Buruh di Perkebunan Sumatera Timur

Keberadaan kuli kontrak di Sumatera Timur memberikan dampak dari segi sosial dan ekonomi. Dalam hal sosial terjadi kesenjangan sosial antara para kuli kontrak dengan para pengusaha perkebunan.

Oleh Alhidayath Parinduri 

Secara geografis, Sumatera Timur terletak di antara garis khatulistiwa dan garis Lintang Utara 40, berbatasan dengan Aceh di barat laut, dan Tanjung Cina di Selat Sunda bagian Selatan. Sumatera Timur mempunyai iklim pantai tropik yang sifat iklim mikronya dipengaruhi oleh topografi seperti daerah-daerah tanah tinggi “Tumor Batak”, diantaranya dataran tinggi Karo, pegunungan Simalungun, dan pegunungan Habisaran.

E:\scan\9.jpg

Peta Sumatera Timur (Sumber: Kartografi Indonesia Jilid 1, No Inventaris KG. 1, No.1312, ANRI

Daerah Deli di dataran rendah maupun di bukit–bukit kondisi tanahnya sangat subur. Kesuburan ini disebabkan oleh endapan lumpur yang dikeluarkan dari letusan gunung berapi dari Bukit Barisan. Daerah Deli tidak pernah mengalami musim kering yang terlalu panjang dan juga tidak pernah mengenal musim hujan yang terlalu panjang. Keadaan ini memungkinkan tumbuh suburnya tanaman–tanaman.

Yasmis yang mengutip dari Muhammad Said, mengungkapkan bahwa pembukaan perkebunan pertama di Deli telah dilakukan oleh seorang Arab bernama Syaid Abdullah Ibn Umar Bilsagih. Namun, karena tidak cukup modal ia mengajak saudagar-saudagar Belanda untuk membeli tanah kemudian menanami dengan tembakau di daerah Deli. Ia meyakini bahwa, apabila saudagar itu menanamkan modalnya maka keuntungan besar akan diperoleh.

Informasi ini menarik perhatian Firma Van Den Arend yang berkedudukan di Surabaya. Kemudian, diutuslah Jacobus Nienhuys untuk berangkat ke tanah Deli. Saat itu, Sumatera Timur masih merupakan daerah hutan belantara yang dihuni oleh binatang buas. Namun, melihat potensi suburnya tanah Sumatera Timur memberikan keyakinan kepada Nienhuys bahwa usaha perkebunan yang dikembangkan akan berhasil. Keberhasilan menjadikan Sumatera Timur atau Deli sebagai lahan perkebunan skala besar juga tidak terlepas dari pemberlakuan Undang-Undang Agraria tahun 1870. 

Sesampainya di Deli, Nienhuys langsung menemui Sultan Deli dan mengutarakan maksud dan tujuan kedatangannya. Sultan Deli sepakat dengan rencana pembukaan lahan perkebunan di Deli dan kemudian memberikan konsesi tanah selama 99 tahun yang letaknya di antara Sungai Deli dan Sungai Percut. Ia pun memulai pembukaan lahan perkebunan tembakau di daerah tersebut.

Kemudian, pada 1864 Sultan Deli memberikan Nienhuys tanah sebanyak yang dia inginkan tanpa meminta uang sewa untuk ditanami tembakau. Nienhuys memperoleh tanah seluas 4000 bau. Usahanya pun mengalami perkembangan pesat pada tahun 1865. Saat itu, panen tembakau menghasilkan 189 bal tembakau dengan mutu baik dan laku terjual dengan harga tinggi di pelelangan di Rotterdam dengan harga 149 sen per ½ kilogram.

Sejak saat itu, Deli dikenal sebagai ’Dollar Land’ dengan predikat sebagai penghasil daun pembungkus cerutu terbaik di dunia yang dapat mengalahkan tembakau dari Brazil dan Cuba. Keberhasilan Nienhuys ini disambut Sultan Deli dengan memberikan kembali konsesi tanah di Kampung Klumpang seluas 2.000 bau. Dilanjutkan pada tahun 1868 dengan memberi konsesi tanah dari daerah Percut hingga ke Deli Tua. Keuntungan dari perkebunan pun juga meningkat hingga lebih dari 100%, bahkan pada tahun 1869 keuntungan mencapai hampir 200%.

Nienhuys, kemudian berpikir untuk membentuk sebuah perusahaan demi memperlancar usaha perdagangannya. Dengan bantuan perusahaan dagang Belanda, yaitu Nederlandsche Handel Maatschappij (NHM) pada tanggal 28 Oktober 1869 Jacobus Nienhuys, P.W. Janssen, dan C. G. Clemen, membentuk suatu perseroan terbatas yang dikenal dengan nama Deli Maatschappij dengan P.W. Janssen sebagai direkturnya. Secara resmi perusahaan ini berdiri pada tanggal 1 November 1869 dengan akta tanggal 12 Januari 1870.

Baca Juga :   Perlawanan Serikat Buruh Cetak Typografenbond Semarang di Tahun 1920

Pembukaan lahan yang semakin masif, membutuhkan tenaga kerja yang lebih banyak lagi demi menjaga kelangsungan perusahaan. Pengerahan tenaga kerja ditangani oleh beberapa biro pencari tenaga kerja. Biro Imigrasi bernama J. C. de Jongh di Batavia adalah milik seorang makelar bernama Herman A. Lefebre yang juga menawarkan tenaga kerja melalui iklan di surat kabar. Kantor Imigrasi J. C. de Jongh dalam iklannya menyediakan pekerja kontrak perempuan sebanyak 25 orang dan 15 orang laki-laki.

Pada masa awal pembukaan lahan pendatangan pekerja Cina ke perkebunan Deli merupakan solusi untuk mengatasi kesulitan pencarian pekerja. Dimasa selanjutnya, untuk mengantisipasi terjadi kekurangan tenaga kerja. Para pengusaha berpikir untuk mendatangkan tenaga kerja lokal dari daerah Jawa. Pendatangan pekerja Jawa bukan tanpa alasan, sebab mereka terampil dalam bidang pertanian ataupun perkebunan dan mereka termasuk pekerja yang rajin dan tahan kerja.

Pekerja-pekerja yang didatangkan diberikan sistem kerja sebagai pekerja kontrak. Sehingga dikenal sebutan sistem kuli kontrak atau bisa disebut juga sebagai buruh kontrak. Sistem ini mewajibkan para pekerja harus menandatangani kontrak biasanya hanya tiga 3 (tiga) tahun sesuai dengan perjanjian yang ditentukan, dengan upah yang telah ditentukan pula. Sistem ini mengatur tentang semua biaya yang dikeluarkan untuk mendatangkan para pekerja dari tempat asal ke tempat mereka  dipekerjakan.

Para Pekerja Perempuan Sedang Menyortir Tembakau (Sumber: Koleksi foto ANRI, Koninklijk Instituut voor de Tropen (KIT) 290/46)

Kontrak antara pekerja dengan pengusaha perkebunan tersebut tertuang dalam sebuah peraturan. Peraturan ini merupakan sebuah peraturan pertama yang dikeluarkan di Buitenzorg (Bogor) pada 13 Juli 1880. Peraturan ini dikenal dengan sebutan Koeli Ordonantie. Koeli Ordonantie pertama ialah No. 133 tahun 1880 berisi peraturan tentang hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja yang berasal dari tempat lain di wilayah Sumatera Timur.

Selain memberikan tuntutan kepada kuli-kuli, peraturan ini memberikan perlindungan kepada pengusaha perkebunan terhadap kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi, misalnya kuli-kuli yang melarikan diri. Dicantumkan juga peraturan yang berkaitan dengan kewajiban pengusaha untuk menjadi majikan yang baik bagi para pekerjanya. Koeli Ordonantie juga mengatur tentang sanksi-sanksi yang diterima oleh kuli dan pengusaha apabila mereka melanggar aturan yang berlaku. 

Keberadaan kuli kontrak di Sumatera Timur memberikan dampak dari segi sosial dan ekonomi. Dalam hal sosial terjadi kesenjangan sosial antara para kuli kontrak dengan para pengusaha perkebunan. Selain itu, kehidupan sosial masyarakat di perkebunan sangat bebas. Apabila telah memasuki masa gajian, istilah malam gajian pun tak luput dari kegiatan. Pada malam itu mandor dan para pekerja menikmati kegiatan perjudian hingga pelacuran. Kondisi seperti ini sengaja diciptakan agar perempuan tetap tersedia dan dapat memberikan pelayanan seksual. Semua itu dilakukan agar para pekerja laki-laki tetap bertahan hingga kontraknya habis.

Sementara itu, dari sisi ekonomi dapat dilihat upah rendah menjadi persoalan utama bagi para pekerja. Penerimaan upah yang rendah menyebabkan keadaan sosial ekonomi para pekerja sangat terpuruk. Kehidupan mereka jauh lebih miskin dibandingkan ketika mereka masih berada di daerah asalnya. Upah yang rendah menyebabkan para pekerja memenuhi kebutuhan hidup sehari-harinya dengan berhutang di kedai-kedai yang dipersiapkan oleh para Tandil

Para pekerja juga tidak selalu menerima upah dalam bentuk uang, kadang-kadang tanpa sepengetahuan mereka, seluruh atau sebagian upah dialihkan dalam bentuk estate-bons (kupon perkebunan). Hal tersebut menjadi kerugian tersendiri bagi para pekerja, karena mereka hanya bisa membelanjakan kupon tersebut di kedai-kedai yang ada di sekitar perkebunan. 

Baca Juga :   Kapitulasi Kalijati: Berakhirnya Kekuasaan Belanda di Hindia Belanda

Kondisi yang demikian juga diterima para pekerja perempuan. Mereka menerima upah yang bahkan lebih rendah dari upah pekerja laki-laki. Apabila pekerja laki- laki menerima upah 6 dollar per bulan, maka pekerja perempuan hanya menerima 3 dollar. Mereka hanya menerima 2,20 dollar per bulan untuk semua kebutuhan hidupnya, setelah dipotong uang panjar 0,50 dollar, dan harga cangkul 0,30.

Daftar Referensi 

Allan Akbar, Perkebunan Tembakau dan Kapitalisasi Ekonomi Sumatera Timur 1863-1930, Jurnal Tamaddun, Vol. 6 (2): 61-98, 2018. 

Dian Mariana Sinaga, Aktivitas Perdagangan Deli Maatschappij Di Sumatera Timur Tahun 1870-1930, Jurnal Avatara, Vol. 6 (1): 257-273, 2018. 

Iyos Rosidah, Eksploitasi pekerja perempuan di Perkebunan Deli Sumatera Timur 1870-1930, Tesis S-2, Semarang: Universitas Diponegoro 2012.

Mohammad Said, Koeli Kontrak Tempo Doeloe. Dengan Derita dan Kemarahannya, Medan: Waspada, 1977.

Myint, Hla, The Economi of the Developing Countries, New york: F. A Prager, 1965.

Pelzer, Karl J, Toean Keboen dan Petani, Politik Kolonial dan Perjuangan Agraria di Sumatera Timur, 1863-1947, Jakarta: Sinar Harapan, 1985. 

Stoler, Aan Laura, Kapitalisme dan Konfrontasi di Sabuk Perkebunan Sumatera, 1870-1979, Yogyakarta: Karsa, 1995.

Yasmis, Kuli Kontrak di Perkebunan Tembakau Deli-Sumatera Timur Tahun 1880-1915, Tesis S-2, Depok: Universitas Indonesia, 2008. 

Share:

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on pinterest
Pinterest
Share on linkedin
LinkedIn

Related Posts