Menelisik Sejarah Rempah-Rempah di Kabupaten Banjar

Kata Kasasahangan merupakan salah satu idiom yang sering dipakai di dalam Bahasa Banjar. Secara harfiah, kata Kasasahangan dalam bahasa Banjar memiliki arti “lada” karena berakar dari kata Sahang. Namun makna idiom dari kata ini lebih merujuk kepada “orang yang tidak sabar melakukan sesuatu perbuatan”. Lada atau yang disebut sahang dalam bahasa Banjar terkenal dengan rasanya yang pedas yang khas sehingga dalam interaksi bahasa Banjar sahang dipakai untuk mewakilkan sifat orang yang tidak sabar dalam melakukan suatu perbuatan. Adanya penggunaan kata sahang dalam idiom bahasa Banjar membuktikan bahwa rempah-rempah terkhususnya lada (sahang) memiliki sejarah yang kuat dengan masyarakat Banjar. Sahang dulunya banyak ditemukan di daerah Pengaron wilayah Kesultanan Banjar. 

Oleh : Mislani

Pengaron adalah sebuah kecamatan di kabupaten Banjar yang kaya akan sumber daya alam rempah, kopi dan batu bara. Pengaron memiliki struktur alam yang asri dengan lembah gunung Meratus yang menjulang tinggi di hulunya dan aliran sungai Martapura di hilirnya. Sampai sekarang aliran sungai ini masih menjadi jalur transportasi perdagangan. Pengaron dan sungai Martapura menjadi saksi kunci peradaban jalur rempah sebelum adanya jalur darat. Hal ini dikarenakan, jalur sungai Martapura digunakan untuk menghubungkan kesultanan Banjar dengan daerah-daerah lain di pulau Kalimantan.

Penggalian jejak rempah dan sejarah ini bermula ketika kami mengangkat mengenai sejarah sahang (lada) yang ada di Kalimantan Selatan. Setelah melakukan riset dan observasi, ekspedisi kami mulai dari daerah Binuang-Sungai Pinang dan berakhir di Pengaron tepatnya di Benteng Nassau. Sebagai informasi, benteng ini adalah benteng pertama yang ada di Kalimantan. Benteng yang menjadi bukti sejarah Perang Banjar ini juga memiliki peran vital di masa kolonial yaitu mengelola tambang batu bara yang ada di daerah Pengaron. Adanya benteng ini menandakan bahwa pada masa kolonial daerah Pengaron memiliki kekayaan alam lain selain kopi dan rempah-rempah.

Lobang tambang batubara di daerah hulu Pengaron

Banyak sumber yang menggambarkan betapa kaya alam Pengaron kala itu. Orang Belanda membawa kopi jenis Robusta dan ditanam di Pengaron sehingga munculah Kopi Pengaron. Namun yang cukup terkenal selain Kopi Pengaron adalah sahang (lada). Fakta ini didukung oleh temuan kami ketika membuat film jalur rempah yang diadakan Balai Pelestarian Cagar Budaya Kalimantan Timur (BPCB KALTIM) dan  dibagikan di kanal Youtube SMKN 1 Binuang dengan judul Venesia Dari Timur . Mansyur, salah satu dosen Universitas Lambung Mangkurat menyatakan bahwa Sahang Banjar atau lada ditanam oleh rakyat banjar sejak abad ke 15. Beliau menambahkan bahwa pada waktu itu, penanaman sahang tidak dilakukan secara masif karena adanya larangan dari Sultan Banjar. Tujuan larangan tersebut adalah  agar penjajah tidak datang ke daerah Kesultanan Banjar karena sahang. 

Sahang Banjar memang terkenal pada masanya (abad ke 15). Namun, harga sahang  saat ini anjlok di pasaran. Harganya tidak seharum baunya yang menyengat. Faktor yang memicu anjloknya harga sahang adalah pengalihan lahan yang dilakukan petani dari perkebunan  sahang menjadi perkebunan karet. Seorang petani bernama Acil Diah ( Acil; Sebutan bibi untuk orang lokal di Pengaron) mengatakan bahwa penyebab dialihfungsikan lahan dari sahang ke karet diakibatkan oleh harga sahang yang turun dan harga karet yang naik. Acil Diah juga menuturkan bahwa dulunya setiap orang memiliki pohon sahang di rumah tetapi sekarang sudah tidak. 

Baca Juga :   Rijsttafel: Kuliner Hasil Kebudayaan Indis

Faktor lain yang membuat petani beralih ke tanaman karet adalah masa panen sahang yang lebih lama dibandingkan karet. Karet dapat dipanen lima kali dalam seminggu sementara sahang harus satu tahun sekali memanennya. Iklim yang berubah-berubah pun ikut mempengaruhi. Hal ini dikarenakan sahang merupakan tanaman iklim dingin yang mudah terserang penyakit. Fakta lain yang kami temukan adalah daerah Pengaron sekarang menjadi tambang pasir dan tambang batu bara yang menyebabkan petani kekurangan lahan pertanian. Sebuah ironi ketika sahang yang merupakan warisan turun temurun dari zaman kesultanan dan telah menjadi ikon Kalimantan Selatan tidak dapat dilestarikan oleh para penerus.

Sahang (Lada) Banjar di Pengaron, sempat viral pada masanya sekarang hanya tinggal kenangan.

Penelusuran kami lanjutkan dengan mengikuti Acil Diah menjual hasil bumi rempahnya seperti kunyit, jahe, laos, serai dan sahang ke Ibu Inem. Ibu Inem merupakan tengkulak yang membeli hasil bumi dari petani di Pengaron. Ibu Inem sempat bercerita bahwa tahun lima puluhan tahun yang lalu, pedagang, petani, dan pembeli melakukan transaksi jual beli menggunakan transportasi sungai. Artinya, jalur sungai masih diberdayakan oleh warga di pinggiran sungai untuk menjual hasil bumi terutama sahang sekitar lima puluhan tahun lalu. 

Keberadaan jalur sungai memang tidak bisa kita lepaskan dari peradaban Kesultanan Banjar pada masa itu. Banyak asimilasi budaya, literasi, adat istiadat, dan kuliner yang menyatu menjadi satu warisan bahari. Ini terbukti dengan penyajian Soto Banjar, makanan khas kabupaten Banjar. Makanan berkuah ini terkenal karena aroma kuat rempah yang  berasal sahang. Terdapat perbedaan antara soto Banjar daerah hulu dan hilir jika dilihat dari bening dan keruhnya kuah. Di Banjar hilir (daerah Banjarmasin dan Martapura) kuahnya agak keruh karena mungkin pengaruh dari budaya Arab yang masuk ke Kesultanan Banjar. Namun di Banjar hulu (daerah Barabai, Balangan dan Tabalong) kuahnya bening atau tidak terlalu kental karena tidak ada pengaruh budaya luar atau dapat dikatakan bahwa bumbu rempahnya masih asli daerah Banjar . 

Kekayaan seperti kuliner, adat istiadat, budaya dan bahasa harus dilestarikan.. Keberadaan sahang yang mulai hilang termakan zaman di Kalimantan Selatan menjadi sebuah ironi yang seharusnya tidak terjadi. Keberadaan sahang, rempah khas bumi Banjar Kalimantan Selatan harus dipertahankan kelestariannya lewat berbagai macam cara dari edukasi dan inspirasi kepada generasi muda. Tujuannya agar sahang yang menjadi rempah ikonik Kalimantan selatan tetap berbau harum dan selalu dikenal sejarahnya. 

DAFTAR PUSTAKA

Werdiono, Defri. 2013. Jukung, Urat Nadi Orang Banjar. Kompas. (26 januari 2013).

Administrator, 2015. Benteng Oranje Nassau Pengaron. Dinas Kebudayaan Pariwisata Kabupaten Banjar. (26 februari 2015).

Susanto, Nugroho Nur. Oranje Nassau, Pengaron: Awal Batu Bara di Indonesia/Susanto, Nugroho Nur. Banjarbaru: Balai Arkeologi Kalimantan Selatan, Cetakan Pertama, September 2017.

Sanusi, Didi G 2019. Benteng Oranje Nassau, Simbol Supremasi Belanda Pemicu Perang Banjar. Jejakrekam.com. (4 November 2019)

Sanusi, Didi G 2019. Ada Lada Nagara, Tanah Laut Dan Kayutangi Yang Bawa Kemakmuran. Jejakrekam.com. (8 desember 2019).

Imam Hindarto, Vida Pervaya Rusianti Kusmartono, dan Sigit Eko Prasetyo. 2021 Ungkapan Lada Dalam Hikayat Banjar Sebuah Analisis Semiotik. Balai Arkeologi Kalimantan Selatan dan Balai Arkeologi Sumatera Selatan, Lorong Rusa, Palembang, Indonesia. 2021

Ali Rendra, Ahmad. 2021. Rempah-rempah dari Meratus Kalimantan Selatan dan Kejayaan Perdagangan Kesultanan Banjar Abad 17-18. Kompasiana. (22 maret 2021).

Baca Juga :   Dampak dari Depresi Ekonomi 1930 Terhadap Perubahan Kebiasaan Makan Kaum Eropa dan Pribumi Hindia Belanda 

Mursalin, 2021. Mencicipi Soto Banjar, Membayangkan Sejarah. Kandil: majalah kebudayaan empat bulanan, edisi juli 2021.

Share:

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on pinterest
Pinterest
Share on linkedin
LinkedIn

Related Posts