Cerita Dibalik Perjuangan Sujatin Kartowijono

Sujatin Kartowijono merupakan seorang tokoh perempuan yang aktif dalam memperjuangkan hak dan kesetaraan perempuan. Lahir di Desa Kalimenur, daerah Wates dekat dengan Yogyakarta, pada tanggal 7 Mei 1907. Sujatin adalah nama kecil yang diberikan kedua orang tuanya sedangkan Kartowijono adalah nama tambahan yang diberikan ketika ia menikah dengan Pudiarso Kartowijono. Setelah menikah dengan Purdiarso, Sujatin lebih dikenal dengan sebutan Nyonya Kartowijono dan menetap di Batavia. 

Oleh : Danette Christ

Kedua orang tua Sujatin bernama Mahmud Joyohadirono dan R.A Kiswari. Ayah Sujatin berasal dari Bangil, Pasuruan. Ayah Sujatin bekerja sebagai pegawai Jawatan Kereta Api pada masa Hindia Belanda (Nastoeti, 2005). Mahmud sering berpindah pindah tugas dari kota satu ke kota lainnya selama bekerja di Jawatan Kereta Api Indonesia. Daerah Sampiuh, sebuah desa kecil dalam jalur kereta api yang menghubungkan Kroya dan Yogyakarta, menjadi tempat tugas pindah kota paling lama yang dijalani oleh ayah Sujatin. Ayah Sujatin memiliki kesenangan membaca, tamasya dan olahraga serta juga aktif dalam urusan perkumpulan kebangsaan. Tercatat bahwa Mahmmud Joyohadirono juga berperan dalam merintis perkumpulan Budi Utomo di daerah Sampiuh. Tidak mengherankan apabila Sujatin Kartowijono dan saudaranya banyak yang mengikuti jejeak ayahnya. index.jpg

Sujatin Kartowijono (Sumber: opac.perpusnas.go.id)

Sejak kecil, kedua orangtuanya selalu mengajarkan anak-anaknya agar tidak membedakan-bedakan kedudukan manusia. Meskipun kedua orang tua Sujatin mempunyai jabatan penting dan dihormati oleh masyarakat sekitar, kedua orang tuanya terutama ayah Sujatin selalu mengajarkan untuk bergaul dengan anak-anak kampung di sekitar lingkungan mereka tinggal. Selain itu, kedua orangtua Sujatin juga membebaskan anak-anaknya dalam memilih kehidupannya dan berpikir secara realistis. 

Sujatin menempuh pendidikan dasarnya di Holland Inlandsche School atau HIS bersama dengan kedua kakaknya. Letak sekolah Sujatin pada saat itu di Karanganyar, Kebumen Jawa Tengah. Pada saat itu, tidak terlalu banyak anak-anak yang bersekolah di HIS karena sulitnya akses bagi orang kecil untuk mendapatkan pendidikan. Selama bersekolah di HIS, Sujatin mempunyai kegemaran yang sama dengan ayahnya yaitu membaca. Setelah Lulus dari HIS, Sujatin melanjutkan pendidikannya di MULO. Saat bersekolah di MULO, Sujatin  mulai mencari pengalaman baru dengan mengikuti kegiatan di luar sekolah dengan bergabung bersama Jong Java. Sujatin mempunyai keinginan untuk  meneruskan sekolah ke Rechst School di Jakarta setelah tamat dari MULO. Namun biaya yang ditawarkan sekolah pada saat itu sangat besar. Hati kecil Sujatin tidak ingin menambah beban ayahnya dan akhirnya ia memutuskan untuk melanjutkan sekolah keguruan di Yogyakarta

Perjalanan Kisah Cinta Sujatin

Perjalanan kehidupan Sujatin terutama dalam hal percintaan tidak semulus orang pada umumnya. Bahkan banyak teman Sujatin yang memberi ia julukan sebagai perempuan yang membuat patah hati laki laki. Hal itu dikarenakan banyak laki laki yang dibuat patah hatinya oleh Sujatin. Hubungan percintaannya banyak dijalaninya ketika kongres perempuan pertama berlangsung yaitu tahun 1928 dan 1930. 

Cinta pertama Sujatin dijalaninya bersama seorang pemuda organisasi Jong Java yang bersekolah di Fakultas Hukum Jakarta pada saat itu. Pemuda tersebut telah menjadi tunangan Sujatin. Selama aktif berorganisasi, kisah cinta Sujatin hanya berlangsung di atas lembar lembar surat yang dikirimkan. Berakhirnya hubungan Sujatin dengan tunangannya ini dikarenakan kesibukannya menyiapkan Kongres Perempuan Pertama yang mana Sujatin menjadi salah satu pelaksana Kongres tersebut. Kongres Perempuan ini merupakan awal tonggak sejarah pergerakan perempuan Indonesia yang harus dipersiapkan dengan matang yang menguras tenaga dan waktu sehingga Sujatin menolak ajakan sang kekasih untuk bertemu. Akhirnya sang kekasih merasa tidak dipedulikan  dan memutuskan untuk mengakhiri hubungan mereka.

Setelah itu, cinta sujatin berlabuh pada seorang mahasiswa THS atau sekarang lebih dikenal dengan Institut Teknologi Bandung. Mempunyai pola yang sama dengan hubungan pertamanya, hubungan Sujatin berakhir karena kekasihnya merasa dihiraukan oleh Sujatin karena ia lebih mementingkan kongres di Surabaya tahun 1930. 

Baca Juga :   Getir Kehidupan Sjahrir

Setelah mengalami kegagalan dalam hal percintaan, ditengah-tengah kegiatan organisasinya Sujatin bertemu seorang laki laki yang mengerti perjuangan dan idealisme yang dianutnya serta bisa menempatkan dan menerima kedudukan Sujatin. Sujatin bertemu pertama kalin pada saat acara peringatan Hari Kartini tahun 1932 Pada saat itu, Sujatin menjabat menjadi ketua pelaksana. Dalam waktu yang singkat mereka saling mengenal dan memahami pandangan hidup dan cita cita masing masing. Pudiarso Kartowijono, bukan seorang yang kaya dan bukan sarjana tetapi ia adalah seorang murid dari Ir. Soekarno dan penganut jalan pikiran Dr. Setiabudi di Bandung. Setelah menikah dengan Pudiarso, Sujatin dikaruniai enam orang putra dan putri. 

Perjalanan Karir Sujatin

Jong Java merupakan organisasi pertama yang diikuti Sujatin.  Sujatin banyak mengutarakan gagasan-gagasan umum melalui tulisannya dengan nama samaran “Garbera” sejak pertama kali bergabung dengan Jong Java pada tahun 1922. Salah satu tulisan Sujatin yang dimuat di majalah Jong Java adalah Was Ik Maar Een Jongen atau Andaikan Aku Seorang Laki Laki. Berkat kemampuan dan keahlian Sujatin dalam menulis, dirinya kemudian diangkat sebagai redaktur majalah Jong Java (Nastoeti, 2005). Setelah diangkat menjadi menjadi pengurus di Jong Java, dirinya sering terjun langsung mengunjungi sekolah-sekolah untuk meminta izin direktur dan menemui siswanya. 

Selain keikutsertaanya dalam Jong Java sekitar tahun 1926, Sujatin dan teman guru lainnya yang sebagian besar merupakan mantan anggota Jong Java  mendirikan sebuah perkumpulan yang bernama Putri Indonesia. Organisasi ini merupakan perkumpulan guru-guru di Yogyakarta yang diketuai oleh Sujatin sendiri. Organisasi ini sering melakukan kegiatan sosial, salah satunya membuka kursus pengajaran bahasa Melayu yang diadakan di sekolah taman siswa (Blackburn & Toer, 2007). 

Lahirnya Sumpah Pemuda dalam menyatukan semangat nasionalisme pemuda Indonesia melahirkan gagasan-gagasan baru dari Sujatin dan rekan perkumpulannya. Mereka memiliki tujuan menyatukan seluruh wanita bumiputera. Sujatin merangkul Nyi Hajar Dewantara dan R.A Soekanto untuk mendapatkan dukungan dari kalangan atas untuk menyelenggarakan kongres. Sujatin Putri sebagai Ketua Pelaksana dan delegasi dari Putri Indonesia cabang Yogyakarta aktif dalam kegiatan kongres dari waktu ke waktu (Nastoeti, 2005).

Tiga tokoh wanita yang memprakarsai persatuan seluruh wanita adalah R. Ayu Soekanto dari perkumpulan Wanito Utomo, Nyi Hajar Dewantara dari perkumpulan Taman Siswa dan Sujatin dari perkumpulan Putri Indonesia (Supriyono, 1998). penyelenggaraan kongres ini diselenggarakan di Yogyakarta pada tanggal 22 Desember 2928. Hasil dari keputusan kongres ini adalah membangkitkan rasa nasionalisme, membentuk panitia perkumpulan Indonesia, memperkuat pendidikan kepanduan putri, mencegah perkawinan anak anak, mengirim mosi kepada pemerintah, dan mengusulkan kepada pengadilan agama agar setiap talak harus dilaksanakan menurut apa yang sudah tersebut di dalam ajaran agama. 

Setelah Kongres Pertama berlangsung, kegiatan Sujatin dalam organisasi perempuan semakin meningkat. Pada tahun 1929, Kongres Perempuan Kedua diadakan di Batavia. Di tengah berlangsungnya kongres, Sujatin dan kawan-kawan mengalami kesulitan dikarenakan polisi Belanda melarang kongres untuk dilanjutkan dan kantor gedung tempat acara diselenggarakan diperiksa oleh polisi Belanda. Namun Sujatin memberi surat ijin tertulis dari pihak berwenang sehingga kongres tetap dapat dilanjutkan. Hal ini terjadi disebabkan tertangkapnya Ir. Soekarno di Yogyakarta. Dalam suasana darurat seperti itu pada akhirnya rekan-rekan Sujatin sepakat untuk mengubah nama PPPI menjadi PPII atau disebut dengan Perikatan Perkumpulan Istri Indonesia setelah terjadinya kongres Perempuan I pada 1928 sampai Kongres Perempuan II pada tahun 1935. 

Dalam kongres PPII yang pertama yang diselenggarakan di Surabaya, Sujatin diminta untuk memberikan ceramah tentang pendidikan perempuan. Memasuki tahun 1942 ketika pendudukan Jepang di Indonesia, Sujatin diminta hadir dalam rapat yang diselenggarakan Jepang untuk membentuk organisasi perempuan Fujinkai, akan tetapi ia menolak ajakan tersebut bahkan tetap menganjurkan untuk tetap menjalankan organisasi perempuan yang ada meskipun ia tahu seluruh kegiatan organisasi perempuan di masa Jepang sangat dilarang. Hal tersebut mengakibatkan Sujatin masuk dalam daftar hitam kempetai. 

Baca Juga :   Sujatin Kartowijono : Perempuan Dibalik Kongres Wanita Indonesia (KOWANI) 1928-1938

Setelah kemunduran Jepang di Indonesia dan memasuki masa kemerdekaan Indonesia, Presiden Ir. Soekarno membubarkan semua organisasi bentukan Jepang dan memberi surat kuasa untuk membentuk WANI di bulan Oktober tahun 1945 di Jakarta. Tujuan WANI dibentuk untuk menolong pejuang yang berada di sekitar Jakarta pada saat melawan pasukan penjajah. Mereka menyiapkan makanan, pakaian dan keperluan lainnya. Tidak terkecuali Sujatin. Dirinya juga berperan aktif dalam kegiatan organisasi WANI sebagai petugas angkutan dapur umum. Pada tahun 1946 KOWANI mengadakan kongres di Madiun yang menghasilkan keputusan bahwa KOWANI di pimpin oleh DPP yang terdiri dari wakil organisasi anggota. Pada tahun 1950 Sujatin dan kawan kawan mengadakan rapat besar bersama KOWANI dan Badan Kontak Permusyawaratan Wanita Indonesia di Jakarta. Dalam keputusan rapat besar ini diputuskan bahwa organisasi perempuan hendaknya benar-benar mempelajari kedudukan perempuan dalam perkawinan. Selain itu kaum perempuan juga harus menggunakan haknya dalam pemilihan umum. 

Memasuki tahun 1950, kegiatan Sujatin dalam organisasi perempuan semakin meningkat. Salah satunya duduk sebagai panitia nikah, talak, dan rujuk dengan tugas menyelidiki masalah-masalah hukum perkawinan bersama beberapa tokoh lainnya. Di samping menjalankan tugasnya, Sujatin juga aktif dalam kegiatan organisasi PERWARI dan menjadi ketua umum dari tahun 1953-1960. Selama menjabat sebagai ketua,  Sujatin banyak melakukan hal yang baik untuk kepentingan PERWARI maupun bagi perkembangan pergerakan perempuan pada umumnya (Nastoeti, 2005, 390).

Akhir Kehidupan Sujatin 

Memasuki usia Lansia, Sujatin masih tetap mengikuti perkembangan pergerakan wanita Indonesia meskipun hanya melalui media massa. Di  masa tuanya, ia masih dijadikan penasehat organisasi PERWARI dan menjadi suatu kebanggaan dan kebahagian dirinya. Suka duka pengalaman perjuangan yang telah dilalui Sujatin dalam memperjuangkan pergerakan perempuan Indonesia saat itu menjadi pesan bahwa saat ini para pemimpin perkumpulan wanita atau organisasi wanita haruslah mempunyai pengetahuan yang luas mengenai keadaan wanita, rasa kasih sayang kepada sesama wanita, dan sifat keibuan serta sikap terbuka terhadap kritik. 

Sujatin Kartowijono mengidap penyakit gula yang telah lama dideritanya. Pada tanggal 6 Mei 1982, dirinya dilarikan ke rumah sakit untuk mendapatkan pertolongan. Sujatin Kartowijono tutup usia  pada tanggal 1 Desember 1983 di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo setelah beberapa saat mengalami pengobatan. Sujatin Kartowijono dimakamkan di TPU Tanah Kusir Jakarta dan sebelumnya mendapat penghormatan terakhir dari Panti Trisula, sebuah tempat yang didirikan PERWARI. 

Referensi

Blackburn, S., & Toer, K. S. (2007). Kongres Perempuan Pertama. Yayasan Obor Indonesia dan KTLV.

Kartowijono, S. (n.d.). Mencari Makna Hidup: Bunga Rampai Perjalanan. Sinar Harapan.

Kartowijono, S. (1992). Perkembangan Pergerakan Wanita Indonesia. Yayasan Idayu.

Kongres Wanita Indonesia (KOWANI). (1978). Sejarah Setengah Abad Kesatuan Pergerakan Wanita Indonesia. Balai Pustaka.

Leksono, K., & dkk. (1998). Tokoh Feminis: Surjatin Kartowijono. Jurnal Perempuan, 5, 69-73.

Nastoeti, I. H. (2005). Wanita Pejuang. Paguyuban Wanita Pejuang.

Panitia Pembuatan Buku. (2009). 80 Tahun Kowani Derap Langkah Pergerakan Organisasi Perempuan Indonesia,. Sinar Harapan.

Steurs, C. V.-D. (n.d.). Sejarah Perempuan Indonesia: Gerakan dan Pencapaian. Komunitas Bambu.

Supriyono, A. (1998). Wanita dalam Pergerakan Nasional: Kongres Wanita Indonesia I, II, III. Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta.

Share:

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on pinterest
Pinterest
Share on linkedin
LinkedIn

Related Posts