tidak hanya itu, Watu Gilang yang memiliki panjang satu meter dengan memiliki bolongan kecil berjumlah lima buah dijadikan pula sebagai penentu hari pasaran Jawa (Pahing, Pon, Wage, Kliwon, dan Legi) (Pambudi dan Yoel, 2018, 203). Apabila ditilik sekarang, Nglaroh adalah sebuah dusun yang merupakan bagian dari Desa Pule, yang terletak di Kecamatan Selogiri, Kabupaten Wonogiri.  Selain Watu Gilang, terdapat pula tempat petilasan Raden Mas Said yang terletak di Desa Singodutan, Kecamatan Selogiri, Kabupaten Wonogiri. Petilasan tersebut memiliki nama Sendang Siwani. Menurut penuturan cerita oleh seorang juru kunci bernama Mbah Supardi, Sendang Siwani adalah tempat yang digunakan Raden Mas Said bersama prajuritnya untuk beristirahat dan melepas dahaga. Setelah meminum air dari Sendang Siwani, mereka mendapatkan kekuatan dan keberanian dalam melawan musuh, sehingga selalu memenangkan di setiap pertempurannya. (Pambudi dan Yoel, 2018, 206).

Sebenarnya Wonogiri sudah terbentuk sebagai pemerintahan kecil ketika adanya pengangkatan Raden Mas Sutawijaya dan Ki Wiradiwangsa sebagai seorang Senopati dan Patih. Pembentukannya didasari oleh ikrar sehidup semati yang dikenal dengan sebutan sumpah Kawula Gusti atau Pamoring Kawula Gusti yang berbunyi “titi-tibeh, mati siji mati kabeh/mukti siji mukti kabeh” (Wulandari, 2010, 21). Cita-cita untuk menyatukan Mataram terjalin erat antara pemimpin dan rakyatnya yang kemudian terbentuklah konsep Tri Dharma yang telah diajarkan Raden Mas Said. Konsep ini berbunyi “Mulat Sarira Hangrasa Wani” (berani mati dalam pertempuran), Rumangsa “Melu Handarbeni” (merasa ikut memiliki daerahnya), dan “Wajib Melu Hangrungkehi” (merasa memiliki kesadaran) (Astuti, 2012, 45). Melalui keberanian, ketangguhan, kegigihan, dan semangatnya, Raden Mas Said telah melakukan pertempuran sebanyak 250 kali yang tidak berujung dengan kekalahan. Itulah sebabnya ia dijuluki sebagai Pangeran Sambernyowo.

A person in a military uniform

Description automatically generated with low confidence
Pangeran Sambernyowo (Mangkunegaran I) (Sumber: terakurat.com)

Perjuangan Raden Mas Said di medan tempur terbagi dalam beberapa tahapan waktu. Pada tahun 1741-742, ia meninggalkan istana Kartasura yang bersamaan dengan peristiwa yang terjadi di Batavia yaitu Geger Pecinan. Kemudian dirinya bergabung dengan Sunan Kuning bersama laskar Cina di Randulawang dan diangkat sebagai Panglima Perang yang bergelar Pangeran Aria Prangwedana (Penyusun, 1991, 15). Sedangkan tahapan kedua dilakukan pada tahun 1743-1752, Raden Mas Said bergabung dengan Pangeran Mangkubumi yang merupakan paman mertuanya, lalu diangkat sebagai Patih dan Senopati dengan gelar Pangeran Adipati Mangkunegara dan dinikahkan dengan putrinya yang bernama Raden Ayu Inten. Kemudian tahapan terakhir terjadi pada tahun 1752-1757. Atas adanya persetujuan dan penandatanganan perjanjian Giyanti oleh Pangeran Mangkubumi untuk membagi dua kekuasaan Mataram menjadi Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta, pada 13 Februari 1755, dirinya pun mendapatkan gelar Sultan Hamengku Buwono I dan menjadi raja di Kasultanan Ngayogyakarta.

Baca Juga :   Eddy Tansil : Kasus Korupsi Hingga Pelariannya dari Penjara (1994-1996)

Raden Mas Said melakukan peperangan sendiri melawan kerajaan Paku Buwono III, Sultan Hamengku Buwono I, dan pasukan Belanda (VOC).  Perjuangan dilanjutkan bersama sisa-sisa prajuritnya yang setia, sebab banyak yang meninggalkannya dengan alasan tidak kuat menghadapi tekanan dari musuh. Kendati demikian, sosok Pangeran Sambernyowo masih mampu mengatasi segala serangan-serangan. Ketika terjadinya peperangan antara Raden Mas Said dengan Pangeran Mangkubumi di Desa Kasatriyan, Raden Mas Said dengan prajuritnya yang jumlahnya tidak seberapa mampu menewaskan musuh sebanyak 600 orang, sedangkan pasukannya sendiri hanya 3 orang yang tewas (Hendro, n.d., 43-45).

Telah banyak pertempuran dan perlawanan yang dilakukan terutama perlawanan terhadap istana/keraton Kartasura. Raja dari Keraton Kartasura, Sunan Paku Buwana III yang merupakan pamannya Raden Mas Said sudah lelah bila harus bermusuhan. Kemudian, melakukan perdamaian yang dibantu oleh Gubernur Nicholas Hartingh (seorang kompeni Belanda) dengan mengirim surat kepada Raden Mas Said yang berisi bahwa keinginan dari Sunan Pakubuwana III untuk berdamai adalah tulus. Perundingan perjanjian Salatiga juga dilakukan oleh pihak Raden Mas Said, Sunan Pakubuwono III, Sultan Hamengku Buwono I, dan kompeni Belanda. Perundingan perdamaian itu telah diterima dan disetujui oleh Raden Mas Said pada 17 Maret 1757 dan dirinya pun diangkat sebagai Pangeran Miji, yaitu setara dengan raja-raja di Jawa dan diberi gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (KGPAA) Mangkunegaran I. Atas kesepakatan ini maka KGPAA Mangkunegaran I mendapatkan tanah lungguh seluas 4000 karya yang meliputi Nglaroh, Haribayan, Honggobayan, Kaduwang, Matesih, Wiroko, Kedu, Gunung Kidul, Sembuyan, serta Pajang bagian Utara dan Selatan (Hendro, n.d., 52).

Selama adanya Praja Mangkunegaran, maka wilayah Mangkunegaran dibagi menjadi tiga daerah kawedanan, yaitu Kawedanan Wonogiri (Sembuyan, Keduwang, Nglaroh, Wiroko, dan Honggobayan), Kawedanan Karanganyar (Matesih, Haribaya, dan Sukowati), dan Kawedanan Malangwijan (Pajang lama) yang kemudian diganti Baturetno (Penyusun, 1991, 19). Namun, perubahan pada pembagian wilayah Mangkunegaran ini dirubah lagi. Perubahan terjadi pada tahun 1891 Kawedanan Baturetno dihapus dan menjadi satu dengan daerah Wonogiri. Pada tahun 1903 Wedana Gunung Kota Mangkunegaran sama kedudukannya dengan Wedana Gunung lain, dan pada 1917 Kawedanan Wonogiri dan Karanganyar berubah status menjadi Kabupaten.   Kabupaten Wonogiri yang menjadi wilayah kekuasaan Mangkunegaran memiliki enam kawedanan yang meliputi Wuryantoro, Wonogiri, Ngadirojo, Jatisrono, Jatipura, dan Purwantoro, yang mana sebelumnya adalah berupa Kapanewon. Kemudian pada tahun 1923 Kawedanan Baturetno pun juga dihapuskan. Selain itu, pada tahun 1928-1946 yang mana wilayah Mangkunegaran yang memiliki tiga Kabupaten dibuat menjadi dua Kabupaten yaitu Kabupaten Wonogiri dan Kabupaten Mangkunegaran sebab Kabupaten Karanganyar telah dihapus dengan alasan untuk melakukan penghematan.

Wonogiri pada Masa Pendudukan Jepang 1942-1945

(sumber: Dokumen Pribadi)

Berakhirnya penjajahan kolonial di bumi Nusantara tak berakhir pula kesengsaraan yang diderita oleh rakyat Indonesia. Masuknya bangsa Jepang mengubah semua tatanan kehidupan masyarakat Indonesia yang semula dibentuk oleh pemerintahan kolonial Belanda. Salah satu perubahan itu adalah tata pemerintahan khususnya di daerah Jawa dan Madura. Nama-nama yang diberikan Belanda kemudian diganti oleh Jepang, seperti Kabupaten menjadi Ken, kawedanan menjadi Gun, Karesidenan menjadi Syu, Kecamatan menjadi Son, dan Kelurahan menjadi Ku. Jepang juga menerapkan pemerintahan Tonari Gumi atau Rumah Tangga (RT) salah satunya di Wonogiri dengan tujuan untuk kepentingan ekonomi dan militer perang. Dalam kepentingan ekonomi, Jepang meminta para petani untuk meningkatkan produksi padi, kapas, dan tanaman jarak, yang mana hasil panennya akan digunakan untuk kepentingan pertahanan perang Jepang.  Di Wonogiri tanahnya sangat cocok ditanami tanaman jarak, karena memiliki tanah yang kering dan hawa yang panas, sehingga pada tahun 1942 dan 1943 Wonogiri telah menyediakan tanah seluas 5656 hektar untuk kepentingan tanaman jarak tersebut (Ibrahim, 2004, 42).

Baca Juga :    Perkebunan Serat Nanas Di Wonogiri 1897-1942 Bernama Onderneming Mento Toelakan

Pendudukan Jepang memberikan dampak yang sangat merugikan bagi rakyat Wonogiri. Adanya kebijakan-kebijakan dan penyerahan wajib tanaman kepada Jepang membuat rakyat Wonogiri menderita karena kondisi ekonomi mereka yang buruk akibat kekurangan makanan. Selain menderita ekonomi yang buruk, pemerintah Jepang juga merampas ternak dan perhiasan/barang berharga milik rakyat. Sampai pada 20 Januari 1945 dilakukanlah pengumpulan perhiasan dan barang berharga besar-besaran di Surakarta, termasuk juga Wonogiri. Rakyat Wonogiri sangat sengsara dan upaya untuk mempertahankan hidup mereka pun dilakukan dengan memakan bonggol pisang dan bonggol sente. Adanya perlakuan keji oleh Jepang ini membuat rakyat Wonogiri semangat untuk memerdekakan bangsa Indonesia dari tangan penjajah.

Wonogiri pada Masa Pasca Kemerdekaan Indonesia

Monumen Perjuangan Nilai-Nilai 1945 (Sumber: Dokumen Pribadi)

Pada 17 Agustus 1945 diumumkanlah kemerdekaan Republik Indonesia. Rakyat Wonogiri yang mendapatkan berita baik ini melalui kurir berasal dari Solo yang sedang menumpang kereta api ke Baturetno. Dari stasiun kereta api inilah berita proklamasi pun tersebar ke pelosok Desa (Penyusun, 1991, 34). Setelah Indonesia merdeka bukan berarti kebebasan benar-benar dimiliki seutuhnya. Meskipun demikian, masih terjadi beberapa rintangan yang harus dihadapi khususnya rakyat Wonogiri. Seperti adanya pemberontakan PKI Madiun pada tahun 1948 dan Pertempuran di Krisak antara Selogiri melawan bangsa Belanda. Dalam peristiwa pemberontakan PKI Madiun 1948, Wonogiri adalah salah satu daerah yang terkena dampaknya. Para anggota PKI banyak yang menculik lalu membunuh para pejabat daerah yang pro terhadap pemerintah. Salah satunya terjadi di Kecamatan Tirtomoyo, Kabupaten Wonogiri, yang mana sebanyak 200 orang yang terdiri dari polisi, pamong praja, dan tokoh-tokoh masyarakat, disekap dalam sebuah gudang penyimpanan dinamit.  Mereka yang ditangkap oleh orang-orang PKI dibunuh dan disiksa dengan berbagai macam bentuk. Korba yang disebabkan kekejaman PKI itu pun dikuburkan secara massal di salah satu pemakaman daerah Tirtomoyo. Sedangkan pertempuran yang terjadi di Krisak, Kecamatan Selogiri adalah pertempuran melawan tentara-tentara Belanda yang melakukan konvoi pada 11 Mei 1949. Peperangan yang terjadi di antara keduanya menyebabkan tewasnya 8 orang tentara Belanda, 3 orang polisi Belanda, dan tenaga garukan. Sedangkan 2 orang dari pihak gerilyawan dari Wonogiri yaitu anggota TNI tewas. Kemudian pihak pasukan Belanda pun membalas dengan membakar rumah para warga sebanyak 35 rumah terbakar (Penyusun, 1991, 39).

Daftar Pustaka

Astuti, Dwi. (2012). Folklor Sambernyawa di Wonogiri sebagai Materi Pengayaan Pembelajaran Sejarah (Studi Kasus di SMA Negeri 1 Girimarto Wonogiri). Doctoral Dissertation, UNS (Universitas Sebelas Maret).

Hendro, Eko Punto. (n.d.). Strategi Kebudayaan Perjuangan Pahlawan Nasional Pangeran Sambernyowo. Endogami: Jurnal Ilmiah Kajian Antripologi, 1(1), 42-54.

Ibrahim, Julianto. (2004). Eksploitasi Ekonomi Penduduk Jepang di Surakarta (1942-1945). Humaniora 16(1), 35-49.

Kuntowijoyo. (2013). Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Penerbit Tiara Wacana.

Penyusun, Tim. (1991). Sejarah Terjadinya Pemerintahan di Wonogiri. Wonogiri: Perpustakaan Umum Daerah Kabupaten Wonogiri.

Pambudi, Ilham Galih dan Yoel Kurniawan Raharjo. (2018). Dusun Nglaroh, Wonogiri: Basis Perjuangan Politik Raden Mas Said (KGPAA Mangkunegara I) 1742-1757. Sejarah dan Budaya: Jurnal Sejarah, Budaya, dan Pengajarannya, 12(2), 200-210.

SSP, A. S. (1993). Cerita Rakyat Jawa Tengah Pangeran Samber Nyawa (Pendiri Dinasti Mangkunegara). Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia.

Storey, W. K. (2011). Menulis Sejarah Panduan untuk Mahasiswa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Wulandari, Fitri. (2010). Upacara Tradisional Susuk Wangan sebagai Atraksi Wisata Budaya di Air terjun Girimanik Kabupaten Wonogiri. Skripsi.

Yuniyanto, R. H. (2016). Babad Pakunagara Studi Tentang Perjuangan Mangkunegara I dalam Mendirikan Kadipaten Mangkunegaran. Candi, 13(2), 167-188.

Share:

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on pinterest
Pinterest
Share on linkedin
LinkedIn

Related Posts