Perjalanan Seni Cukil: Memerah di Asia dan Mati Bersama Lekra

Dalam buku Woodcut Movement in Asia 1930s-2010s; Blaze Carved in Darkness mengungkapkan bahwasanya seni Cukil merepresentasikan potensinya sebagai ungkapan seniman dalam wacana aktivisme sosial, seperti kemerdekaan atas kolonialisme, perang melawan kapitalisme, inferioritas perempuan dan banyak hal lainnya.

Oleh Alfian Widi Santoso

Pernah satu ketika aliran seni berhadap-hadapan sebagai satu antagonisme. Hal itu terjadi antara Manikebu (Manifes Kebudayaan) dan Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat). Manikebu memandang bahwasanya seni haruslah dinilai sebagai seni yang mengandung artistik serta nilainya yang layak sebagai seni pada umumnya; sedangkan di lain kubu, Lekra menganggap bahwa seni harus berdekatan dengan rakyat, sebab jika saja seni hanya memiliki nilai yang abstrak, tentu itu hanya menjadi hiburan kaum intelektual dan borjuis saja. Pada akhirnya dua kubu ini tidak dapat dipersatukan satu sama lain dan mereka hanya bisa menguatkan kubunya masing-masing hingga meletusnya peristiwa 1965.

Di lain hal, prinsip Lekra yang menerapkan seni untuk rakyat akhirnya membawa massa dan ciri khasnya sendiri. Salah satu yang menonjol adalah seni grafis Cukil (Bahasa Inggris: Woodcut). Seni Cukil ini merupakan salah satu seni yang menonjolkan seninya pada genre sosialis realis (bisa disebut sebagai alirannya Lekra).

Memang kala itu, seni Cukil benar-benar memerah di Asia, terhitung sejak tahun 1930-an. Dalam buku Woodcut Movement in Asia 1930s-2010s; Blaze Carved in Darkness mengungkapkan bahwasanya seni Cukil merepresentasikan potensinya sebagai ungkapan seniman dalam wacana aktivisme sosial, seperti  kemerdekaan atas kolonialisme, perang melawan kapitalisme, inferioritas perempuan dan banyak hal lainnya.

Di Indonesia, seni Cukil menjadi kian menarik karena telah diterima oleh golongan ‘kiri’, terlebih PKI (Partai Komunis Indonesia). Sikap PKI terhadap seni tentu begitu terbuka, apalagi pada seni yang merepresentasikan untuk rakyat. Bahkan banyak tokoh dari Lekra (onderbouw PKI dalam urusan seni) adalah seorang seniman, pengajar seni atau murid dari Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) dan juga kelompok seni Bumi Tarung—dimana kelompok ini berhaluan sama seperti LEKRA, yang mana bahwasanya seni haruslah berpihak untuk mencapai estetika. Hal itu begitu klop akhirnya, ditambah lagi dengan pemimpinnya yang mengerti seni yaitu anggota CC PKI yang memiliki nama Njoto.

Njoto (nama pena: Iramani) adalah salah satu dari anggota Central Comitee PKI (biasa disebut CC PKI) yang menangani LEKRA dan Harian Rakjat. Di tangan Njoto yang kalem, Harian Rakjat dan LEKRA menjadi tenar. Bayangkan saja dalam kurun waktu 1951 hingga 1965, produksi Harian Rakjat terus meningkat—catatan terakhir Harian Rakjat pada 1965 menyebutkan bahwa telah mencetak kabar harian tersebut sebanyak 747.250 eksemplar banyaknya. Memang kala itu, Partai Komunis Indonesia sangat getol dalam masalah bidang keilmuan, sosial dan seni, bahkan saja tidak ada partai yang bisa menandingi PKI kala itu dalam urusan ilmu, sosial dan seni. 

Begitu pula di dalam Lekra, mereka begitu getol dalam masalah seni. Lekra dikenal dengan prinsip 1-5-1-nya. Prinsip itu diciptakan dalam kongres Lekra yang melibatkan Njoto. Angka satu yang pertama berbunyi “Politik sebagai panglima”. Njoto dalam pidatonya di Kongres Lekra mengatakan bahwa politik dan kebudayaan mesti diletakkan pada tempat yang semestinya. “Kekeliruan besar mempersilakan kebudayaan berjalan sendiri, polos, tanpa bimbingan politik,” tulisnya kala itu. Prinsip pertama yang disimbolkan sebagai angka ‘1’ menjadi pondasi dalam pelaksanaan lima kombinasi kerja dalam berkesenian (memadukan kreativitas individu dengan kearifan massa; meluas dan meninggi; tinggi mutu artistik dan ideologi; memadukan tradisi baik dengan kekinian revolusioner; memadukan realisme revolusioner dengan romantisme revolusioner). Sedangkan yang terakhir berarti turun ke bawah atau “turba” dan hal tersebut menjadi praktek untuk menerapkan seluruh prinsip sebelumnya. Seniman Lekra diwajibkan untuk blusukan, membaur dan hidup bersama rakyat untuk mengetahui penderitaan dan kemauan rakyatnya.

Baca Juga :   Sejarah Lahirnya Musik Underground di Indonesia Tahun 1970-1990

Hal ini menjadi satu kesatuan yang utuh dan menjadi tempat berpijak seni-seni rakyat, salah satunya seni cukil yang pada kala itu masih merah-merahnya di Asia. Akhirnya, seni cukil ini dihargai oleh seluruh kalangan kaum “kiri” PKI. Beberapa karya pun dipublikasi di koran Harian Rakjat karena bisa dibilang cukup propagandis Semisal saja karya Pudjanadi yang berjudul Tanah untuk Penggarap, karya berjudul Madju Terus, Djangan Mundur Sedikitpun karya Tarmizi, Madju Laksanakan Dwikora karya M. Gultom, dan juga Kami Tjinta Damai, tapi Lebih Tjinta Kemerdekaan karya Ngajarbana Sembiring. Bahkan, dalam Harian Rakjat juga menerbitkan beberapa gambar hasil seni cukil dari seniman cukil luar negeri, seperti Wen Peor, Chittaprosad, Li Shaoyan dan beberapa seniman cukil luar negeri lainnya. Tak lupa juga, ada pertunjukan seni grafis dari Jepang yang digelar di Balai Budaya, Jakarta pada 28 November sampai 4 Desember 1963.

Gambar: Tanah untuk Penggarap karya Pudjanadi (source: Fukuoka Art Museum)

Hal ini tak lama  menjadi sebuah tragedi karena peristiwa 30 September 1965. Kita tahu bahwa kejadian pasca 1965 terjadi pembredelan pada segala lini, baik itu buku hingga kesenian yang berhubungan dengan PKI terkhususnya Lekra. Hal ini pun juga berdampak pada seni Cukil. Seni Cukil akhirnya harus mati kala itu juga karena harus menghadapi pembredelan kebudayaan era Orde Baru. Seni Cukil pun benar-benar mati dan tak bisa hidup kembali hingga pada era-era akan reformasi 1998. Seni Cukil kembali hidup melalui kelompok-kelompok Punk dan juga kelompok seni Taring Padi. Seni Cukil pun akhirnya lestari sejak tahun 1998 hingga sekarang dengan mengalami beberapa perubahan obyek implementasi. Pada masa Lekra, Seni Cukil hanya terpampang sebagai seni yang dipajangkan di koran Harian Rakjat, maka pada tahun 1998 hingga sekarang, seni Cukil diimplementasikan lebih variatif semisal dicetak di kaos, poster atau di media lain.

Daftar Pustaka:

  • Kuroda Raiji, et al. 2019. Woodcut Movement in Asia 1930s-2010s: Blaze Carved in Darkness. Fukuoka Art Museum
  • Njoto. 1958. Pers dan Massa. Penerbit N.V. Rakjat
  • Keith Foulcher. 2020. Komitmen Sosial dalam Sastra dan Seni: Sejarah Lekra 1950-1965. Pustaka Pias
  • Antariksa. 2005. Tuan Tanah Kawin Muda: Hubungan Seni Rupa-LEKRA 1950-1965. Cemeti Art Foundation
  • Tempo. 2013. Begini Isi 1-5-1 Lekra. Tempo https://nasional.tempo.co/read/517831/begini-isi-prinsip-1-5-1-lekra
  • Tempo. 2014. Lekra dan Geger 1965. Penerbit KPG

Share:

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on pinterest
Pinterest
Share on linkedin
LinkedIn

Related Posts