Sri Maharaja Rakai Panunggalan (784-804 M): Pembangun Peradaban Maritim Nusantara

Nusantara (Indonesia, red) ini memiliki jutaan kekayaan yang beragam dimana di dalamnya kita akan mendapati banyak kekayaan seperti sejarah, budaya, kesenian, tradisi, makanan khas setiap daerah, pakaian adat, serta hal-hal lainnya yang ada di dalamnya pada Indonesia masa modern hari-hari ini. Kejayaan di laut (secara maritim) dan kejayaan di darat (agraris) tentunya membuat dampak sektor perniagaan dan perekonomian yang telah terjadi dan menopang negara-negara bercorak kerajaan yang pernah berdiri di sini sangat pesat sehingga di kemudian hari wilayah kerajaan-kerajaan tersbeut banyak disinggahi oleh orang-orang asing yang melakukan kontak dagang ke mari. Jawa dan Sumatera (“Swarnadwipa” atau “Swanabhumi” yang memiliki arti sebagai, “Pulau (tanah) emas”) memiliki sejarah yang panjang dan besar sebab kedua wilayah ini telah dipersatukan oleh seorang penguasa dari Dinasti Syailendra di Jawa, yang kemudian berkat jasanya maka peradaban di Jawa dan Sumatera meningkat pesat. Siapakah penguasa Jawa dari Dinasti Syailendra yang berhasil mempersatukan dan membangun peradaban Jawa dan Sumatera itu? 

Oleh: Yeremia Satria Yasobam Elprinda

Dalam Prasasti Nalanda bertarikh 860 M yang merupakan piagam resmi dan dikeluarkan oleh Raja Sriwijaya Sri Maharaja Balaputradewa, disitu dikatakan bahwa ia mengaku sebagai cucu dari Raja Jawa yang disebut sebagai “Syailendrawamsatilaka Sri Wirawairimathana” yang memiliki arti “Permata dari Dinasti Syailendra Sang pembunuh pahlawan musuh” tanpa menyebutkan siapakah nama asli kakek Balaputradewa. Prasasti Nalanda merupakan piagam resmi yang dikeluarkan oleh Raja Swarnabhumi, Sri Maharaja Balaputradewa yang mengadakan hubungan diplomasi dengan Raja Dewa Paladewa dari Kerajaan Pala di India selatan yang berisikan permohonan dari Raja Balaputradewa dari Swarnadwipa (Pulau Sumatera) kepada Raja Dewa Paladewa untuk membebaskan lima desa di Nalanda dari pajak untuk keperluan membangun ashrama dan sebuah biara Buddha di Nalanda. 

Nama kakek Sri Maharaja Balaputradewa yang berasal dari Dinasti Syailendra di Jawa juga ditemukan dalam Prasasti Kalasan dan Prasasti Kelurak. Dalam Prasasti Kalasan bertarikh 778 M ia disebut sebagai “Sri Syailendrawamsatilaka”, dan dalam Prasasti Kelurak bertarikh 782 M ia dikenal sebagai “Wairiwarawiramardhana” dan “Sri Sangramadhananjaya Dharanindra”. Julukan “Wairiwarawiramardhana” dalam Prasasti Kelurak 782 M memiliki arti sebagai “Sang Penumpas musuh-musuh perwira”, sedangkan untuk gelar “Sri Sangramadhananjaya Dharanindra” ini sendiri masih banyak yang mempertanyakan. Siapakah tokoh ini? Apakah ia adalah Raja Medang kedua, Sri Maharaja Tejapurnaparna Panamkarana Dyah Pancapana atau Rakai Panangkaran (746-784 M)? atau justru ia adalah raja ketiga Kerajaan Medang (Mataram Kuno, red), Sri Maharaja Rakai Panunggalan atau Rakai Panaraban yang disebut dalam Prasasti Mantyasih dan Wanua Tnah III yang memerintah 784-804 M? Mari kita bahasa disini. 

Daftar Para Raja Medang (Mataram Kuno) menurut pemberitaan Prasasti Mantyasih 907 M dan Prasasti Wanua Tengah III 908 M.  Source: https://assets.kompasiana.com/items/album/2020/12/05/raja-medang-mantyasih-dan-pwt-iii-5fcb701ad541df444e79dfe3.jpg?t=o&v=770 

Terdapat 3 teori terkait siapakah yang bergelar “Sri Sangramadhananjaya Dharanindra” dan “Wairiwarawiramardhana” ini, yang pertama dipelopori oleh Van Naerssen dimana teorinya menyatakan bahwa Dharanindra dan Rakai Panunggalan adalah dua orang berbeda, dimana Dharanindra adalah atasan dari Rakai Panangkaran, penguasa Medang sebelum Rakai Panunggalan. Van Naerssen berpendapat bahwa Rakai Panangkaran merupakan putera Sanjaya dan juga termasuk ke dalam Wangsa Sanjaya, namun Rakai Panangkaran ini kemudian berhasil dikalahkan oleh Wangsa Syailendra (Dharanindra, red) yang beragama Budha. Teori kedua berasal dari Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, dimana kedua pakar ini menolak adanya Wangsa Sanjaya. Mereka berpendapat bahwa di Mataram Kuno atau Medang hanya terdapat satu wangsa atau dinasti, yaitu Syailendra atau Syailendrawamsa. Untuk sosok Sri Syailendrawamsatilaka dalam Prasasti Kalasan 778 M, dan “Sri Sangramadhananjaya Dharanindra” serta “Wairiwarawiramardhana”  dalam Prasasti Kelurak bertarikh 782 M 4 tahun sesudah keluarnya Prasasti Kalasan, maka kedua pakar bersepakat bahwa “Sri Sangramadhananjaya Dharanindra” yang disebut sebagai “Sri Syailendrawamsatilaka” dan “Wairiwarawiramardhana”  merujuk kepada tokoh Raja kedua Medang atau Mataram Kuno ini, yaitu Sri Maharaja Tejapurnaparna Panamkarana Dyah Pancapana. Teori ketiga dipelopori oleh Prof. Dr. Slamet Muljana, dimana beliau berpendapat bahwa Sri Sangramadhananjaya Dharanindra atau Indra adalah nama asli dari Sri Maharaja Rakai Panunggalan atau Rakai Panaraban (784-804 M), Raja ketiga Mataram Kuno atau Medang; dan gelaran “Sri Syailendrawamsatilaka” dan “Wairiwarawiramardhana” ini juga lebih pantas disematkan kepadanya sebab pada masa ayahandanya berkuasa ia sebagai putra mahkota seringkali diutus untuk melakukan gerakan kampanye penaklukkan untuk melebarkan sayap kekuasaan Kerajaan Medang hingga ke wilayah daratan Asia Tenggara (Nan Yang, red). 

Dari ketiga teori di atas, maka kita akan mencoba untuk melakukan rekonstruksi atas sosok Sri Sangramadhananjaya Dharanindra  ini. Dharanindra atau Indra atau Dyah Dharanindra adalah nama asli dari Rakai Panunggalan atau Rakai Panaraban, Raja Medang ketiga, dimana ia selaku putra mahkota dari Raja Medang kedua Sri Maharaja Tejapurnaparna Panamkarana Dyah Pancapana menjadi seorang pangeran sekaligus putra mahkota yang ditugasi oleh ayahandanya untuk melakukan kampanye penaklukkan demi melebarkan kekuasaan Medang. Melihat kekuasaan Sriwijaya di Swarnadwipa atau Swarnabhumi dan di Jawa yang melemah akibat konflik internal kerajaan, maka Rakai Panangkaran mengutus putra mahkotanya, Dyah Dharanindra, untuk segera berangkat ke Swarnabhumi menaklukkan Sriwijaya. Di sana, setelah berhasil menaklukkan Sriwijaya dan beberapa wilayah lainnya di Swarnadwipa (Sumatera, red), Sriwijaya berhasil dikuasai Medang dan dipimpin oleh Dyah Dharanindra. Tidak berhenti sampai disitu, Dharanindra kemudian meluaskan wilayah penaklukannya hingga mencapai Ligor, wilayah Thailand selatan. Pasukan Jawa yang memiliki kelebihan di bidang agraris dan kekuatan pasukan Sriwijaya yang memiliki kelebihan di bidang maritim dilebur oleh Dyah Dharanindra dan kemudian ia dan pasukannya ini berangkat dan berhasil menaklukkan Ligor pada tahun 775 M serta menerbitkan Prasasti Ligor (dua sisi, sisi A bertarikh 775 M dan sisi B tanpa tahun).  

Baca Juga :   Pemilihan Umum Legislatif DPRD Kabupaten Jember Tahun 1971-1977
Peta yang memperlihatkan ekspansi Sriwijaya di bawah kekuasaan Sri Sangramadhananjaya Dyah Dharanindra.  Source: https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/c/cf/Srivijaya_Empire_id.svg/1200px-Srivijaya_Empire_id.svg.png 

Setelah berhasil menaklukkan Ligor di wilayah Siam (Thailand), 3 tahun setelahnya Dyah Dharanindra yang berkedudukan sebagai Raja Sriwijaya (Sriwijayabhupati) di Swarnadwipa kemudian mengutus guru-guru agamanya untuk menghadap kepada ayahandanya, Sri Maharaja Tejapurnaparna Panamkarana Dyah Pancapana, untuk mendirikan bangunan suci bagi Bhagavati Tara (Bhatari Taradewi atau Dewi Tara), dimana berita ini terdapat dalam Prasasti Kalasan bertarikh 778 M. Dalam Prasasti Kalasan, Dyah Dharanindra ini dikenali dengan gelaran sebagai “Sri Syailendrawamsatilaka” yang memiliki arti “Sang Permata dari Dinasti Syailendra”. 4 tahun setelahnya, Dyah Dharanindra dipanggil pulang ke Jawa untuk persiapan upacara penobatannya. Tahun 782 M saat ia kembali ke Jawa, ia memerintahkan seorang pendeta untuk membangun sebuah bangunan suci dan sebuah arca Boddhisatva Majusri serta memerintahkan Sri Dharmmasetu untuk mengawasi dan menjaga bangunan suci tersebut. Berita ini terdapat dalam Prasasti Kelurak bertarikh 782 M dimana dalam Prasasti Kelurak ini ia dikenal dengan gelaran “Wairiwarawiramardhana”, Sang penumpas (sang pembunuh) musuh-musuh perwira. 

Gelaran Dyah Dharanindra sebagai “Wairiwarawiramardhana” ternyata bukan sebuah julukan atau gelaran omong kosong semata. Setelah ia naik takhta pada tahun 784 M menggantikan kekuasaan ayahandanya di atas takhta Medang dengan gelaran “Sri Maharaja Rakai Panunggalan”, sumber dari negeri Champa menyebutkan bahwa negara mereka dihantam oleh badai serangan para “Perompak laut yang ganas, kejam, dan berkulit gelap” yang diyakini oleh para sejarawan modern sebagai orang-orang Jawa. Kuil Po Nagar di Kauthara, Nha Trang, hancur ketika “Pria-pria ganas, kejam, berkulit gelap yang lahir di negeri lain, yang makanannya lebih mengerikan daripada mayat,, datang dengan kapal . . . mengambil (mukhalingga), dan mereka berhasil membakar kuil….” pada tahun 774 M menurut Prasasti Nha Trang dalam campuran bahasa Sansekerta dan Champa. Penaklukkan Jawa terhadap Champa tidak terhenti sampai disitu. Tahun 787 M berdasarkan pemberitaan dari Prasasti Yan Tikuh, prasasti ini memberitakan bahwa armada Jawa yang menunggangi kapal-kapal perang mereka kembali menyerang Champa. Di Phan Rang, kuil Sri Bhadradhipatlsvara pun dibakar oleh pasukan laut Jawa pada tahun 787 M, ketika Raja Champa Sri Indrawarman berkuasa. Sumber Champa memberitakan bahwa, “Tentara Jawa, yang datang dengan kapal melakukan penyerangan pada tahun 787 M”. Kuil yang runtuh di Panduranga pada tahun 787 M diruntuhkan oleh para penyerang dari Jawa itu.

Tak hanya berhenti sampai disitu, setelah menyerang Champa dengan armada lautnya yang begitu ganas, maka Dyah Dharanindra kembali meluaskan wilayah penaklukannya lagi. Kini ia menarget Kambojapura atau Khmer untuk misi penaklukannya. Nasib Khmer pun sama seperti Champa, dimana mereka pun juga merasakan keganasan dari pasukan laut Medang pimpinan Dyah Dharanindra yang diisi  peleburan dari pasukan Medang (Jawa) dan pasukan Swarnabhumi (Sumatera/Sriwijaya) sampai pada tahun 802 M. Pasukan Medang pun berhasil menawan seorang pangeran bangsa Khmer yang kemudian menjadi tawanan perang mereka di istana Dinasti Syailendra di Jawa, pangeran Khmer itulah yang dikenal dalam sejarah Kamboja dan Jawa sebagai Raja Khmer Sri Jayawarman II yang mana nantinya ia melakukan pemberontakan dan berhasil membebaskan Khmer dari bayang-bayang pengaruh kekuasaan Dinasti Syailendra. 

Melihat nama “Sri Sangramadhananjaya Dharanindra” yang disebutkan dalam Prasasti Kelurak, jika kita melihat unsur-unsur namanya itu, kita akan mendapati bahwa nama yang dipakai oleh Dyah Dharanindra ini memiliki unsur “peperangan dan penaklukkan”. Nama “Dhananjaya” adalah salah satu nama dari pahlawan Pandawa dalam itihasa epos Mahabharata, yaitu Arjuna. Arjuna bersama kusir kereta kudanya, yaitu sepupunya sendiri Sri Krishna adalah pasangan yang serasi dalam perang besar Bharatayudha karena kunci dari kemenangan pasukan Pandawa ada pada sosok Arjuna dan Sri Krishna sendiri. Sedangkan “Indra” atau “Dharanindra” adalah nama dewa hujan, cuaca, dan sekaligus dikenal sebagai “dewa perang” yang berkuasa di kahyangan Amaravati, ayahanda Arjuna menurut epos Mahabharata itu. Dyah Dharanindra sendiri pun selain memperkuat kekuatan armada perangnya, ia pun juga mengembangkan jalur perniagaan antar pulau dan wilayah sehingga kekuasaan Syailendra di Jawa dan Sumatera dapat leluasa menjalankan kegiatan perdagangan dengan wilayah-wilayah lainnya. Oleh karena itulah dalam sejarahnya, ada sejumlah bandar-bandar penting yang dibangun pada masa Sriwijaya hingga Semenanjung Malaya, dan semuanya itu menopang arus perdagangan Sriwijaya dengan wilayah-wilayah di luar Nusantara. 

Sri Maharaja Balaputradewa, raja Swarnabhumi yang mengaku sebagai cucu Raja Jawa dari Dinasti Syailendra dengan gelaran ““Syailendrawamsatilaka Sri Wirawairimathana” dalam Prasasti Nalanda bertarikh 860 M tak lain dan tak bukan adalah cucu dari Sri Sangramadhananjaya Dyah Dharanindra atau Raja Indra. Ayahnya adalah Samaragrawira atau Sri Maharaja Rakai Warak Dyah Manara (804-827 M), putra Dyah Dharanindra yang menikah dengan Putri Tara yang berasal dari Somawamsa (Wangsa Surya) dari Jawa. Samaragrawira memiliki dua orang putra, yaitu Balaputradewa dan Samaratungga. Samaratungga memiliki seorang puri bernama Dyah Pramodawarddhani, keponakan Balaputradewa, yang kemudian dinikahkan dengan Raja Medang keenam Sri Maharaja Rakai Pikatan Dyah Saladu (847-855 M). Teori lama para sejarawan yang menyatakan bahwa saat Balaputradewa kalah perang melawan Rakai Pikatan dan Pramodawarddhani sehingga ia melarikan diri dari Jawa dan kemudian menjadi penguasa di Swarnabhumi dapat kita luruskan disini, bahwa Sri Maharaja Balaputradewa bukan kalah perang sampai melarikan diri ke Swarnabhumi, melainka ia mewarisi kekuasaan dari mendiang kakeknya di Sumatera, Dyah Dharanindra atau Sri Sangramadhananjaya Dyah Dharanindra, sebab pada masa kekuasaan kakeknya itu kekuasaan Medang di Jawa telah berhasil diperluas dan dilebarkan hingga wilayah Swarnabhumi dan beberapa wilayah lain di Semenanjung Malaya. Dan berkat jasa-jasa besar kakeknya itu di masa lalu, Raja Kerajaan Pala di India selatan seperti Dewapala Dewa dalam Prasasti Nalanda akhirnya dapat menjalin hubungan diplomasi dengan Sri Maharaja Balaputradewa untuk membangun sebuah ashrama dan sebuah wihara Buddha di Nalanda. 

Baca Juga :   Mahmilub dan Dilema Etika Letjen Soeharto

DAFTAR PUSTAKA

  1. Buku 

Agus Aris Munandar, Siliwangi, Sejarah, dan Budaya Sunda Kuno, Jakarta: Wedatama Widya Sastra, 2017. 

Aris Tanudirdjo, Daud, Indonesia Dalam Arus Sejarah Jilid II: Kerajaan Hindu-Buddha, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2011.

Boechari, Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2012. 

Groendvelt, W.P, Nusantara Dalam Catatan Tionghoa, Jakarta: Komunitas Bambu, 2009. 

Herwibowo, Yudi, Pandaya Sriwijaya Dendam dan Prahara di Bhumi Sriwijaya, Yogyakarta: Bentang Pustaka, 2009. 

Slamet Muljana, Sriwijaya, Yogyakarta: LKiS, 2006.

George Coedes dkk, Kedatuan Sriwijaya Kajian Sumber Prasasti dan Arkeologi, Jakarta: Komunias Bambu, 2014. 

Tim Penulisan Sejarah Nasional, Sejarah Nasional Indonesia Jilid II: Zaman Kuno, Jakarta: Balai Pustaka, 2010. 

  1. Makalah, Karya Ilmiah, Skripsi, Tesis, dan Disertasi

Arlo Grifits, “The Sanskrit Inscription of Śaṅkara and Its Interpretation in the National History of Indonesia”, dalam Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde Vol. 177 (2021) 1–26, diunggah pada hari Jumat, 6 Juni 2021, pukul 13.23 WIB.  

Anton O. Zakharov, “The Sailendras Reconsidered”, dalam “Nalanda – Sriwijaya Centre Working Paper Series No. 12 (Agustus 2012), diunggah pada hari Jumat, 6 Februari 2021, pukul 14. 15 WIB. 

Aulia Izza, Nainunis, “Prasasti-Prasasti Sapatha Sriwijaya: Kajian Panoptisme Foucault “ dalam “Titian: Jurnal Ilmu Humaniora, Vol. 03, No. 01, Juni 2019”, diunggah pada hari Sabtu, 5 Juni 2021, pukul 14.23 WIB. 

Asih Putrina Taim, Eka, “Studi Kewilayahan Dalam Penelitian Peradaban Sriwijaya”, dalam “KALPATARU, Majalah Arkeologi Vol. 22 No. 2, November 2013”, diunggah pada hari Sabtu, 5 Juni 2021, pukul 15.28 WIB. 

Budi Utomo, Bambang, “Arca Berlanggam Syailendra di luar Tanah Jawa” dalam “AMERTA, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Vol. 31 No. 1, Juni 2013, diunggah pada hari Jumat, 6 Juni 2021, pukul 14.48 WIB. 

___________, “Keluarga Śyailendra: Penyebar Agama Buddha Di Belahan Barat Nusantara”, makalah ini disampaikan dalam Festival Seni dan Budaya Buddhist II 2010 di Surabaya, diunggah pada hari Jumat, 6 Juni 2021, pukul 18.37 WIB. 

Hariani Santiko, “Dua Dinasti Di Kerajaan Mataram Kuna: Tinjauan Prasasti Kalasan”, Departemen Arkeologi Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Univeritas Indonesia dalam “JURNAL SEJARAH DAN BUDAYA, Tahun Ketujuh, Nomor 2, Desember 2013, diunggah pada hari Sabtu, 5 Juni 2021, pukul 15.38 WIB

Kabib Sholeh, “Analisis Prasasti Talang Tuo Peninggalan Kerajaan Sriwijaya Sebagai Materi Ajar Sejarah Indonesia Di Sekolah Menengah Atas”, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Program Studi Pendidikan Sejarah Universitas PGRI Palembang, diunggah pada hari Sabtu, 5 Juni 2021, pukul 15.31 WIB. 

Wurjantoro, Edhie & Djafar, Hasan, “Prasasti Wanua Tengah III dan Masalah Dinasti Sanjaya-Sailendra”, Jakarta: Penelitian ini dibiayai oleh Proyek OFF 1995/1996 Fakultas Sastra Universitas Indonesia (FSUI), 1996. 

  1. Sumber-sumber Internet

Artikel berjudul “Ekspedisi Mataram Kuno ke Luar Jawa” karya Risa Herdahita Putri dalam https://historia.id/kuno/articles/ekspedisi-mataram-kuno-ke-luar-jawa-PNep8 , diunggah pada hari Sabtu, 5 Juni 2021, pukul 16.57 WIB. 

Artikel berjudul “Ekspansi Medang ke Asia Tenggara” dalam https://www.kompasiana.com/alvelino/5831f39ad87a6196367b9407/ekspansi-medang-ke-asia-tenggara , diunggah pada hari Sabtu, 5 Juni 2021, pukul 16.00 WIB. 

History of Champa” dalam https://en.wikipedia.org/wiki/History_of_Champa , diunggah pada hari Sabtu, 5 Juni 2021, pukul 17.01 WIB. 

Prasasti Yang Tikuh” dalam artikel berjudul “Peninggalan Kebudayaan Pada Masa Pra-Aksara di Indonesia”, https://www.belajarsosial.com/2015/08/peninggalan-kebudayaan-pada-masa.html, diunggah pada hari Sabtu, 5 Juni 2021, pukul 17.10 WIB. 

Artikel berjudul “Mataram Kuno: Maharaja Pembunuh Musuh yang Sombong, Serangan Armada Laut Jawa dan Penaklukan Kamboja” dalam https://www.kompasiana.com/jatikumoro/605086238ede482c534054b3/mataram-kuno-maharaja-pembunuh-musuh-yang-sombong-serangan-armada-laut-jawa-dan-penaklukan-kamboja , diunggah pada hari Sabtu, 5 Juni 2021, pukul 17.16 WIB. 

Artikel berjudul “Sāng Dharanindra (767M-792 M) Raja Penakluk Indochina, Penegak Kedaulatan Maritim Nusantara” dalam https://ikilhojatim.com/sang-dharanindra-767m-792m-raja-penakluk-indochina-penegak-kedaulatan-maritim-nusantara/ , diunggah pada hari Sabtu, 5 Juni 2021, pukul 17.18 WIB. 

Artikel berjudul “Rakai Panunggalan: Mengenal Kerajaan Medang i bhumi Mataram” dalam https://www.nusapedia.com/2017/11/rakai-panunggalan.html , diunggah pada hari Sabtu, 5 Juni 2021, pukul 17.21 WIB. 

Dharanindra” dalam https://id.wikipedia.org/wiki/Dharanindra, diunggah pada hari Sabtu, 5 Juni 2021, pukul 17.23 WIB. 

“Rakai Warak” dalam https://id.wikipedia.org/wiki/Rakai_Warak , diunggah pada hari Sabtu, 5 Juni 2021, pukul 17.25 WIB. 

“Samaratungga” dalam https://id.wikipedia.org/wiki/Samaratungga , diunggah pada hari Sabtu, 5 Juni 2021, pukul 17.30 WIB. 

Share:

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on pinterest
Pinterest
Share on linkedin
LinkedIn

Related Posts