Awal Ketegangan Abangan dan Putihan

Religiusitas Jawa telah mengalami polarisasi pada paruh kedua abad ke-19. Gerakan pemurnian Islam timbul akibat meningkatnya ibadah haji ke Mekkah dan juga karena bertemunya banyak pedagang Arab dengan masyarakat lokal di pesisir utara Jawa.  Sebagian dari mereka yang tidak mengalami dua hal tersebut kemudian enggan untuk bergabung mengikuti ajaran Islam ala Arab, Islam puritan. 

Oleh: Rahman Cahaya Adiatma

Polarisasi Islam-Jawa kemudian memunculkan sentimen bahwa mereka yang taat dengan ajaran Islam disebut sebagai putihan, sedangkan mereka yang menolak ketaatan dan tetap berpegang kepada mistisme Jawa disebut sebagai abangan.

Tensi memanas saat kedua unit religi ini saling berebut atensi. Dalam Polarizing Javanese Society (2007), M. C. Ricklefs mengatakan, mereka yang anti terhadap Islam memproduksi sejumlah karya sastra. Putihan juga pada saat itu melakukan “propaganda” reformasi Islam dengan membangun jaringan pendidikan Quran berbasis pesantren.

Meskipun perdebatan yang terjadi antara abangan dengan putihan tidak selalu muncul dalam bentuk tesis dan anti-tesis, jalan yang ditempuh dari keduanya sangat mencerminkan tujuan untuk saling menentang satu sama lain.

Para Haji dan Pesantren

Sama seperti kebanyakan wilayah lain di dunia, Islamisasi di Nusantara dapat terbuka karena jalur perdagangan. Pelabuhan yang ada di berbagai wilayah menjadi pintu gerbang masuknya agama Islam kepada masyarakat pada waktu itu. 

Simuh dalam Sufisme Jawa  menjelaskan bahwa Islamisasi di Jawa pada awalnya dilakukan dengan pendekatan kompromistis dimana agama ini menyebar melalui masyarakat pedesaan di pesisir dengan bimbingan para sufi dan guru-guru tarekat sehingga kemudian tercipta tradisi pesantren baru yang menandingi tradisi agung di lingkungan istana (hlm. 17—18; 21). 

Yang menjadi penting dari proses Islamisasi awal Jawa adalah tidak dipaksakannya aspek kemurnian Islam. Masyarakat masih tetap sedikit banyak melaksanakan ritus dan laku hidup yang sangat kental dengan unsur animisme.

Islamisasi yang berbanding terbalik dari pendekatan awalnya kemudian mulai terjadi pada abad 19. Gerakan revivalisme Islam oleh kelompok Wahabi di tanah Arab kemudian mempengaruhi berubahnya sifat Islamisasi di Jawa. Dalam konteks ini, para haji kemudian memegang peranan penting terhadap perubahan tersebut.

Para haji menjadi agen dari pemurnian Islam dan menjauhkan diri dari masyarakat Jawa kebanyakan yang masih menyampur-adukkan Islam dengan animisme. Meningkatnya jumlah haji dari periode pertengahan hingga akhir abad 19 membuat gerakan pemurnian semakin meluas dan berjejaring.

Ilustrasi pelaksanaan ritus slamatan sebagai simbol kelompok abangan di Surabaya pada sekitar awal abad 20 (Sumber foto adalah digital collections Leiden University Libraries (KITLV 12046)

Kyai Haji Ahmad Rifa’i menjadi salah satu haji yang melakukan gerakan resistensi melawan bentuk sinkretik Islam-Jawa. Ia menghabiskan waktu di Mekkah antara 1833 hingga 1841 kemudian setelahnya kembali ke Jawa membangun pesantren. 

Ricklefs mengatakan, pendidikan merupakan strategi kunci bagi Rifa’i. Dirinya menulis sejumlah karya dalam bahasa Jawa untuk menyebarkan pemahaman puritan Islam yang dia yakini sebagai sebuah kebenaran. Melalui pesantren, Rifa’i akhirnya juga membentuk jaringan Islam puritan menentang kaum abangan.

Hal yang sama seperti kasus Rifai’i pun terjadi kepada lebih dari satu-dua orang haji, bahkan jumlahnya sangat banyak. Melonjaknya jemaah haji ekuivalen dengan meningkatnya jumlah alim ulama beserta pesantren. 

Pada akhir abad 19 dimana tren haji kian populer, Rifa’i dengan para haji lainnya sudah siap menyambut gelombang baru jaringan pemurnian Islam.

Strategi Surat Kabar

Kelompok putihan tidak hanya bergerak dalam medium pendidikan pesantren. Melalui kajian surat kabar, Ricklefs mencatat bahwa gerakan revivalisme Islam ini juga terjadi dalam ranah pers dengan munculnya beberapa tulisan yang bernada keras untuk menegakkan syariat.

Baca Juga :   Kebayanisasi Tien Soeharto di Masa Orde Baru

“Ortodoksi berorientasi syariat kadang-kadang bahkan menyelinap ke halaman korespondensi di surat kabar Jawa Bramartani, yang secara umum sebenarnya merupakan tempat yang tidak simpatik untuk ide-ide semacam itu,” tulis Ricklefs (hlm. 72).

Mengutip Bramartani edisi 25 Februari 1869, Ricklefs menerangkan ada seorang kontributor yang mengkritik praktik sinkretik dalam konteks syariat Islam. Ia keberatan terhadap tradisi sidhekah maleman yang dilakukan oleh beberapa orang Jawa pada beberapa malam tertentu di bulan puasa. Baginya, hal tersebut tidak sesuai dengan ajaran Islam.

Contoh lain yang diberikan Ricklefs ialah dalam Bramartani edisi 7 Oktober 1869, seorang kontributor yang menamai dirinya sebagai Tiyang Pekir mengutuk banyaknya anak muda yang masih memelihara anjing, bermain kartu, dan menonton tarian perempuan padahal mereka pun melaksanakan salat, datang ke masjid, dan membaca Quran.

Sayangnya, tidak diketahui secara pasti apakah arus perlawanan kelompok putihan dalam medium pers ini dilaksanakan secara terorganisir atau tidak. Yang pasti, munculnya serangan kepada tradisi sinkretik Islam-Jawa dalam surat kabar menandai keragaman cara yang dilakukan kelompok putihan untuk menentang abangan.

Melawan Islam dengan Sastra

Selagi kelompok putihan masuk dalam pers, abangan mulai bergerak ke ranah publikasi. Tiga karya sastra diterbitkan pada dekade 1870an berjudul Babad Kedhiri, Suluk Gatholoco, dan Serat Dermagandhul

Pengarang dari ketiga karya sastra ini tidak diketahui secara pasti identitasnya. Namun, sejumlah sejarawan seperti Ricklefs (hlm. 182) dan Denys Lombard bersepakat bahwa asal-usul dari ketiganya berasal dari suatu lingkungan priyayi yang ingin tetap dekat dengan Hindu-Jawa serta menolak Islam.

Sejumlah karya sastra ini kemudian menjadi sangat kontroversial akibat cerita yang terdapat di dalamnya. Unsur-unsur vulgar serta kalimat-kalimat sinis ditampilkan untuk mengolok-olok Islam.

Pada Babad Kedhiri, misalnya, Ricklefs menjelaskan bahwa karya ini menceritakan proses Islamisasi sebagai sebuah tragedi bagi orang Jawa. Di dalam karya ini, dijelaskan bahwa beralihnya Jawa dari agama Buddha ke Islam adalah sebagai sebuah cerita yang ingin disembunyikan oleh para wali Islam pertama yang membakar semua kitab kuno.

Dalam Suluk Gatholoco, tokoh utama yaitu Gatholoco yang memiliki wujud sebuah penis diceritakan sebagai petualang yang mengembara ke berbagai pesantren bersama seorang kawan bernama Dermagandhul. Gatholoco pun digambarkan sebagai seorang yang mengonsumsi opium, peminum alkohol, dan pemain judi . Gambaran tokoh Gatholoco ini sangat jelas menunjukkan kebalikan dari ajaran Islam yang melarang semua hal yang melekat pada dirinya.

Ricklefs memberi contoh salah satu adegan dalam suluk ini yang menceritakan seorang kyai yang memerintahkan Gatholoco untuk belajar agama Islam agar terhindar dari api neraka. Namun, Gatholoco justru melawan balik perintah kyai tersebut dengan mengatakan bahwa opium yang dikonsumsinya berasal dari Allah yang telah memberikan pengetahuan kepadanya.

Serat Dermagandhul memiliki sifat cerita dan tokoh yang kurang lebih sama seperti Suluk Gatholoco. Di dalamnya, diceritakan bahwa seorang guru bernama Kalamwadi (yang dalam bahasa Indonesia memiliki arti ‘penis rahasia’) sedang memberikan wejangan mengenai kehidupan di masa lalu kepada muridnya yang bernama Dermagandhul (hlm. 196).

Satu adegan cerita dalam serat ini menggambarkan bahwa Sunan Bonang bersama dengan agama Arab-nya telah merusak citra Hindu-Buddha. Pada adegan berikutnya, lebih lanjut diceritakan para wali yang menekan Raden Patah untuk menyerang ayahnya sehingga Majapahit runtuh dan berkonversi ke Islam.

Semua cerita dalam ketiga karya sastra ini tentu saja menjadi diskursus kajian sastra Jawa dan belum dapat dinyatakan sebagai kebenaran yang pasti. Namun, produksi wacana oleh kelompok abangan ini menjadi wujud keras perlawanan terhadap gerakan revivalisme Islam oleh kelompok putihan.

Baca Juga :   Ketika De Graaf Jatuh Cinta pada Sejarah Jawa

Berebut Slametan

Slametan seringkali dianggap sebagai sebuah ritus kelompok abangan. Namun, perdebatan terjadi di kalangan sejarawan dan antropolog bahwa tradisi ini tidak selalu melekat kepada salah satu saja dari dua unit religi Jawa. 

Jajat Burhanudin dalam Islam dalam Arus Sejarah Indonesia (2017) menegaskan bahwa ritual slametan ini menjadi sesuatu yang diperebutkan. Baik kelompok putihan maupun abangan keduanya saling mendesain ulang dan memberikan makna baru terhadap slametan (hlm. 334).

Ritus slametan tersebut menjadi bentuk adaptasi Islam terhadap budaya Jawa. Hasilnya ialah berbagai bentuk turunan seperti ruwatan, sura, dan maulud.

“Santri muncul lebih sebagai pemberi makna Islam baru terhadap praktik-praktik keagamaan kelompok abangan yang sudah lama dijalankan. Dan dalam pelaksanaannya, mereka berkontribusi terhadap terciptanya praktik-praktik ritual yang baru yang secara kultural sangat bermakna bagi masyarakat Jawa,” tulis Burhanudin (hlm. 336).

Memasuki awal abad 20, ketegangan antara abangan dengan putihan memasuki tahapan yang lebih lanjut. Polarisasi masyarakat Jawa ini menjadi dipolitisisasi. Munculnya Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, dan Sarekat Islam dianggap mewakili kelompok putihan. Sedangkan, pada sisi abangan diwakili oleh sebagian  besar masyarakat desa yang berafiliasi kepada Partai Komunis Indonesia.

Rujukan

Burhanudin, Jajat. 2017. Islam dalam Arus Sejarah Indonesia. Jakarta: Kencana.

Lombard, Denys. 2005. Nusa Jawa: Silang Budaya (Bagian II: Jaringan Asia). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Ricklefs, M. C. 2007. Polarizing Javanese Society: Islamic, and other visions, 1830-1930. Singapore: NUS Press.

Simuh. 2019. Sufisme Jawa: Transformasi Tasawuf Islam ke Mistik Jawa. Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia).

Share:

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on pinterest
Pinterest
Share on linkedin
LinkedIn

Related Posts