Tinjauan Diakronik Terhadap Kebijakan Fenomenal Para Panglima ABRI/TNI dari Kopassus

Jenderal Andika Perkasa merupakan Jenderal ke-4 dari Korps Infanteri Kopassus yang menjadi Panglima TNI. Sebelumnya ada tiga nama yaitu Jenderal LB Moerdani, Jenderal Edi Sudrajat dan Jenderal Feisal Edno Tanjung.

Oleh : Unu Nurahman

Pada tanggal 17 November 2021, Presiden Jokowi melantik Jenderal Andika Perkasa sebagai Panglima TNI yang ke-2l meskipun pencalonannya sempat menimbulkan kontroversi dan mendapat penolakan dari empat belas Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Salah satunya adalah Lembaga Amnesti Internasional yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan. Mereka mengaitkan Andika dengan dugaan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Papua, menyoroti harta kekayaannya fantastis, dan mendukung pencalonan Laksamana Yudo Margono (KSAL) menjadi Panglima TNI.

Suksesi panglima TNI ini tentu bukan hanya merupakan kebanggaan bagi pribadi dan keluarga akan tetapi juga kebanggaan bagi institusi TNI AD terutama Kopassus. Sejarah mencatat, Jenderal Andika Perkasa merupakan Jenderal ke-4 dari Kopassus yang menduduki jabatan Panglima TNI. Sebelumnya ada tiga nama yaitu Jenderal LB Moerdani, Jenderal Edi Sudrajat, dan Jenderal Feisal Edno Tanjung. Sebagai kesatuan tempur utama TNI AD, Kopassus terdiri dari personel yang memiliki kemampuan di atas rata-rata. Tidak mengherankan jika gaya kepemimpinan jenderal dari kesatuan ini menarik untuk diikuti.

Reorganisasi TNI versi Jenderal Moerdani

Leonardus Benyamin Moerdani atau lebih dikenal dengan Benny Moerdani merintis karir militernya pada tahun 1954 sebagai pelatih Korps Komando Angkatan Darat (KKAD). Dua tahun kemudian KKAD berubah menjadi Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD). Pengangkatan Jenderal Moerdani menjadi Panglima ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia)  oleh Presiden Soeharto pada tanggal 28 Maret 1983 menimbulkan kontroversi mengingat dia belum pernah menjadi Panglima Teritorial. Hampir sebagian besar karir Moerdani di bidang intelijen. Jabatan komandan yang pernah dijabatnyq yaitu sebagai Danyon I RPKAD yang diinfiltrasikan ke Papua semasa Trikora.

Seperti yang disampaikan oleh Julius Pour dalam Tragedi Seorang Loyalis (2007:17), pada tahun 1985, Jenderal LB Moerdani melakukan perampingan TNI dengan menghapus Kowilhan (Komando Wilayah Pertahanan) yang dibentuk tahun 1969 sebagai suatu komando teritorial untuk pembinaan dan operasional pertahanan dan keamanan.  Pada prinsipnya komando teritorial ini membawahi beberapa Kodam, Kodaeral, Kodau dan juga Komdak/Kodak ketika Polri masih berada di dalam ABRI

http://1.bp.blogspot.com/-m5QCcN9JTUQ/Tx05J_QQzEI/AAAAAAAAEn8/MtsMZP_dc9g/s1600/LOGO+STIKER+KOPASSUS.png

Lambang Kopasus (Sumber : https://www.blogger.com/blogin.g?blogspotURL=http://tutorial-sorong.blogspot.com/2012/08/lambang-stiker-militer-indonesia.html&type=blog )

Jenderal Moerdani mengubah sistem komando daerah untuk Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara. Komando Daerah Militer (Kodam) dikurangi dari enam belas menjadi sepuluh. Komando Daerah Angkatan Laut (Kodaeral) yang berjumlah delapan dirampingkan menjadi dua Komando Armada. Sedangkan delapan Komando Daerah Angkatan Udara (Kodau) juga dirampingkan menjadi dua Komando Operasi. Kopassus juga mengalami perubahan yang mana Brigif 3 Linud berubah status menjadi Brigif 3 Linud /Kostrad.

Back to Basic versi Jenderal Edi Sudrajat

Edi Sudrajat menyelesaikan pendidikan militernya di Akademi Militer pada 1960 sebagai lulusan terbaik dan kemudian diangkat sebagai komandan peleton dalam Batalyon 515 di Jember. Setelah itu, dia bergabung dengan RPKAD sebagai Danki Batalyon 1 yang dipimpin oleh Mayor LB Moerdani. Pada tanggal 2 februari 1988, Jenderal Edi Sudrajat diangkat sebagai KSAD (Kepala Staf Angkatan Darat) ke-16 menggantikan Jenderal Try Sutrisno yang diangkat menjadi Panglima ABRI. 

Hal terpenting di masa kepemimpinan Jenderal Edi Sudrajat adalah diserukannya  gerakan Back to Basic atau “kembali ke barak” bagi tentara. Kebijakan ini bermakna tentara harus mulai meninggalkan bisnis militernya dan berkonsentrasi pada tugasnya sebagai garda bangsa yang profesional. Menurut Budi Susanto & Made Tony Supriatma dalam ABRI: Siasat Kebudayaan 1945-1995 (1995:40), Jenderal Edi Sudrajat sendiri mengatakan Back to Basic (yang disingkat “betebe”) adalah meningkatkan dan memelihara kemampuan profesional perorangan prajurit sekaligus meningkatkan mutu dan sikap kejuangan.

Baca Juga :   Pangeran Mangkubumi: Sebuah Konflik dan Kontestasi Politik

 Ketika menjadi KSAD, Jenderal Edi Sudrajat diangkat menjadi Panglima ABRI pada 19 Februari 1993 dan Menteri Pertahanan dan Keamanan (Menhankam) pada 17 Maret 1993. Pertama kali dalam sejarah Indonesia, seorang jenderal merangkap tiga jabatan pada saat yang bersamaan.

Jenderal Besar di masa Jenderal Tanjung

Feisal Tanjung menyelesaikan pendidikan di Akademi Militer Nasional pada tahun 1961 dan menjadi Danton 1 Kompi 2 Yonif 152 Kodam XV/Pattimura. Setelah itu, Ia menjadi Danki di Yon 2 RPKAD. Jenderal Feisal Tanjung diangkat sebagai panglima ABRI pada 21 Mei 1993 menggantikan Jenderal Edi Sudrajat. Jabatan ini diembannya sampai tanggal 12 Februari 1998. 

Menurut Kivlan Zen dalam Konflik dan Integrasi TNI-AD (2004:76), Feisal Tanjung tergolong dalam kubu ABRI Hijau. ABRI Hijau adalah golongan yang merasa diri terpinggirkan di zaman kepanglimaan Benny Moerdani. Benny dan pengikutnya dianggap sebagai ABRI Merah-Putih. Salah satu pengikutnya yang terkenal adalah Edi Sudradjat. Lebih lanjut, Kivlan Zen mengatakan bahwa Jenderal Benny Moerdani mendengungkan isu suksesi untuk menjatuhkan Presiden Soeharto di Hotel Ambarukmo Yogyakarta pada tahun 1989. Isu ini didengungkan bersamaan dengan rencana pembentukan Yayasan Panglima Sudirman.

Atas gagasan Salim Said maka Jenderal Tanjung mengusulkan kepada Presiden Soeharto untuk memberikan pangkat kehormatan Jenderal Besar (bintang lima) sebagai bentuk apresiasi kepada tiga Jenderal yang sangat berjasa kepada TNI yaitu Jenderal Sudirman, Jenderal AH Nasution dan Jenderal Soeharto. Presiden kemudian mengeluarkan Keppres No. 46/ABRI 1997 dan penganugerahan pangkat dilaksanakan pada tanggal 30 September 1997. Hal ini juga dilaksanakan melalui Peraturan Pemerintah No 32 tahun 1997. 

TNI adalah Kita versi Jenderal Andika 

Andika Perkasa menyelesaikan pendidikannya di Akademi Militer tahun 1987 dan memulai karirnya sebagai Komandan Peleton Grup 2/Para Komando Kopassus. Sebelum diangkat menjadi Panglima TNI, Jenderal Andika Perkasa menjabat KSAD pada tanggal 22 November 2018 menggantikan Jenderal Mulyono. Selama menjadi KSAD, ada beberapa hal penting yang dilakukan yaitu menghapus tes keperawanan dalam seleksi KOWAD, tidak mewajibkan tes kesehatan bagi calon mempelai di satuan TNI AD, pengadaan kendaraan dinas terbesar dalam sejarah bagi prajurit TNI AD, penerapan rekrutmen Kopassus secara daring dan program 1000 prajurit Otsus Papua.

Pada saat fit and proper test bersama Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat di Kompleks Parlemen Senayan pada tanggal Sabtu, 6 November 2021, Jenderal Andika menyampaikan visinya yang singkat yaitu TNI adalah kita. Jenderal Andika ingin mengajak masyarakat Indonesia dan masyarakat internasional untuk melihat TNI sebagai kita atau bagian dari mereka. Adapun misi yang akan dilaksanakan yaitu menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah NKRI berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, serta melindungi segenap bangsa Indonesia. 

Misi tersebut dijabarkan dalam beberapa fokus. Misi yang pertama berfokus pada operasi militer untuk perang dan operasi militer selain perang yaitu mengembalikan tugas-tugas TNI sesuai dengan peraturan perundangan yang ada. Fokus  misi yang berikut adalah meningkatkan operasi pengamanan perbatasan, peningkatan kesiapsiagaan satuan TNI, peningkatan kemampuan siber terutama untuk intelijen khususnya di daerah-daerah yang saat ini ada gangguan keamanan maupun konflik, peningkatan interoperabilitas di antara angkatan darat, laut, dan udara, serta penguatan integrasi penataan organisasi. Kemudian misi yang ketujuh berfokus pada penguatan diplomasi militer yang sesuai dengan kebijakan politik luar negeri.

Setelah menjabat sebagai Panglima TNI, ada beberapa hal signifikan yang dilakukannya sebagai berikut:

  1. Melakukan kunjungan kerja ke Mabes TNI AL dan TNI AU untuk reeorientasi tugas dan konsolidasi antar matra TNI pada tanggal 22 November 2021.
  2. Melakukan kunjungan silaturahmi ke Mabes Polri untuk membangun sinergitas dan soliditas TNI – Polri pada tanggal 23 November 2021.
  3. Menginspeksi kesiapan tempur pasukan dan material dengan mengunjungi markas Kopassus, Korps Marinir, Koarmada 1, Kohanudnas, dan Wing 1 Korpaskhas pada Bulan Desember 2021.
  4. Menegur Kolonel (Arh) Hamim Thohari Kasrem 174 ATW / Merauke yang bermain gawai pada Rapat Daring pada tanggal 3 Desember 2021
  5. Mengunjungi Papua dua kali pada bulan November dan Desember 2021.
  6. Secara tegas memerintahkan satuan Puspom TNI dan Puspomad untuk memproses hukum setiap oknum TNI yang melanggar aturan secara adil dan bijaksana sesuai dengan ketentuan yang berlaku tanpa memandang pangkat atau jabatan.
  7. Memberlakukan kebijakan pola pengamanan yang menekankan pembinaan teritorial (binter) dan komunikasi sosial (komsos) di seluruh Indonesia termasuk Papua. Untuk mendukung hal ini, Jenderal Andika akan membentuk delapan Kodim (Komando Distrik Militer) di Papua sehingga rasio ideal satu Korem (Komando Resimen Militer) memiliki dua belas kodim dapat terpenuhi. Satgas TNI AU memiliki tugas dan fungsi sebagai pengamanan pangkalan, pembinaan kedirgantaraan dan pembinaan teritorial. Sedangkan Satgas TNI AL melaksanakan tugas pokok pembinaan kemaritiman dan potensi daerah.
  8. Mengganti nama Korpaskhas (Korps Pasukan Khas TNI AU) menjadi Kopasgat (Komando Pasukan Gerak Cepat) sesuai dengan SK Panglima TNI Nomor Kep / 66/I/2022 tanggal 21 Januari 2022.
Baca Juga :   Huru-Hara yang Pernah Terjadi di Mekkah

Demikian kepemimpinan para Jenderal Kopassus yang tentunya memiliki karakteristik yang khas masing-masing. Semua pada prinsipnya berusaha untuk menjadikan TNI sebagai institusi professional dan modern yang dapat menjaga keutuhan dan kedaulatan NKRI.

DAFTAR PUSTAKA

Budi Susanto & Made Tony Supriatma. 1995. ABRI: Siasat Kebudayaan 1945-1995. Yogyakarta: Kanisius dan Lembaga Studi Realindo.

Julius Pour. 2017. Tragedi Seorang Loyalis.. Jakarta: Kata Hasta Pustaka.Kivlan Zen. 2004. Konflik dan Integrasi TNI-AD. Jakarta: Institute for Policy Studies.

Share:

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on pinterest
Pinterest
Share on linkedin
LinkedIn

Related Posts