Angkringan dan Beragam Pangan

Angkringan muncul beriringan dengan hadirnya listrik sebagai alat penerangan di kota Solo. Beragam menu yang disajikan tidak hanya nikmat dan ramah di kantong tetapi juga memiliki nilai historis yang menarik ditelusuri. 

Malam mulai menyelimuti kota. Saya dan dua kawan lain mencari tempat untuk sekadar ngopi atau membeli cemilan di sepanjang Jalan Adi Sucipto, Lawean, Solo. Setelah seharian kami melakukan perjalanan dalam rangka pembelajaran mencari sumber sejarah atau heuristik yang diadakan oleh Departemen tempat kami berkuliah, kini waktunya bersantai dan mengganjal perut yang mulai keroncongan.

Oleh : Rifaldi Apinino

Sekitar pukul delapan malam, kami mulai berjalan dengan harapan menemukan tempat yang pas bagi kantong mahasiswa. Di antara deretan ruko dan hotel mewah terlihat remang-remang cahaya dari gerobak yang mangkal di bahu jalan. Seorang bapak paruh baya nampak sibuk melayani pelanggan. Beragam menu tersaji di atas gerobak antik berwarna coklat tua, nasi yang dibungkus porsi kecil, aneka sate, dan macam-macam minuman.

“Kita di angkringan sini saja,” ujar Rifki, salah satu kawan yang malam itu ikut bersama saya.

Sembari menunggu pesanan, kami duduk di atas trotoar beralaskan tikar. Beberapa makanan kami pesan mulai dari sate usus, gorengan tempe, nasi kucing. Tidak lupa juga minuman teh hangat, kopi hitam, dan wedang jahe. Pada bangku yang menghadap ke gerobak angkringan terlihat seorang pelanggan dengan seragam kerjanya bersebelahan dengan pelanggan lain dua orang pemuda. 

Hadirnya angkringan seakan menjadi opsi bagi masyarakat perkotaan untuk mengganjal perut atau sekadar bersantai memesan minuman hangat. Rasanya yang nikmat dengan harga terjangkau juga menjadi sebab mengapa angkringan banyak diminati. Lalu timbul pertanyaan, adakah kisah di balik angkringan? Sejak kapan angkringan mulai muncul?

Ketika di Solo, kami menyebut gerobak yang menjual beragam santapan itu dengan nama “angkringan”. Tetapi warga Solo lebih mengenal dengan sebutan “hik”. Menurut Suwarna, salah seorang founder ikon Desa Cikal Bakal Angkringan yang termuat dalam Kompas.com (2021), sebutan “hik” muncul akibat dari teriakan yang dilakukan oleh penjual ketika menjajakan barang dagangannya atau sahutan dari pembeli yang hendak memanggil sang penjual. Agar lebih sederhana maka pengucapannya menjadi “hik”.

Pada awalnya penyebutan “hik” bukan merupakan suatu singkatan atau apapun. Gunadi, termasuk dalam inisiator Desa Cikal Bakal Angkringan, menjelaskan dalam Kompas.com (2022) bahwa “hik” hanyalah suara yang dikeluarkan penjualnya zaman dahulu. Namun dalam perkembangannya “hik” diartikan sebagai singkatan dari Hidangan Istimewa Kampung. Pengertian ini merupakan gambaran dari dagangan yang dijual oleh para pedagang hik. 

Meski nama hik lebih populer di kalangan masyarakat Solo nyatanya terminologi angkringan muncul lebih dulu. Termuat dalam penelitian yang dilakukan oleh Eko Sulistyo berjudul Jejak Listrik di Tanah Raja: Listrik dan Kolonialisme di Surakarta 1901-1957 (2021) diwartakan oleh koran Djawi Hiswara tahun 1918 tentang adanya maling yang bersembunyi di angkring (keranjang pikulan yang digunakan sebagai wadah makanan dan air kopi) dan berhasil ditangkap. Dalam pemberitaan ini diketahui bahwa angkringan telah ada sejak tahun 1918. Pada tahun tersebut, angkringan memang belum berjualan dengan cara mangkal di satu tempat. Penjual harus memikul angkringannya keluar masuk kampung mencari pembeli.

Kota Solo merupakan tempat lahir angkringan. Bermula ketika perusahaan listrik Soloche Electriciteits Maatschappij (SEM) mulai dibangun dan beroperasi. SEM secara resmi ditandatangani oleh pemerintah kolonial dan kerajaan lokal pada 12 Maret 1901. Mulai hari itu, kota Solo dialiri listrik guna menunjang kehidupan kolonial maupun kerajaan (hal. 32).

Baca Juga :   Sejarah Lada di Lampung Masa Kesultanan Banten hingga Pemerintah Kolonial Belanda
Jam Buka Kafe hingga Angkringan di Sleman Dibatasi Sampai Pukul 9 Malam -  Suara Jogja

Sumber foto: SuaraJogja.id

Singkat cerita, Solo telah terang benderang. Cahaya memancar di malam hari. Kebiasaan masyarakat untuk beraktivitas pada malam hari mulai terbentuk. Beberapa hiburan malam bermunculan, seperti pertemuan malam hari di restoran, tontonan layar tancap di alun-alun, bioskop di Sriwedari. Pada periode awal abad ke 20, Solo memancarkan cahaya harapan bagi masyarakat yang ingin mengadu nasib di vorstenlanden

Kesempatan ini diambil oleh masyarakat kelas bawah yang melihat adanya peluang. Mereka rata-rata berasal dari sekitar wilayah Solo khususnya Klaten, wilayah yang dihimpit dua kota kerajaan: Solo dan Yogyakarta. Mereka mencoba peruntungan dengan menjajakan makanan untuk masyarakat kota yang beraktivitas pada malam hari. Dengan modal yang tidak banyak, mereka menjual makanan dan minuman menggunakan bakul angkringan dengan berkeliling dan berhenti di titik-titik keramaian semacam Pasar Pon atau Taman Sriwedari (hal. 192). Dari sinilah angkringan atau hik bermula.

5 Spot Angkringan di Yogyakarta Ini Dijamin Bikin Kangen : Okezone Travel

Sumber foto: Okezone.com

Nasi dan Tempe

Hari ini keberadaan tidak hanya terdapat di Solo atau Yogyakarta, tetapi angkringan mulai menjamur di banyak daerah. Beberapa tempat bahkan telah membuat angkringan menjadi modern dengan menu yang semakin bervariasi. Namun, yang khas seperti nasi/sego kucing dan olahan tempe pasti selalu ada. 

Tidak heran mengapa nasi selalu ada dan menjadi makanan pokok. Konsumsinya telah dimulai sejak ratusan tahun lalu di nusantara. Dalam buku Andreas Maryoto berjudul Jejak Pangan Sejarah, Silang Budaya, dan Masa Depan (2009) mengatakan bahwa sejumlah kidung berbahasa Jawa Kuno (abad 8-14) telah menulis keberadaan padi di wilayah pedesaan. Selain itu, catatan yang lebih kompleks terdapat pada kitab Negarakertagama. Dituliskan bahwa raja memanggil rakyatnya untuk membuka lahan di hutan guna menjadikannya sawah (hal. 23).

Begitu pula istilah sego/sega, telah ada sejak masa kuno. Dalam buku Jejak Rasa Nusantara Sejarah Makanan Indonesia karya Fadly Rahman (2016), istilah ini terus dipakai hingga abad ke 19 untuk menyebut makanan pokok. Sego menjadi menarik karena beragam olahannya seperti dibuat bubur, dibuat gurih menjadi wuduk (nasi uduk), diliwet (nasi liwet), atau dibuat porsi kecil dengan lauk yang sedikit (hal. 69).

Untuk tempe, keberadaannya dapat dilacak pada Serat Chentini, sebuah buku yang menghimpun berbagai ilmu pengetahuan dan kebudayaan Jawa abad 16-17. Menurut penelitian Fadly Rahman dalam teks Serat Chentini, tempe telah ada sejak masa kekuasaan Sultan Agung (1613-1645). Terdapat dua pandangan terkait munculnya tempe. Pertama, kemungkinan olahan kedelai ini diperkenalkan oleh orang Tionghoa. Kedua, menurut kata dan teknik pengolahannya, tempe bukanlah berasal dari Tiongkok, melainkan diproduksi dan diwariskan dari Jawa Tengah (hal. 71). 

Sudah Kenyang, Mari Pulang

Bila ditelusuri lebih lanjut ternyata makanan tidak tercipta begitu saja atas ide cemerlang seseorang. Ia melingkupi banyak aspek, seperti angkringan dan konteks kemunculannya. Belum lagi kisah-kisah di balik makanan yang tersaji di meja angkringan.

Sayangnya kajian mengenai sejarah makanan di Indonesia belum banyak dilakukan. Selain itu, keterbatasan sumber primer juga mungkin menjadi salah satu hambatan dalam menulis sejarah makanan. Setidaknya, lewat artikel singkat ini dapat menggugah selera penulisan sejarah makanan di Indonesia. Mengutip Fadly Rahman bahwa perjalanan sejarah makanan menjadi penting untuk melihat bagaimana sejarah Indonesia dari persoalan makanan dan sebaliknya. 

Daftar Pustaka

Sulistyo, Eko. (2021). Jejak Listrik di Tanah Raja: Listrik dan Kolonialisme di Surakarta 1901-1957. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Baca Juga :   Sejarah Warung Tegal (WARTEG) Dari Kemunculan Hingga Eksistensinya di Masyarakat

Rahman, Fadly. (2016). Jejak Rasa Nusantara Sejarah Makanan Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Maryoto, Andreas. (2009). Jejak Pangan Sejarah, Silang Budaya, dan Masa Depan. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara.

Lyliana, Lea. (2022). “Apa Angkringan Sama dengan HIK?”. https://www.kompas.com/food/read/2022/01/21/210400275/apa-angkringan-sama-dengan-hik-?page=all. Diakses Februari 2022.

Amadea, Theresia. (2021). “Sejarah Angkringan dari Desa Ngerangan, Kini Populer di Yogyakarta”. https://www.kompas.com/food/read/2020/09/01/210900375/sejarah-angkringan-dari-desa-ngerangan-klaten-kini-populer-di-yogyakarta?page=all. Diakses Februari 2022.

Share:

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on pinterest
Pinterest
Share on linkedin
LinkedIn

Related Posts