Potret Lasem Dulu dan Masa Kini

"Lasem dikenal sebagai kota kecamatan yang memiliki banyak warisan kebudayaan karena kawasan ini dahulunya merupakan bandar pelabuhan besar. Dengan penanganan yang tepat, Lasem dapat menjadi kota budaya yang merepresentasikan simbol kebhinekaan bangsa Indonesia.”

Oleh Noviani Mariyatul Hakim

Kata Nusantara lebih tepat digunakan untuk menggambarkan periode klasik Indonesia. Kota-kota di Nusantara tidak ada yang berdiri sendiri, melainkan saling terintegrasi membentuk budaya sesuai dengan ras dan etnis yang dibawa masing-masing. Hal demikian khususnya terjadi pada kota-kota pantai yang menduduki jalur perdagangan Internasional di masa lampau. Hal ini melahirkan tipologi kota yang multikultur dan membawa budaya baru melalui akulturasi (Haryati, 2019).

Pantai Utara Jawa, Pantai Nelayan Jawa,dekat Lasem sebelah Timur Rembang sekitar tahun 1910 (Sumber : digitalcollections.universiteitleiden.nl/)

Salah satunya adalah Lasem. Lasem dikenal sebagai kota kecamatan yang memiliki banyak warisan kebudayaan karena kawasan ini dulunya merupakan bandar pelabuhan besar yang sudah ada sejak zaman Majapahit. Lasem memegang peranan penting sebagai kota pemerintahan di daerah pesisir Utara Jawa di abad ke-14. Ditandai dengan kehadiran awal orang Tionghoa yang menetap di Lasem hingga membangun pemukiman di abad ke-15 (Pratiwo, 2010). Lasem menjadi lambang perpaduan kebudayaan Tionghoa, Arab, dan bumiputra yang merefleksikan dinamika kehidupan masyarakat di dalamnya. Dominasi etnis Tionghoa di masa lalu yang telah menghuni Lasem selama berabad-abad menjadi daya tarik wisatawan di masa kini sehingga wilayah ini sering dijuluki sebagai “Tiongkok kecil”.

Klenteng di Lasem dekat Rembang, sebelum tahun 1880 (Sumber : digitalcollections.universiteitleiden.nl/)

Keperkasaan Kota Lasem dengan industri perkapalan di masa lampau, membuat daerah ini termasuk area yang sibuk karena jalur perdagangan lintas pulau dan negara. Lasem terus tumbuh dari masa ke masa, hingga di abad ke-18 etnik Tionghoa telah mendominasi di beberapa titik antara lain di daerah Dasun, Babagan, dan Karangturi. Selain dari segi arsitektur, orang-orang Tionghoa juga mewariskan kebudayaan bukan benda pada masyarakat Lasem seperti batik. Batik Lasem pesisiran ini merupakan hasil akulturasi dari perpaduan dua budaya (Tionghoa dan Jawa) yang memiliki keunikan dibandingkan daerah lain sehingga menjadi ciri khas dari Lasem selama ratusan tahun (Rahayu, 2014).

Berkembangnya Kawasan Pecinan dan keseniannya diwarnai dengan penyebaran agama Islam yang bukti kehadirannya dirasakan melalui pendirian pesantren-pesantren. Kehadiran pesantren ini dipengaruhi juga oleh unsur Arab seperti adanya acara haul dan manaqib. Perkampungan muslim juga dapat ditemui di daerah Soditan, sehingga Lasem dapat julukan baru sebagai kota santri (Haryati, 2019). Masjid Jami Lasem juga menjadi ikon kota lama yang mendapat pengaruh dari Islam. Meski tahun berdirinya masjid ini belum bisa dipastikan, tetapi terdapat beberapa prasasti yang dapat dihubungkan dengan masa pendirian masjid atau pemugaran masjid. Empat diantara lima prasasti di dalam ruang utama masjid tertulis 1829 M, 1318 H, 1281 H, dan 1286 H. Prasasti tersebut ada yang menggunakan Bahasa Arab dan Bahasa Jawa. Selebihnya berisi kalimat-kalimat pujian (Situs budaya, n.d).

Lasem dari masa ke masa

Secara kronologis, fase atau pembabakan sejarah Lasem dibagi menjadi tiga, yakni masa pra-Islam, awal perkembangan Islam, dan masa Islam yang dipengaruhi oleh kolonial (Eropa) (Wulanningrum, 2017). Pada masa pra-Islam yang terjadi di sekitar abad ke-14 sampai abad ke-15, Lasem sering dikaitkan dengan sebuah kerajaan yang berada di bawah naungan kekuasaan kerajaan Majapahit. Bukti arkeologis yang ditemukan sebagai penanda masa pra-islam antara lain situs Jembatan Regol di Dusun Bonang yang struktur bangunannya dari bata dan batu andesit. Selain itu juga ditemukan Lingga dan bantu candi di situs Gunung Bata yang berada di Desa Sendangcoyo (Riyanto, dkk., 2020)

Baca Juga :   Pungli; Kriminal yang Kian Menjadi Tradisi
Galangan Kapal di Kali Lasem tahun 1930 ( Sumber : digitalcollections.universiteitleiden.nl/ )

Ketika era Majapahit berakhir, wilayah Lasem tetap tumbuh bahkan perekonomiannya menjadi kekuatan utama hingga berakhirnya Kerajaan Demak. Peninggalan arkeologis yang dapat disaksikan hingga kini antara lain masjid Sunan Bonang yang terletak di Desa Bonang dan situs Pasujudan. Perkembangan itu terus berlanjut sampai akhir abad ke-19 ketika orang Belanda menguasai nusantara dan menjadi penanda fase baru yakni fase Islam dalam masa kolonial. Setiap masa meninggalkan jejak yang beragam, termasuk di era pasca runtuhnya kekuasaan VOC. Peninggalan era tersebut antara lain bangunan peribadatan seperti Klenteng dan Vihara, bangunan pemerintah, makam, jembatan, tandon air, dan rumah tinggal (Riyanto, dkk., 2020). Salah satu peninggalan fisik dari zaman kolonial yang mengatur kendali penting dalam  perekonomian adalah pembangunan jalan Pantura yang diprakarsai Daendels. Jalur yang berada di sekitar Jalan Sultan Agung dan Jalan Untung Suropati  ini berperan sebagai lalu lintas perdagangan maupun jasa dan menjadi pusat CBD (Central Business District) (Sudarwani et al., 2019).

Pasca kemerdekaan, nama Lasem tidak semahsyur dulu  karena terjadi penurunan kuantitas dan kualitas potensi sumber daya arkeologinya. Hancurnya bangunan-bangunan kuno yang seharusnya menjadi identitas khas dari Lasem menjadi faktor utama. Kerusakan ini diperparah ketika rezim orde baru memunculkan sinisme terhadap etnis Tionghoa yang akhirnya membuat perasaan masyarakat tertekan hingga takut mempertahankan arsitektur Tionghoa. Hancurnya bangunan-bangunan itu juga dikarenakan adanya pelebaran jalan di jalur Semarang-Surabaya yang berakibat pada hilangnya fasade bangunan di jalan raya utama Lasem. Akibat dari hal itu, banyak penghuni yang memutuskan untuk mengganti wajah bangunan asli dengan modern, sebagian dibiarkan kosong dan, ditinggal oleh pemiliknya (L.M.F., 2018).

Kawasan Lasem Lama menjadi Cagar Budaya

 Lasem kini tak lain hanya dikenal sebagai kecamatan kecil yang terletak di Kabupaten Rembang. Padahal, wilayah ini memiliki heritage slite yang kuat karena banyaknya pusaka peninggalan sejarah yang berasal dari hasil akulturasi antar budaya di masa lalu. Dengan penanganan yang tepat, kawasan cagar budaya ini akan mampu merefleksikan keunikannya sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup dan membangun rasa kepemilikan setiap lapisan masyarakat di dalamnya. Selain itu, pelestarian kawasan cagar budaya ini juga menjadi tonggak dalam pembangunan berkelanjutan yang efektif karena bisa menghidupkan kembali suatu daerah dengan realisasi cara yang baru (Saputra, 2017).

Realisasi baru itu dapat dilaksanakan pada perencanaan Lasem Heritage Center (LHC) yang fasilitas ruangan yang  tersedia antara lain ruang pameran, penelitian, komunitas, perpustakaan dan pertunjukan. Pembentukan LHC ini sangat penting dan perlu diadakannya kerja sama dengan pemerintah daerah Lasem agar memberikan insentif pada pemilik rumah-rumah yang termasuk dalam program pelestarian (Pramono & Mutiari, 2016).  Pada titik ini dapat disimpulkan bahwa dalam upaya pelestarian cagar budaya, diperlukan adanya kesepahaman antar berbagai pihak agar dapat melahirkan kolaborasi yang mampu mendongkrak perekonomian sekaligus memajukan daerah tersebut.

Saat ini, pemerintah melalui Kementerian PUPR (Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat) tengah melakukan penataan terhadap tiga kawasan pusaka atau cagar budaya di Jawa Tengah. Salah satunya bertepatan di alun-alun Lasem yang terletak di Kabupaten Rembang. Pekerjaan besar ini masih dalam tahap proses yang nantinya akan menata kembali kawasan masjid Jami, bangunan pasar, alun-alun, kawasan Karangturi, serta Kauman dan Jatigoro. Kedepannya, Lasem akan menjadi kota budaya yang merepresentasikan simbol kebhinekaan Indonesia (Pekerjaan umum, n.d).

Baca Juga :   Enzo Ferrari Sebagai Simbol Kecepatan dan Rivalitas

Daftar Pustaka

Haryati, S. R. (2019). Asimilasi Arsitektur Di Lasem Jawa Tengah. Sustainable, Planning and Culture (SPACE) : Jurnal Perencanaan Wilayah Dan Kota, 1(1), 1–9. https://doi.org/10.32795/space.v1i1.257

L.M.F., P. (2018). Kajian Penyelamatan Lasem dari Kepunahan Arsitektur Tionghoa. B023–B028. https://doi.org/10.32315/ti.7.b023

Pekerjaan Umum. (n.d). Dukung pelestarian bangunan bersejarah, Kementerian PUPR tata tiga kawasan cagar budaya Jawa Tengah, accessed 18 Februari 2022.

Pramono, E., & Mutiari, D. (2016). Lasem Heritage Center Sebagai Upaya Pelestarian Kawasan Heritage di Lasem. Simposium Nasional Ke-15 RAPI, 285–293. https://publikasiilmiah.ums.ac.id/xmlui/handle/11617/8137

Pratiwo, M.N. 2010. Arsitektur Tradisional Tionghoa dan Perkembangan Kota. Penerbit Ombak.

Riyanto, S., Mochtar, A. S., Alfiah, Tiniardi, P. N., & Priswanto, H. (2020). Lasem dalam Rona Nusantara: Sebuah Kajian Arkeologis. Badan Arkeologi Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. 

Saputra, H. D. (2017). “Pengembangan Kawasan Heritage Eks Stasiun Lasem dan Sekitarnya” Dengan Penekanan Desain Interaksi Antar Ruang Sejarah. https://lib.unnes.ac.id/30888/

Situs Budaya. (n.d). Sejarah Masjid Lasem di Rembang. Online at https://situsbudaya.id/sejarah-masjid-jami-lasem-di-rembang/, accessed 18 Februari 2022.

Sudarwani, M. M., Purwanto, E., & Rukhayah, R. S. (2019). Karakteristik Kawasan Pecinan Lasem Kabupaten Rembang. D105–D112. https://doi.org/10.32315/ti.8.d105

Wulanningrum, S. D. (2017). Identifikasi Kelayakan Kawasan Pecinan Lasem sebagai Kawasan Konservasi. Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, Dan Seni, 1(1), 278. https://doi.org/10.24912/jmishumsen.v1i1.365

Share:

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on pinterest
Pinterest
Share on linkedin
LinkedIn

Related Posts