Rijsttafel: Kuliner Hasil Kebudayaan Indis

Rendang, nasi goreng, mie goreng, soto, dan berbagai kuliner lainnya membuat Indonesia kaya akan keberagaman kulinernya. Ini dapat terjadi karena adanya pengaruh citarasa dari berbagai negara, khususnya Tionghoa, India, Arab, dan Eropa. Eropa pada khususnya dikenal sebagai negara yang menjajah negara Indonesia selama ratusan tahun. Hal tersebut lambat laun membuat adanya suatu budaya percampuran antara budaya pribumi dengan budaya Eropa. Percampuran kedua budaya tersebut dinamakan dengan istilah “kebudayaan Indis”.

Oleh Muhammad Verrell Fassa

Kebudayaan Indis merupakan suatu kebudayaan yang berasal dari percampuran antara budaya pribumi dengan Eropa. Orang Belanda yang nantinya menjadi penguasa di Indonesia, lambat laun mempengaruhi gaya hidup yang ada di sekitarnya. Selain gaya hidup tersebut, terdapat tujuh unsur universal kebudayaan, yaitu bahasa, peralatan dan perlengkapan hidup manusia, mata pencaharian hidup dan sistem ekonomi, sistem kemasyarakatan, kesenian, ilmu pengetahuan dan religi juga terpengaruh dari budaya tersebut. Tujuh unsur universal budaya inilah yang dinamakan kebudayaan Indis yang berasal dari percampuran unsur budaya belanda dengan Pribumi. 

Percampuran ini pun terjadi karena pada saat itu, orang-orang Belanda yang tinggal di daerah Jawa, khususnya yang berada di hilir sungai menganggap bahwa rumah-rumah mereka tidak nyaman dan sehat karena dibangun di atas bekas rawa-rawa. Hal ini membuat mereka berpindah tempat ke pedalaman Jawa karena menganggap daerah tersebut lebih nyaman dan sehat. Mereka pun akhirnya membuat suatu pemukiman baru dan mendirikan rumah beserta peralatan lainnya yang sesuai dengan keadaan alam mereka. Mereka pun harus mengambil unsur-unsur budaya setempat.

Budaya tersebut makin meluas ketika adanya larangan membawa istri dan mendatangkan perempuan dari Belanda ke Hindia Belanda. Hal ini membuat para pejabat lelaki Belanda menikahi para penduduk setempat. Pernikahan diantara keduanya melahirkan anak-anak yang berdarah campuran. Nantinya, ketika Terusan Suez dibuka pada tahun 1870, hal tersebut membuat jarak antar Belanda dan Indonesia semakin dekat yang membuat banyak perempuan dari Belanda datang ke Indonesia yang nantinya memperluas percampuran budaya. 

Perubahan Pola Makan 

Pada abad ke-19, kesejahteraan orang-orang Eropa di koloninya meningkat. Hal ini turut mempengaruhi kondisi kehidupan sosial budaya sekitarnya. Seperti yang sudah dikatakan sebelumnya, banyak laki-laki di Hindia Belanda, membutuhkan kehadiran istri untuk mengurus mereka. Mereka pun banyak yang mengawini perempuan pribumi. Salah satu alasan mengapa mereka memerlukan perempuan di dalam kehidupannya, adalah pemenuhan kebutuhan biologis mereka, yaitu makan. 

Budaya makan orang-orang Eropa di Hindia Belanda jelas berbeda dengan yang ada di Eropa. Di Hindia Belanda sendiri pada saat itu, bahan-bahan makanan Eropa masih terbilang sangat mahal karena jumlahnya yang juga minim. Akhirnya, karena sudah terbiasa hidup dengan istrinya, yaitu orang pribumi, maka lambat laun mereka juga terbiasa dengan makanan pribumi. Para perempuan pribumi yang menikah dengan orang-orang Eropa pada masa itu dikenal dengan nama nyai.

Kehidupan dari orang Belanda yang bisa dikatakan kelas bawah dan menengah beda dari para pejabat tinggi Belanda. Dalam kehidupan rumah tangganya, para pejabat ini suka dengan hal-hal yang mewah atau dapat dikatakan “pracht en praal” (kebesaran dan kemegahan). Ini pun tercermin dalam hal makanan mereka. Di kehidupan para pejabat ini, istri mereka juga lebih bergantung pada pembantu rumah tangga dalam hal masakan karena mereka cenderung lebih malas karena kehidupan mereka yang sudah mewah

Baca Juga :   Lumbung Desa Dalam Dinamika Pertanian Nusantara

Alhasil, ini berdampak kepada pola makan dan hidangan yang mereka makan setiap hari. Juru masak mereka selalu memasukan makanan pribumi dan nasi ke dalam hidangan mereka. Hal tersebut lama-lama membuat palet mereka berubah dan sekarang menjadi kebiasaan selera makan keluarga Belanda. Orang Belanda yang selalu menganggap kebiasaan pribumi sebagai tindakan rendahan sekarang lambat laun malah menyerap kebiasaan-kebiasaan mereka. 

Kebiasaan makan nasi tersebut sekarang menjadi budaya dari kehidupan orang-orang Eropa. Mereka menamainya rijsttafel yang berarti nasi yang sudah dimasak (rijst) dan “meja” yang merupakan kiasan dari “hidangan” (tafel). Pasca dibukanya Terusan Suez, membuat banyak orang Eropa ke Hindia membuat rijsttafel semakin populer dan juga menyebabkan perubahan-perubahan kehidupan sosial budaya di Hindia.

Foto Keluarga di depan Rijsttafel (Sumber: Collectie Stichting Nationaal Museum van Wereldculturen)

Karena hal tersebut, sekarang menu-menu Eropa disuguhkan kembali. Meski begitu, kebanyakan dari gaya hidup mereka sekarang seperti kombinasi dari kebiasaan Pribumi dan Eropa. Seperti cerita Mina Kruseman dalam novel Een Huwelijk in Indie. Ia menceritakan mengenai kebiasaan makan orang-orang Belanda sehari-harinya. Hidangan utama mereka tetap nasi yang disertai berbagai hidangan lainnya seperti kari, sayuran, daging, dan sambal. Sarapan orang-orang Eropa biasanya terdiri dari menu daging dan telur. Lalu pada siang hari mereka makan nasi dengan kari, telur, dan sajian daging dan akhirnya pada malam hari mereka akhirnya menyantap hidangan Eropa. 

Perkembangan Rijsttafel

Bertambahnya orang-orang Eropa yang datang ke Hindia Belanda, khususnya para perempuan Eropa, membuat kehidupan masyarakat Eropa menjadi lebih eksklusif dari kelas sosial lainnya. Rijsttafel yang semula hanyalah kebiasaan makan orang-orang Belanda yang kurang lebih sama dengan para pribumi, sekarang levelnya pun naik. Hal ini merupakan suatu usaha agar mereka dapat membedakan antara kebiasaan orang pribumi dengan Belanda terkait status sosialnya.

Alasan tersebut menjadi gejala umum dari budaya Indis. Di persoalan mengenai makanan, harus ada perbedaan dalam status sosial. Yang tadinya mereka makan hanya menggunakan tangan dan tidak menggunakan piring, sekarang berbeda karena orang-orang Eropa mulai menggunakan sendok, garpu, piring, dan peralatan makan lainnya. Ini membuat adanya suatu ketimpangan sosial yang terjadi karena secara tidak langsung, orang Belanda juga memperkenalkan unsur-unsur budaya Barat dalam kehidupan pribumi. J. Hageman mengungkapkan bahwa rijsttafel hanya sekedar wujud dari diskriminasi budaya, sama seperti budaya Indis lainnya. 

Rijsttafel sekarang menjelma sebagai perjamuan istimewa dalam kehidupan sehari-hari Belanda. Masih mengenai status sosial, kini mereka mengkelompokkan orang-orang pribumi ke dalam beberapa kategori. Ada yang menjadi pekerja rendahan atau pesuruh (jongos), pelayan rumah (babu), dan juru masak. Dalam jamuan makan rijsttafel, biasanya mereka mengerahkan terlalu banyak pelayan pribumi. Hal tersebut yang menjadikan adanya sebuah kesan “eksploitasi pelayanan”

Penyajian Rijsttafel di Restoran dalam Hotel Homann, Bandung (Sumber: KITLV 182437)

Dalam hal pelayanan, mereka menjadi hal penting karena keberadaan mereka lah yang dapat membuat atau mewujudkan jamuan makan rijsttafel tersebut. Ketergantungan kepada para pelayan sama seperti keseharian hidup orang Belanda. Sebagian besar dari mereka memiliki pelayan rumah tangga. Penekanan terhadap hal inilah yang merupakan pencitraan atas perbedaan kelas dan sosial dan juga seperti manifestasi dari pengerahan budak-budak seperti pada masa sebelumnya. 

Rijsttafel bagi Kelompok Elite Pribumi

Dalam perkembangannya, sekitar awal abad ke-20. Rijsttafel kini terkenal luas sampai ke kelompok sosial lain. Kelompok sosial ini merupakan kelompok-kelompok sosial atas yang terdiri dari pejabat kolonial, pangreh praja Pribumi, dan para opsir Tionghoa. Kelompok elite pribumi seperti priyayi, mengikuti kebiasaan mereka karena berharap agar status sosial mereka bisa naik. Mereka menanamkan nilai-nilai kebudayaan mereka agar mereka bisa terlihat eksklusif seperti orang-orang Belanda. Namun, hal ini malah membuat budaya-budaya Eropa yang masuk ke kehidupan para elite pribumi. 

Baca Juga :   Sejarah Kesenian Sintren di Wilayah Pantai Utara Jawa

Rijsttafel di Kesultanan Sumbawa

(Sumber: KITLV 30599)

Pengaruh rijsttafel terhadap mereka dapat kita lihat dari alat makan Eropa serta hidangan-hidangan Jawa dan Eropa dalam makanan sehari-hari mereka. Pembaratan terhadap elite pribumi menjadi salah satu pengaruh dari adanya Politik Asosiasi yang dijalankan pemerintah. Hal tersebut membuat berubahnya pandangan dan sikap hidup masyarakat berubah. Semakin luas, interaksi sosial budaya yang terjadi membuat proses pembaratan tidak dapat terelakkan.

Meski rijsttafel sendiri yang hidangannya lebih banyak terdapat hidangan pribumi. Namun, mereka sendiri lebih mengedepankan gaya hidup seperti orang Belanda. Pandangan tersebut tidak dapat dipisahkan dari mewahnya proses jamuan makanan yang ada. Kebiasaan makan tersebut tidak lagi hanya sebuah pemenuhan kebutuhan biologis. Tetapi, hal tersebut menjadi cerminan dari gaya hidup dalam lingkup masyarakat kolonial.

Referensi:

Rahman, Fadly. 2011. Rijsttafel: Budaya Kuliner di Indonesia Masa Kolonial 1870-1942. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Rahman, Fadly. 2016. Jejak Rasa Nusantara: Sejarah Makanan Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Soekiman, Djoko. 2011. Kebudayaan Indis; Dari zaman Kompeni sampai Revolusi. Depok: Komunitas Bambu

Share:

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on pinterest
Pinterest
Share on linkedin
LinkedIn

Related Posts