Memudarnya Kejayaan Pabrik Gula di Mojokerto

Mojokerto dan kota-kota di Karesidenan Surabaya merupakan salah satu pusat perkebunan tebu di Jawa Timur Pada masa pemberlakuan sistem Cultuur Stelsel. Posisi Mojokerto yang berada pada aliran Sungai Brantas membuat kondisi tanah di kota ini cocok untuk dijadikan lahan pertanian dan perkebunan. Terutama untuk tanaman padi dan tebu. Oleh karena itu, Mojokerto memiliki posisi strategis sebagai pusat produksi gula.

Oleh : Firmanda Dwi Septiawan

Posisinya sebagai pusat produksi gula menyebabkan arus migrasi dalam Kota Mojokerto secara tidak langsung. Hal ini dikarenakan banyaknya pabrik gula yang tersebar di seluruh distrik. Pabrik-pabrik gula tersebut menyerap banyak tenaga kerja. Penduduk asing seperti Eropa, Tionghoa dan Timur Asing banyak ditemui di kota ini. 

 Tercatat terdapat 12 pabrik gula yang pernah berdiri di wilayah Mojokerto pada abad ke 19. Pabrik Gula pertama yang berdiri adalah PG Sentanen Lor yang dibangun oleh GJ Eschauzier pada tahun 1834. Ia adalah seorang taipan asal Belanda yang melihat potensi wilayah perkebunan tebu yang besar di wilayah Mojokerto. Permintaan produksi gula yang semakin meningkat pada wilayah Jawa Timur mendorong Eschauzier untuk membangun beberapa pabrik gula lagi. Secara berturut-turut, Eschauzier membangun pabrik di Bangsal (1838), Gempolkrep (1845), Brangkal (1866), Ketanen (sebelum tahun 1880-an), Dinoyo (1882), dan Pohjejer (1891). Tahun pendirian pabrik gula milik Eschauzier dicatat dalam disertasi Wiserman di Universitas Adelaide Australia.

Gambar pekerja pabrik gula di salah satu pabrik Mojokerto sedang memilah hasil panen tebu

(Sumber : ANRI)

Tidak hanya di situ, pembangunan pabrik gula di Mojokerto juga pernah diadakan oleh seorang Jerman yang bernama Von Bultzingtowen. Von Bultzingtowen  mendirikan pabrik gula di wilayah Perning dan Jabung. Namun Pabrik Gula Jabung ini merupakan pabrik terkecil yang ada di wilayah Mojokerto sehingga tidak bertahan lama dan terpaksa ditutup pada tahun 1899. Hal ini dikarenakan rasio tebu yang diolah dengan hasil produksi tidaklah sebanding. Perkembangan pabrik gula di wilayah Mojokerto menciptakan persaingan dengan beberapa daerah lainnya. Misalnya Pabrik Gula Koning William II yang didirikan oleh Van Dalden di Mojosari. Pabrik ini diberi  nama sesuai nama Raja Belanda yang berhasil membebaskan Belanda dari Prancis. Pabrik ini dibangun untuk menyaingi pabrik gula yang berada di tengah Kota Mojokerto yang sudah terlebih dulu eksis.

Dalam catatan Gill, Mojokerto yang semakin ramai akan perdagangan dan pembangunan pabrik gula membuat etnis Tionghoa yang ada di daerah sekitar Mojokerto tertarik untuk singgah dan bekerja sebagai buruh di pabrik tersebut. Bahkan ada pengusaha kaya dari etnis Tionghoa bernama Tan ikut meramaikan pembangunan pabrik gula di kota ini. Ia mendirikan PG Sumengko yang memiliki kapasitas produksi menengah, tetapi tidak bertahan lama. Pada akhirnya, PG Sumengko dijual kepada kongsi dagang Jepang pada saat terjadinya krisis ekonomi tahun 1920-an. 

Kemungkinan pada awalnya pengusaha Tionghoa telah lebih dulu membuat beberapa pabrik di Mojokerto yang kemudian diakuisisi oleh pengusaha Eropa. Salah satu  contohnya adalah akuisisi pabrik Ketanen oleh Eschauzier. Data yang diberikan Wiserman menunjukkan Eschauzier membangun beberapa pabrik dalam waktu yang bersamaan. Pembangunan serentak itu sepertinya sulit dari sisi finasial dan sulit juga dari segi teknis. Pabrik berdiri dengan modal besar dan butuh tenaga teknis yang ahli untuk menatanya. 

Gambar Peta persebaran pabrik gula Mojokerto yang dilewati oleh Sungai Brantas.

Baca Juga :   La Galigo; Kerjasama Pribumi dan Belanda dalam Merawat Ingatan

(Sumber : KITLV)

Investasi swasta di Mojokerto tentu mempertimbangkan letaknya yang dekat dengan pelabuhan Surabaya. Kemudahan air juga menjadi pertimbangan penting karena tanaman tebu membutuhkan banyak air. Pada saat itu memang industri gula di Jawa Timur terkonsentrasi di sepanjang aliran sungai Brantas dan Pasuruan. Mereka membangun jaringan irigasi dan transportasi untuk menunjang proses produksinya.

Adanya beberapa sungai besar yang mengalir di Mojokerto juga menjadi faktor tersendiri. Kita ketahui bila saat itu semua mesin penggiling tebu digerakkan dengan tenaga uap. Pabrik butuh mengambil air dalam kapasitas besar untuk mengisi ketel uapnya. Sungai juga menjadi tempat pembuangan limbah produksi. Karena itu pada Kaart van Suikerfabrieken atau Peta Pabrik Gula terlihat tebaran terbanyak ada di seputar sungai Brantas. Industri gula di Jawa menjadi eksportir gula terbesar dunia bersaing dengan Kuba. Oleh karena itu banyak orang Jawa menjuluki pulau ini sebagai “Suikerlandia” atau tanah penghasil gula. Diantara penghasil gula terbesar di Jawa wilayah Mojokerto menjadi salah satu penyuplai produksi terbesar di Jawa Timur.

Pada saat krisis ekonomi yang dikenal dengan jaman malaise, industri gula di Jawa terkena imbasnya. Beberapa pabrik yang tidak optimal ditutup oleh pemiliknya. Pabrik itu ada yang dibeli oleh pihak lain dan kemudian dialihfungsikan untuk produksi barang lainnya. Pabrik Gula Dinoyo dijual oleh Eschauzier pada pengusaha Hindustan. Oleh pemilik baru kemudian dirubah menjadi pabrik tenun. Pabrik Perning juga sempat menjadi gudang tembakau milik perusahaan rokok BAT. Sebelum krisis Keluarga Eschauzier mengelola setidaknya 10 pabrik gula yang kemudian berkurang menjadi 8 buah saja. Pemilik pabrik Perning, Von Bultzingtowen bahkan meninggal dalam kondisi bangkrut.

Kejayaan dan kekayaan yang dihasilkan dari kepulan asap pabrik gula memang membuat Mojokerto sejahtera. Namun dari kejayaan 12 pabrik gula di Mojokerto masa lampau, sekarang hanya tersisa 3 yang masih berdiri dan berproduksi hingga saat ini yakni PG Gempolkrep, PG Bangsal dan PG Brangkal. Ketiga pabrik tersebut menjadi saksi sejarah bahwasannya kota kecil yang ada di Jawa Timur ini pernah menjadi tumpuan produksi gula di masa kolonialisme Belanda pada abad ke 19.

Sumber Referensi :

Gill, R. G. 1995. De Indische Staad Op Java en Madura, een Morphologische Studi van haar Ontwikeling. Disertasi doktor.

Sartono Kartodirdjo. 1991. Djoko Suryo. Sejarah Perkebunan di Indonesia: Kajian Sosial-Ekonomi. (Yogyakarta: Aditya Media), hlm 65.

Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI) 1887-1987 , July 1986. Surabaya : Sutjahjo, Untung dan Setia Rini.

Yulianingsih,Wiwik. 2012. “Sejarah Kota Mojokerto (1918-1942)”. Fakultas Ilmu Sosial. Universitas Negeri Malang.

Share:

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on pinterest
Pinterest
Share on linkedin
LinkedIn

Related Posts